Orde Lama dan Baru tampaknya punya ”versi steril” yang ingin mereka ajarkan. Pengajarannya membosankan, acap sekadar menghafal tahun dan nama tertentu, bukan membahas pokok dan konteks kejadian, apalagi keragaman tokoh.
Oleh
Lynda Ibrahim
·5 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Saya tidak lupa bagaimana, saat bersekolah di benua seberang, teman sekelas dari Belanda pernah santai berujar bahwa bukan saja ia tahu orang Indonesia berpendapat kemerdekaan kita terjadi pada 1945 setelah 350 tahun dijajah bangsanya, melainkan juga ia diberi tahu guru sejarahnya untuk tidak mendebat balik kita.
Kalimat itu saya dengar tak lama setelah Reformasi, saat kebebasan informasi masih terlalu dini untuk melahirkan buku-buku sejarah yang lebih terbuka ketimbang versi yang didoktrinkan Orba selama 32 tahun. Beberapa tahun kemudian, baru lah saya menemukan sumber-sumber bacaan baru, di mana saya ketahui bahwa Belanda berpendapat Indonesia merdeka pada 1949, sementara banyak sejarawan Belanda tak sepakat bahwa Belanda menjajah Indonesia selama 3,5 abad.
Pasal pertama, soal kemerdekaan. Saya bersiteguh pada proklamasi yang dilakukan oleh Soekarno dan Hatta pada Jumat 17 Agustus 1945. Bagi saya itu adalah fakta, bukan pendapat, bahwa bangsa ini menegaskan kemerdekaannya. Masalah Belanda baru mengakuinya setelah Konferensi Meja Bundar 1949, bagi saya yang bukan sejarawati ini, itu opini Belanda. Silakan, alstublieft, we’ll agree to disagree.
Namun, soal apakah kepulauan yang kemudian merdeka sebagai Indonesia pada 1945 itu benar dijajah Belanda selama 350 tahun, itu ternyata menarik untuk dipelajari. Karya paling komprehensif yang pernah saya baca adalah Bukan 350 Tahun Dijajah, terjemahan Indonesia tahun 2017 atas Indonesian History Between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory, studi sejarawan GJ Resink yang diterbitkan University of British Columbia pada 1968.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Anak-anak membaca naskah proklamasi yang ditulis di atas batu marmer di Tugu Proklamasi, Jakarta, Rabu (21/2/2018).
Studi setebal 326 halaman itu tak mungkin dikupas di sini, tetapi hal penting yang tertanam di saya adalah bahwa Belanda punya perjanjian berbeda-beda dengan berbagai kerajaan di kepulauan Nusantara dan tak selalu berurusan dengan penyerahan kedaulatan. Bahkan, setelah Raja Hasanuddin dari Gowa akhirnya terdesak untuk menandatangani Perjanjian Bongaya (November 1667), yang membolehkan Belanda menguasai jalur perdagangan rempah-rempah ke Maluku, banyak kerajaan lain di Nusantara yang tetap merdeka. Sampai abad ke-19 pun, saat Belanda secara politis butuh penegasan atas keberadaannya di Nusantara dan karenanya mulai menggaungkan narasi ”sudah 300 tahun di sini”, masih banyak kerajaan berdaulat di Nusantara yang perjanjiannya dengan Belanda sebatas dagang.
Sebenarnya, sebelum Perjanjian Bongaya, pada Juli 1667 Belanda menandatangani Perjanjian Breda dengan Inggris yang, di antaranya, menukar Pulau Run dan Ay yang dikolonisasi Inggris di Maluku dengan Pulau New Amsterdam milik Belanda di Dunia Baru. Inggris mengganti nama New Amsterdam menjadi New York. Penggalan sejarah penting ini saya ketahui di kelas Keuangan Internasional saat bersekolah di negara asing, sementara banyak orang Indonesia di luar komunitas sejarah baru tahu setelah Jay Subyakto membesut film Banda: The Dark Forgotten Trail pada Agustus 2017, 350 tahun setelah pertukaran. Apakah sejarawan dan pria asli Banda, Des Alwi, pernah menuliskan ini? Ya. Akan tetapi, penggalan sejarah ini tidak diajarkan di jenjang sekolah formal, minimal pada generasi saya.
Memang itulah realita pengajaran sejarah umum dalam pendidikan formal Indonesia, terutama sebelum Reformasi 1998. Baik Orde Lama maupun Baru tampaknya punya ”versi steril” yang ingin mereka ajarkan. Pengajarannya pun membosankan, acap sekadar menghafal tahun dan nama tertentu, bukan membahas pokok dan konteks kejadian, apalagi keragaman tokohnya. Contoh saja, generasi saya umumnya hapal Perang Diponegoro 1825-1830, tetapi gagap saat ditanya pemicu dan pengakhirnya.
TOTOK WIJAYANTO
Perahu hendak merapat di dermaga perkampungan Lonthoir, Pulau Banda Besar, Kepulauan Banda, Maluku, dengan latar belakang Pulau gunung Api, Rabu (26/4/2017).
Banyak warga Jakarta merayakan ulang tahun kotanya ke-495 pada 22 Juni lalu, tetapi sedikit yang tahu bahwa tanggal itu ”dipilih” Pemerintah Indonesia dari penaklukan Fatahillah atas Sunda Kalapa: boro-boro paham alasan Kerajaan Demak mengutus Fatahillah yang bahkan bukan dari Pulau Jawa untuk menyerbu pelabuhan milik Kerajaan Sunda. Etnis Tionghoa dihapus sepak terjang ratusan tahunnya, termasuk dalam usaha kemerdekaan Indonesia dan pernah adanya Partai Tionghoa sehingga ingatan kolektif bangsa akan minoritas ini tidak jauh dari geger 1965, negeri Tiongkok, dan komunisme. Bahkan, apa yang sebenarnya terjadi pada 1965 pun baru dikuliti sejarawan domestik dan asing dalam buku-buku khusus, belum jadi wacana resmi yang diajarkan ke anak bangsa.
Ditambah lagi dengan buruknya metode pengajaran pembuktian ilmiah dalam pendidikan formal Indonesia sekian generasi, sejarah akhirnya dianggap sebagai ajang adu opini atau klaim, bukan ranah ilmiah yang butuh studi dengan pembuktian primer, sekunder, dan syarat lainnya. Legenda, mitos, dan kepercayaan dianggap setara bukti ilmiah sejarah dan arkeologi. Akibatnya, sekarang membanjirlah main melabeli dan meracik sejarah, yang penting adu cepat klaim dan adu kencang berteriak—sesuatu yang dimungkinkan oleh proliferasi media sosial.
Mulai dari klaim Nabi Sulaiman membangun Candi Borobudur, padahal Nabi Sulaiman dihipotesakan hidup seabad sebelum Masehi sedang bukti sejarah menunjuk Candi Borobudur didirikan pada abad ke-9 M, seribu tahun kemudian. Menyusul klaim identitas Gadjah Mada dan Pattimura, dan terkini klaim kepemilikan rumah yang dijadikan lokasi Proklamasi 1945.
Apakah ada penggalan sejarah suku, etnis, atau umat tertentu di Indonesia yang dikesampingkan atau ditutupi selama ini? Bisa jadi. Apakah itu menorehkan sakit hati? Amat mungkin. Akan tetapi, pembuktiannya bukan melalui klaim emosi sepihak. Namun, harus secara keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan. Dan, kesadaran mengambil langkah jujur ini harus dimulai dari penguasa, dengan segala risiko jangka pendek kegaduhan rakyat, tetapi dengan hasil akhir berupa rakyat yang tahu sejarah jujur bangsanya sehingga sulit diperdaya. Tidak mau rakyat tergiur hoaks berbumbu lezat? Sajikan kebenaran apa adanya, termasuk sejarah panjang bangsa dan negara ini.
Jadi, ehem..., kita ini dijajah Belanda 350 tahun atau bukan?
Catatan:
Subrubrik Etalase menyajikan esai singkat tentang peristiwa keseharian. Kadang mengajak kita tertawa, berefleksi, atau berpikir kritis. Intinya, tulisan ini setidaknya membantu kita tetap waras. Rubrik ini diasuh oleh Lynda Ibrahim, seorang konsultan bisnis dan penulis. Etalase terbit dua pekan sekali.