Bung Karno membangun visi Indonesia yang berdaulat dan berdikari, berlandaskan persatuan Indonesia: satu untuk semua, Gus Dur memiliki gagasan yang kuat tentang kemanusiaan (kerakyatan) dan keadilan.
Oleh
Alissa Wahid
·4 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Tahun 2022 ini, kemeriahan peringatan kemerdekaan Indonesia mulai terasa kembali. Upacara, lomba-lomba, kumpul-kumpul berbagai kelompok masyarakat pun kembali menyemarakkan #17an. Memang, setelah 2 tahun yang penuh keterbatasan dan pembatasan, bulan proklamasi ini menjadi momen kita mensyukuri bagaimana bangsa kita melampaui pandemi Covid-19 dengan relatif baik, walau dengan berbagai dinamika dan siasat.
Ini tentu tak lepas dari kepemimpinan Presiden Jokowi, seorang pemimpin dengan tipe person of action (pemimpin aksi). Pemimpin tipe ini memfokuskan sumber daya dan perhatiannya pada dimensi tindakan dan aksi untuk mewujudkan tujuan yang telah ditetapkannya. Birokrasi dan mekanisme standar kadang kala disiasati agar langkah-langkah operasional dapat diakselerasi.
Sebagai seorang pemimpin aksi, tidak heran Presiden Jokowi menggunakan jargon ”kerja, kerja, kerja!”. Demikian juga gagasan-gagasannya untuk menyederhanakan birokrasi melalui strategi omnibus law yang berujung kontroversial dalam penyusunannya itu. Dan dalam kondisi krisis, pemimpin aksi menjadi orang yang tepat karena ia adaptif dan tangkas mencari solusi atas berbagai tantangan yang ada, sebagaimana tampak dalam upaya mengatasi pandemi ini.
BPMI SEKRETARIAT PRESIDEN
Presiden Joko Widodo berinteraksi dengan pedagang sembari menyerahkan bantuan sosial di Pasar Sukamandi, Kabupaten Subang, Selasa (12/7/2022).
Saya belajar tentang tipe-tipe insan pemimpin ini dari Sudhamek AWS, Presiden Direktur Garudafood yang juga tokoh agama Buddha. Sang ahli manajemen strategis ini mengungkapkan teori 3 tipe insan: person of ideas (insan gagasan), person of concepts (insan konsep), dan person of action (insan aksi).
Kerangka ini sedikit berbeda dengan tipe insan dalam kemiliteran sebagaimana ditulis oleh Matt Rasmussen dalam artikelnya Action Man – Know Your Role and be a Hero (2016). Ia membedakan action man (insan aksi), planning man (insan perencana), concept man (insan perancang strategi), dan decision man (insan pengambil keputusan).
Kita bisa menggunakan teori Tiga Insan untuk mengobservasi para pemimpin di berbagai ruang. Tiga-tipe ini tentu menunjukkan watak kepemimpinan yang berbeda. Pemimpin aksi berfokus pada kerja dan tindakan, sebagaimana digambarkan dalam sosok Presiden Jokowi.
Pemimpin konsep berfokus pada upaya membangun strategi dan pendekatan yang komprehensif dan biasanya berbasis sistem untuk mencapai tujuan. Sementara, pemimpin gagasan berfokus pada visi besar dan idealisme yang berlandaskan pada nilai-nilai filosofis.
Tiga tipe pemimpin ini dapat kita temukan juga pada sosok para Presiden Indonesia. Bung Karno dan Gus Dur bertipe pemimpin gagasan. Presiden Soeharto dan Presiden SBY bertipe pemimpin konsep. Sementara Presiden Jokowi bertipe pemimpin aksi.
IPPHOS
Yogyakarta, 28 Desember 1949. Presiden RIS Sukarno bersama keluarga dan Bendera Pusaka Merah Putih meninggalkan Yogyakarta menuju Jakarta. IPPHOS / BUKU IPPHOS REMASTERED EDITION
Bung Karno dan Gus Dur terkenal dengan gagasan fundamentalnya tentang Indonesia. Kedua presiden ini fasih menjelaskan secara filosofis gambaran Indonesia yang dicita-citakan. Visi ini dipandu oleh nilai-nilai luhur yang menjadi jati diri bangsa.
Bung Karno membangun visi Indonesia yang berdaulat dan berdikari, berlandaskan persatuan Indonesia: satu untuk semua, semua untuk satu. Ia menawarkan rumusan Pancasila, yang dikristalisasi dari kearifan luhur bangsa, untuk menjadi falsafah hidup bangsa dan negara. Bung Karno menjadi tokoh yang menjahit berbagai kelompok kepentingan. Visi dan falsafah tawarannya menjadi pengikat para pejuang bangsa untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Gus Dur memiliki gagasan yang kuat tentang kemanusiaan (kerakyatan) dan keadilan, dan ini menjadi kerangka pikirnya dalam mengimajinasikan Indonesia. Dalam salah satu tulisannya, Gus Dur mengingatkan, ”UUD 45 mengemukakan tujuan bernegara: menegakkan keadilan dan mencapai kemakmuran. Masyarakat adil dan makmur merupakan tujuan bernegara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Kalau negara lain mengemukakan kemakmuran dan kemerdekaan (prosperity and liberty) sebagai tujuan, maka negara kita lebih menekankan prinsip keadilan daripada prinsip kemerdekaan itu.” (KH Abdurrahman Wahid: Islam dan Keadilan Sosial, 2006).
Karena landasan nilai luhur inilah, mudah bagi Gus Dur untuk menentukan sikap pemerintah terhadap diskriminasi warga Indonesia berdarah Tionghoa. Tidak sulit juga baginya untuk mengangkat martabat warga Papua dengan memberikan keleluasaan dan penghormatan atas jati diri Papua. Bagi Gus Dur, prinsip keadilan adalah mandat sekaligus instrumen untuk mewujudkan perdamaian berkelanjutan.
FERGANATA INDRA RIATMOKO
Patung almarhum Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid diletakkan di depan musala di kompleks Omah Petroek, Desa Hargobinangun, Pakem, Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (31/3/2021).
Pada diri Presiden Soeharto dan Presiden SBY, kita mendapati watak pemimpin konseptual. Kedua tokoh ini terkenal dengan rencana pembangunan yang teknokratik, sebagai bentuk strategi komprehensif mewujudkan tujuan pemerintahan mereka.
Presiden Soeharto merancang kehidupan bangsa melalui kerangka Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang berlangsung sepanjang masa rezim Orde Baru. Ideologi developmentalisme Presiden Soeharto bahkan ditopang oleh pendekatan militeristik sehingga banyak terjadi pelanggaran hak-hak rakyat di masa tersebut. Dengan pendekatan ini, target-target pembangunan dikendalikan penuh.
Di masa kepemimpinan Presiden SBY, ditelurkan konsep Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (per lima tahun). Rancangan pembangunan dikembangkan secara komprehensif dan disiapkan implementasinya secara sistematis dengan berbagai indeks. Pada tahun 2011, pemerintahan Presiden SBY juga mengeluarkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Setiap sosok presiden membawa karakternya masing-masing dan mengelola bangsa dan negara Indonesia dengan cara yang khas. Seperti kata pepatah: setiap pemimpin memiliki zamannya, setiap zaman memiliki pemimpinnya.
Lalu, pemimpin Indonesia seperti apa yang akan kita pilih di tahun 2024? Mampukah ia membawa Indonesia mendekat kepada tahun emas 2045 dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia: rakyat adil makmur sentosa?