Kegigihan Presiden Jokowi mewujudkan revolusi mental tampak dalam penanganan kasus kematian Brigadir J, Kapolri diminta membedah kasus ini hingga ke akarnya. Sesuai roadmap revolusi mental, watak yang bajik itu utama.
Oleh
WILLIAM CHANG
·5 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Kegigihan Presiden Jokowi dalam mewujudkan revolusi mental (2014) tampak dalam penanganan kasus kematian Brigadir J yang diduga melibatkan Irjen Ferdy Sambo. Berulang kali Presiden meminta Kapolri untuk membedah tuntas kasus ini hingga akar-akarnya. Tiada satu pun tindak kriminal berstatus atomik. Dedikasi, komitmen, kejujuran, dan ketulusan pengabdian sedang dalam berada dalam krisis.
Jejaring tindak kriminal telah menyasar tubuh instansi-instansi pemerintah terutama dalam bidang hukum, keadilan, keuangan, pemberantasan narkoba, pertanahan, kekayaan alam, keamanan, dan pendidikan. Dengan cepat jejaring ini menjerat semua segmen pelayanan publik di Tanah Air.
Saat ini memang sulit ditemukan sebuah departemen pemerintah yang sungguh bersih, dari pusat hingga daerah-daerah. Jaringan kriminal sebagai cermin disorientasi moral bangsa ini perlu segera disikapi dengan perawatan watak yang bajik (virtuous character) yang terhubung langsung dengan proses revolusi mental bangsa (bdk. L van Zyl, 2009).
Lalu, bagaimanakah indeks pencapaian watak yang bajik dapat didongkrak dalam mewujudkan pembangunan multidimensi, yang mencakup pertumbuhan moralitas bangsa?
Roadmap revolusi mental telah mengagendakan watak yang bajik sebagai sasaran utama yang langsung bersentuhan dengan hidup sehari-hari. Watak yang bajik ini berkekuatan internal untuk menanggalkan segala jenis topeng dan membongkar panggung sandiwara kehidupan. Keberanian moral dalam watak ini mampu menghancurkan sarang-sarang kejahatan dalam setiap birokrasi pemerintah.
Mencermati fenomena kompleks dalam hidup berbangsa dan bernegara belakangan ini, indikator referensial perbaikan watak yang bajik tetap menjadi pedoman kebangsaan. Pembangunan fisik bangsa kita perlu mendapat dukungan moral, spiritual, dan komitmen seorang pemimpin (Jokowi, 2014).
Pembangunan fisik bangsa kita perlu mendapat dukungan moral, spiritual, dan komitmen seorang pemimpin.
Tanpa rujukan yang jelas dan tepat, disorientasi moral akan menimpa semua bidang pembangunan bangsa. Perwujudan revolusi mental akan memperkuat moral excellence (bdk. Plato dan Aristoteles), yang mampu menjinakkan pertumbuhan kejahatan ibarat jamur di musim hujan, korupsi masal, pesta narkoba di semua lapisan sosial, judi online yang tetap bersemi, dan dekadensi moral dalam kehidupan sehari-hari.
Disorientasi moral
Kompleksitas fenomena pemerintahan, sosial, ekonomi, politik, hukum, keamanan, kebudayaan, dan agama memang sangat paradoks. Dari satu sisi, tingkat pengangguran di Tanah Air mencapai 5,83 persen dari 208,54 juta usia kerja (BPS, Februari 2022); di sisi lain masih banyak proyek perbaikan jalan dan jembatan yang belum tertangani.
Kala proses pemberantasan narkoba sedang berlangsung, transaksi narkoba hingga berkuintal-kuintal dan bahkan berton-ton terus bermunculan. Ketika lembaga pemerintah sibuk memberantas korupsi, kasus megakorupsi bermunculan di Tanah Air. Sebenarnya ada apa, dan mengapa?
Inkonsistensi dan sistem tebang-pilih penegakan keadilan lewat hukum positif mencerminkan disorientasi moral bangsa kita. Walaupun secara kucing-kucingan, proses komersialisasi (jual-beli) palu hakim sudah menjadi rahasia umum. Prinsip keadilan dan sanksi hukum yang menjerakan tidak termuat dalam vonis hakim.
Inkonsistensi dan sistem tebang-pilih penegakan keadilan lewat hukum positif mencerminkan disorientasi moral bangsa kita.
Tak heran, pelaku kejahatan terutama dalam bidang korupsi, narkoba, dan pelanggaran profesionalitas seakan-akan tidak pernah segan dengan vonis penegak keadilan. Akibatnya, kasus-kasus kriminal klasik tetap terulang, kian berkembang, dan tidak pernah sungguh-sungguh ditangani dan diselesaikan.
Disorientasi ini menimbulkan luka-luka moral sebagai ungkapan transgresi keyakinan moral dalam hidup sosial. Moralitas bukanlah sebuah sistem nilai yang serasi, melainkan himpunan nilai-nilai kompetitif (Molendijk, 2018). Perbenturan nilai-nilai individual dan sosial akan merobohkan tiang-tiang kontrak sosial hidup berbangsa dan bernegara, yang pada hakikatnya menjunjung nilai kemanusiaan, keadilan, dan demokrasi.
Jika luka-luka moral akibat perbenturan nilai tersebut dibiarkan dan tidak disikapi dengan arif, akan muncul disorientasi moral dalam kehidupan sosial sebuah bangsa. Misuse of power penguasa tak terhindarkan, penegakan hukum positif diperdagangkan, premanisme mendominasi semua lapisan hidup negara dan rakyat.
Lewat artikelnya, Modern Moral Philosphy (1958), filosof Inggris, Elisabeth Anscombe, mendorong generasi baru pakar-pakar etika tentang keutamaan untuk mengembangkan analisis kritis tentang pentingnya peran watak yang arif demi pembangunan manusia yang seutuhnya. Yang disoroti di sini bukan lagi gedung-gedung pencakar langit yang didirikan atas hasil korupsi dan penyelewengan keuangan negara, melainkan manusia-manusia Indonesia yang sungguh berwatak bajik dalam hidup dan kerja sehari-hari.
Mencari ”role modelling”
Sebelum terperosok ke dalam lembah krisis global, keadaan Tanah Air terkini mendesak kehadiran pemimpin-pemimpin pemerintahan abad ke-21 yang sungguh memiliki integritas yang bajik demi kemajuan Tanah Air. Kepemimpinan ini tampak dalam untaian kata dan tindakan yang benar dan baik, jejaring relasi antarpribadi yang sehat, dan pengaruh kebajikan melalui peran model (role modelling) dengan enam kekhasan berikut: ”saling mendukung, keterpercayaan, kesukaan, keleluasaan, perhatian, dan kesetiaan.” (Thun dan Kelloway, 2011).
Sekarang seorang pemimpin tidak lagi diangkat atau ditunjuk hanya berdasarkan banyaknya bunga dan bintang pada pundak, tumpukan harta-benda, atau deretan gelar akademik. Namun, seorang pemimpin seharusnya memiliki mutu komitmen yang istimewa dalam menunaikan tugas-tugas pelayanan. Mengapa demikian?
Keadaan Tanah Air terkini mendesak kehadiran pemimpin-pemimpin pemerintahan abad ke-21 yang sungguh memiliki integritas yang bajik demi kemajuan Tanah Air.
Seorang pemimpin yang bajik, menurut Caldwell et al (2015), dengan sendirinya akan menjadi ethical stewardship dalam era digital yang penuh tantangan dan persaingan. Pemimpin tipe ini akan selalu mengoptimalkan kesejahteraan semua pihak dengan menciptakan relasi dan sistem organisasional yang tepercaya dan diyakini khalayak ramai.
Daya transformatif pemimpin masa depan sebagai role modelling tecermin dari integritas personal, peradaban budi, kesantunan kata, dan rentetan tindakan yang berkebajikan moral dan berkewajiban etis. Model pemimpin ini akan berjuang untuk menbumikan visi-misi sebuah negara lewat tindakan-tindakan bajik yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, demokrasi, dan harmoni sosial. Tentu, kejujuran seorang pemimpin dalam kata dan tindakan termasuk kekhasan terpenting dalam membangun watak berkebajikan.
Penerjemahan revolusi mental secara konsisten akan sangat mendukung sistem pemerintahan yang baik dan bersih, efektif, dan efisien, dan terkontrol secara transparan dari pusat hingga pelosok-pelosok Tanah Air. Soalnya, sampai sekarang masih banyak orang dan daerah yang belum menikmati hasil revolusi mental yang sudah didengung-dengungkan delapan tahun silam, yaitu sejak awal pemerintahan Jokowi.
Masalahnya, kapankah dan bagaimanakah bangsa kita akan sungguh memiliki pemimpin-pemimpin yang menghidupi dan menjunjung watak yang bajik (virtuous character)?
William Chang, Guru Besar Etika Sosial Universitas Widya Dharma Pontianak