Upacara Detik-detik Proklamasi adalah peringatan, bukan hanya perayaan. Peringatan lebih sebagai instrumen diri untuk refleksi, mawas diri, dan rasa syukur. Perayaan merupakan ungkapan rasa syukur dan kegembiraan.
Oleh
KI SUGENG SUBAGYA
·5 menit baca
Farel Prayoga menjadi perbincangan lantaran berhasil memukau audiens Upacara Peringatan Detik-detik Prokamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 2022 di Istana Merdeka. Penyanyi cilik ini sukses membuat para tamu ikut bergoyang. Lagu ”Ojo Dibandingke” yang sebagian liriknya diubah mampu menarik pejabat tinggi dan tamu negara turun tribune berjoget di sekeliling panggung.
Sesaat kemudian kejadian itu menjadi polemik. Pendapat yang setuju menyatakan, Upacara Detik-detik Proklamasi yang selama ini tampak kaku dan monoton menjadi lebih cair. Pendapat yang tidak setuju menyatakan, tidak tepat momen upacara kenegaraan ditumpangi hiburan dengan muatan yang tidak sesuai.
Dalam menyikapi suatu peristiwa ulang tahun, di Indonesia terdapat dua istilah yang mewujud dalam kegiatan yang hampir sama, tetapi berbeda makna, yaitu peringatan dan perayaan. Ki Hadjar Dewantara menggali makna peringatan dari konsep dasar budaya Jawa yang dinasionalkan.
Peringatan lebih sebagai instrumen diri untuk refleksi, mawas diri, dan pengejawantahan rasa syukur atas kemurahan dan kasih sayang Tuhan Yang Maha Esa. Sementara perayaan dipandang sebagai bentuk adopsi budaya Barat yang diselaraskan dengan ungkapan rasa syukur dalam kegembiraan. Sayangnya, dalam perkembangannya, peringatan terhanyut dalam perayaan sehingga yang tampak hanyalah gegap gempita sukacita yang berlebih-lebihan cenderung hedonis.
Setiap pergantian tahun, apakah itu tahun baru ataupun ulang tahun, apabila dikemas dalam bentuk perayaan yang tampak mengemuka igar bingar menghambur-hamburkan uang yang semata-mata menuruti rasa senang. Pergantian tahun Masehi tanggal 1 Januari disambut dengan pesta kembang api, bunyi petasan bersahutan, dan bentuk-bentuk pesta pora lainnya. Bukan tidak mungkin pesta pora itu kemudian mengarah kepada pelanggaran hukum seperti pesta minuman keras, narkoba, bahkan hubungan seks bebas.
Pergantian tahun Jawa dan/atau tahun Hijriah nuansanya sangat berbeda dengan perayaan karena dikemas dalam bentuk peringatan. Malam 1 Sura (tahun Jawa) ada ritual kenduri, kirap pusaka, mubeng beteng tapa mbisu, dan sebagainya. Menyambut tahun baru Hijriah 1 Muharam lebih kental nuansa keagamaannya. Misalnya disambut dengan puasa, membaca doa, tablig akbar, pawai taaruf, dan sebagainya.
Harmonisasi
Kegiatan HUT Proklamasi pada tingkat RT, RW, kampung, dan padukuhan selama ini mampu mengharmonisasi peringatan dan perayaan dengan sangat baik. Peringatannya dimanifestasikan dalam bentuk kegiatan malam tirakatan, sedangkan perayaannya dimanifestasikan dalam bentuk berbagai perlombaan/pertandingan dan pentas seni budaya.
Kegiatan malam tirakatan biasanya memunculkan local genius sebagai upaya refleksi dan rasa syukur atas kemerdekaan yang telah diraih dengan tanpa melupakan jasa para pahlawan yang telah gugur dalam perjuangan. Nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme kembali diangkat ke permukaan sebagai pengingat bahwa tantangan masa depan mengisi kemerdekaan tidak lebih ringan daripada perjuangan meraih kemerdekaan.
Kegiatan malam tirakatan biasanya memunculkan local genius sebagai upaya refleksi dan rasa syukur atas kemerdekaan yang telah diraih.
Kegiatan peringatan melalui tirakatan lebih bermakna budaya simbolik. Pada masyarakat Jawa, tirakat digunakan sebagai upaya menenangkan jiwa dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu, tirakat dapat dijadikan sarana mawas diri dan introspeksi terhadap yang sudah terjadi untuk memperbaiki dan meningkatkan pada masa mendatang.
Memang tidak salah menyatukan peringatan dan perayaan HUT Proklamasi Kemerdekaan dalam satu momentum upacara kenegaraan. Dengan catatan, masing-masing tidak mereduksi makna hakikinya. Jangan sampai makna hakiki peringatan melebur ke dalam ingar bingar perayaan.
Kritik yang menyatakan bahwa unjuk kebolehan Farel Prayoga dalam rangkaian Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi tidak tepat momentum perlu ditindaklanjuti dengan evaluasi menyeluruh. Menampilkan Farel Prayoga sebagai bentuk apresiasi atas kemampuan anak bangsa patut dihargai.
Pemilihan jenis musik dan lirik lagu yang sesuai suasana dan momentumnya, perlu dikaji lebih dalam. Di Indonesia banyak sekali pencipta lagu. Sangat mungkin mereka mampu mencipta lagu dengan lirik dan jenis musik yang tepat untuk penyanyi dengan usia tertentu dengan suasana dan momentum yang sesuai.
Anak-anak menyanyikan lagu orang dewasa tidak hanya terjadi pada Farel Prayoga. Fenomena ini telah terjadi berulang kali. Seolah-olah menjadi pembenar terjadi ketimpangan perkembangan musik di Tanah Air. Ada segmen yang tidak terakomodasi, yaitu anak-anak.
Anak-anak larut euforia musik dewasa. Bahkan tak jarang anak kecil pun ikut terlarut menikmati lagu dan musik dewasa. Lebih miris lagi konten lagu dewasa yang akrab di telinga anak-anak adalah lagu yang bertemakan asmara, patah hati, dan pesan cinta lawan jenis yang tidak sepantasnya menjadi konsumsi anak-anak. Liriknya pun tidak jarang berisi hujatan, patah hati, putus asa, vulgar, bahkan sangat dekat bersinggungan dengan pornografi.
Pembelajaran nilai moral
Dalam konteks pendidikan, sedikitnya ada dua hal yang dapat mengganggu tumbuh kembang anak dipandang dari sudut kejiwaan dan belajar berbahasa. Apabila anak-anak terlalu sering mendengarkan dan membawakan lagu dewasa, dapat berdampak buruk kepada perkembangan jiwa anak. Anak akan terbawa menjadi ”dewasa” sebelum waktunya.
Mungkin di antara orangtua justru bangga ketika ada anak-anak bersikap dan berperilaku layaknya orang dewasa ketika usianya belum matang. Padahal yang demikianlah yang dapat menghambat tumbuh kembang anak menjadi matang sempurna kedewasaannya pada saatnya kelak.
Musik dan lagu anak-anak selalu harus mengandung pembelajaran nilai moral ( good lesson) yang disampaikan melalui lirik-lirik dalam lagu tersebut.
Seni budaya, termasuk di dalamnya lagu dan musik, sesungguhnya alat pendidikan andal. Kesenian adalah pepucuk pendidikan, kesenian melandasi pendidikan. Ki Hadjar Dewantara mengatakan, ambuka raras angesti wiji. Membuka suara (bernyanyi) memuliakan anak-anak. Oleh sebab itu, musik dan lagu anak-anak selalu harus mengandung pembelajaran nilai moral (good lesson) yang disampaikan melalui lirik-lirik dalam lagu tersebut.
Ketika anak-anak mendengarkan dan menyanyikan sebuah lagu, secara tidak langsung mereka juga belajar berbahasa. Kata-kata mempunyai peranan yang penting karena menggambarkan isi atau pesan dari sebuah lagu. Lirik lagu dengan kosakata yang sesuai dengan usia anak yang mendengarkan dan menyanyikannya akan memberikan dampak positif bagi kecakapan berbahasa anak.
Usia anak-anak cenderung menguasai kosakata yang langsung, tidak berbelit, dan lugas tanpa perumpamaan. Dengan demikian apabila dikenalkan dengan kosakata yang tidak langsung, berbelit, dan penuh dengan kiasan, akan mempersulit penjiwaan. Bisa jadi hanya dapat mengucapkan kosakata tertentu, tetapi tidak dapat memaknai kosakata tersebut.
Alangkah bijaknya ketika Farel Prayoga dalam Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 2022 diminta menyanyikan lagu anak-anak yang secara khusus diciptakan untuk itu. Musiknya tidak ”dangdut koplo” dan lirik lagunya yang menggungah semangat nasionalisme, patriotisme, cinta Tanah Air, menyanjung pahlawan bangsa, dan memulia Indonesia masa depan.
Tentu lagu dan musik yang demikian sulit populer dan tidak ”laku jual”. Namun, inilah cara menghasilkan generasi Indonesia masa depan yang lebih berkualitas. Upacara Detik-detik Proklamasi adalah peringatan yang bukan hanya perayaan.
Ki Sugeng Subagya, Pamong Tamansiswa di Yogyakarta