Profesor Doktor Koruptor
Perguruan tinggi adalah penjaga moral publik. Para ilmuwan di peguruan tinggi wajib memiliki integritas moral sebelum mengajarkan integritas individu kepada mahasiswa.
Profesor Doktor Karomani, Rektor Universitas Lampung, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi di Lembang, Sabtu (20/8/2022).
KPK juga menangkap Wakil Rektor I Bidang Akademik Heryandi, Ketua Senat Unila Muhammad Basri, dan pihak penyuap selaku keluarga mahasiswa bernama Andi Desfiandi.
Karomani diduga memperkaya diri melalui suap dari program seleksi penerimaan mahasiswa jalur mandiri. Modusnya, penarikan uang Rp 100-Rp 350 juta per mahasiswa sehingga berhasil mengumpulkan Rp 4,4 miliar.
Atas perintah Karomani, selain untuk kepentingan pribadi, sebagian dialihkan menjadi deposito dan emas batangan.
Hingga kini, kasus kejahatan yang melibatkan jabatan rektor makin berderet. Sebelumnya santer diberitakan tentang rektor yang menjiplak karya tulis, rangkap jabatan di berbagai BUMN, pengelolaan keuangan yang tidak transparan, penandatanganan ijazah atas nama sendiri, jumlah pembimbingan yang tidak proporsional, serta pembukaan kelas jauh.
Hingga kini, kasus kejahatan yang melibatkan jabatan rektor makin berderet.
Di luar kejahatan dalam hal penyalahgunaan wewenang rektor, kejahatan akademis masih marak. Hal itu di antaranya penjiplakan yang mencederai kegiatan penelitian dan karya ilmiah, mekanisme pembelajaran yang tidak sesuai standar, dan penghambaan diri pada kepentingan swasta.
Apa yang terjadi dalam institusi pendidikan kita? Apa implikasi kasus tersebut terhadap peran pendidikan tinggi bagi masyarakat? Di manakah akar kesalahan dan bagaimana mengatasinya?
Uang dan dosen
Rektor pada intinya adalah dosen yang diberi kewenangan memimpin lembaga pendidikan tinggi. Mekanisme pengangkatan dan pemberhentian rektor diatur dalam Peraturan Menteri Riset dan Teknologi Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin Perguruan Tinggi.
Kendati demikian, masing-masing perguruan tinggi pertama-tama dituntun oleh statuta mereka sendiri. Secara umum, dewan senat perguruan tinggi memiliki peran penting dalam pemilihan rektor karena suara terbanyak akan menentukan rektor terpilih. Sama halnya dengan pemilihan anggota legislatif ataupun kepala daerah, pemilihan rektor juga tidak bisa dilepaskan dari isu politik uang, politik identitas, serta kasak-kusuk di lembaga itu.
Jabatan rektor juga membawa implikasi terhadap besarnya kewenangan yang memberi keuntungan material. Seperti pengelolaan biaya penerimaan siswa baru, pengelolaan dana pendidikan, penelitian, dan kerja sama dengan pihak swasta. Idealnya, rektor sebagai pemimpin satuan pendidikan tinggi mengarahkan segenap sivitas akademika pada Tri Dharma perguruan tinggi yang mencakup pembelajaran terhadap mahasiswa, penelitian untuk peningkatan ilmu pengetahuan, dan pelayanan terhadap peningkatan kemampuan masyarakat di berbagai bidang. Secara sosiologis, pimpinan perguruan tinggi mengarahkan lembaga agar berguna bagi masyarakat.
Dalam praktik, kewenangan ini tidak selalu digunakan sebagaimana mestinya. Kasus-kasus yang mengemuka dalam lima tahun terakhir menunjukkan adanya kerusakan permanen dalam hal integritas rektor sekaligus sebagai ilmuwan.
Penyebabnya ada tiga. Pertama, tidak ada korelasi positif antara gelar akademik dan integritas moral seseorang. Tidak ada pendidikan integritas ilmuwan yang harus ditempuh, sama seperti dalam pencapaian gelar pendidikan. Keberhasilan ilmuwan sering dilihat dari jabatan yang diemban.
Baca Juga:Nila Setitik, Rusak Seleksi Mandiri di Perguruan Tinggi Negeri Semuanya
Rekam jejak
Dalam kasus suap rektor Unila Lampung, karier intelektualnya terbilang lancar. Karomani (61) adalah Rektor Unila periode 2020-2024. Ia menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana di IKIP Bandung pada 1987 Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, S-2 di Unpad Bandung Jurusan Ilmu Sosial, dan mencapai gelar Doktor Ilmu Komunikasi pada 2007. Pada 2015, dia menjadi guru besar.
Sebelum menjadi rektor, dia menduduki jabatan sebagai wakil rektor bidang kemahasiswaan. Jenjang karier di perguruan tinggi dan pencapaian gelar akademik nyatanya tidak membawa manfaat terhadap kemajuan universitas.
Baca Juga: Perguruan Tinggi sebagai Kekuatan Moral
Kedua, situasi karier intelektual di universitas dipenuhi dengan semangat kepentingan material. Contoh, dalam hal dosen menulis di jurnal internasional, penghargaan pihak universitas dalam bentuk uang. Di sisi lain, sebagian media publikasi juga menerapkan tarif untuk penerbitan makalah.
Jika biaya penerbitan di jurnal lebih kecil daripada dana intensif dari universitas, akan diperoleh keuntungan finansial. Penerbitan gagasan ilmiah tidak lebih sebagai kalkulasi pengeluaran dan penerimaan. Demikian pula, dosen meneliti lebih untuk mencari uang tambahan.
Ketiga, pemerintah sangat terobsesi dengan peningkatan keterampilan tanpa memperhatikan peningkatan integritas ilmuwan. Sebagai bukti, Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia menekankan standardisasi keterampilan untuk lulusan tingkat sarjana hingga doktor.
Keterampilan dengan level enam, misalnya, dianggap sudah memenuhi syarat untuk lulus tingkat sarjana, level delapan untuk magister, dan level sembilan untuk doktor. Pemerintah mengabaikan standar kualifikasi etika keilmuan. Yang lebih parah, minim kontrol terhadap integritas para lulusan, kecuali melalui tes plagiasi dalam bentuk ambang batas.
Karena itu, sebagai rekomendasi, pemerintah perlu kembali merancang kebijakan yang berorientasi pada pengembangan nilai-nilai integritas ilmuwan. Hal itu dimulai dari pengelolaan karier dosen hingga praktik pembelajaran. Sebagai ilustrasi, dosen akan melewati jenjang karier berupa kenaikan pangkat dan jabatan dengan tujuan akhir profesor.
Untuk mencapai gelar profesor, seorang dosen harus mengumpulkan poin-poin penilaian dari pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Dalam rentang waktu itu, integritas dosen terbentuk.
Para ilmuwan di peguruan tinggi wajib memiliki integritas moral sebelum mengajarkan integritas individu kepada mahasiswa.
Dalam praktik pembelajaran, seorang dosen juga dipandu oleh rencana pembelajaran semester (RPS). Di dalamnya terdapat tujuan pembelajaran yang mencakup kemampuan spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Pendeknya, program peningkatan integritas ilmuwan diwujudkan dalam penelitian, pembelajaran, dan pengabdian masyarakat.
Perguruan tinggi adalah penjaga moral publik. Para ilmuwan di peguruan tinggi wajib memiliki integritas moral sebelum mengajarkan integritas individu kepada mahassiwa. Untuk itu, perlu tindakan tegas dan menjerakan.
Saifur Rohman, Pengajar Program Doktor Bidang Filsafat, Universitas Negeri Jakarta