Merdeka dari Kelaparan
Untuk memerdekakan warga dari kelaparan, arah pembangunan nasional harus dikembalikan ke sektor pertanian. Kebijakan pangan juga harus lebih berpihak pada pengembangan pangan beragam bergizi seimbang dan aman.
Di tengah rangkaian peringatan HUT ke-77 RI, berita mengejutkan datang dari tanah Papua. Ratusan warga di pegunungan Papua mengalami tragedi kelaparan menyusul tewasnya empat orang di Kabupaten Lanny Jaya akibat kekeringan yang melanda daerah itu dua bulan terakhir.
Meski negeri ini sudah merdeka 77 tahun, secara sporadis masih dijumpai anak-anak bangsa menderita kelaparan hingga meregang nyawa. Namun, di sisi lain pada saat yang sama ditemukan beras bantuan sosial (bansos) sebanyak 3,4 juta ton terkubur tanpa sempat dibagikan kepada warga yang berhak menerimanya.
Kedua tragedi ini menjadi catatan penting untuk mendorong perbaikan sistem pengelolaan pangan ke depan agar tidak ada lagi pangan yang terbuang sia-sia dan pangan lokal dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk menepis kelaparan. Di tengah ancaman krisis pangan global yang kerap diingatkan Presiden Joko Widodo, masyarakat harus didorong dan diajak untuk mengonsumsi pangan lokal yang beragam bergizi seimbang dan aman (B2SA) yang sudah diperkenalkan sejak 15 tahun terakhir dan kini sedang direvitalisasi secara gencar oleh Badan Pangan Nasional.
Baca juga: Pangan Lokal untuk Perbaikan Gizi
Sebuah ironi
Tragedi kelaparan di Papua menjadi alarm perbaikan kedaulatan pangan untuk melangkah lebih baik ke depan. Pasalnya, kita diingatkan kembali ke tahun 2015. Saat itu sekitar 10.000 warga di tiga kabupaten di Papua, yaitu Lanny Jaya, Puncak Jaya, dan Nduga, mengalami defisit pangan dan 11 warga dilaporkan meninggal. Cuaca ekstrem dengan suhu udara minus 3 derajat celsius pada malam hari merusak tanaman umbi-umbian sebagai sumber pangan lokal.
Sebuah ironi, ketika di daerah yang memiliki potensi kekayaan pangan lokal, seperti ubi jalar dan sagu, sebagian warganya harus meregang nyawa karena kelaparan. Bahkan sebagian warga tidak bisa tidur nyenyak setiap malam karena perut keroncongan dan mengalami gizi buruk.
Kelaparan dan defisit gizi di Papua perlu dilihat dari perspektif fenomena puncak gunung es, yakni yang muncul di permukaan hanya sebagian dari kasus. Angka kemiskinan (ekstrem) yang bertambah di sejumlah daerah sebagai dampak masif Covid-19 diduga masih menyimpan masalah yang terpendam.
Jika rajin mengunjungi berbagai desa, tidak sulit menemukan rakyat miskin, hampir miskin, dan setengah miskin. Fakta ini memberi arti bahwa pemerintah harus hadir untuk membuka lapangan kerja baru agar keluar dari lingkaran kemiskinan.
Kelaparan muncul jika terjadi defisit pangan dalam waktu tertentu. Fenomena kelaparan dan defisit gizi merupakan dampak dari problem multisektor dan akar masalahnya adalah kemiskinan.
Jika rajin mengunjungi berbagai desa, maka tidak sulit menemukan rakyat miskin, hampir miskin, dan setengah miskin.
Kenaikan kebutuhan dasar, termasuk bahan pangan, telah memberikan efek domino terhadap kenaikan jumlah angka kemiskinan. Artinya, mereka semakin sulit mengakses pangan bergizi, seperti daging, susu, ikan, buah, dan sayur.
Laju kenaikan harga pangan yang makin tinggi telah membebani hidup dan kehidupan wong cilik. Tumbuh kembang anak balita yang diukur lewat perbandingan berat badan menurut usia jauh di bawah standar.
Asumsi ini sejalan dengan tesis Armatya Sen, penerima hadiah Nobel Ekonomi 1998, yang menyebutkan terjadinya kelaparan bukan semata bahan pangan yang kurang di suatu negara, melainkan karena rendahnya akses pangan akibat minim daya beli. Ketersediaan pangan secara nasional tidak cukup sakti menjamin kecukupan pangan di tingkat rumah tangga hingga ke tingkat individu. Fenomena ini kerap terjadi di negara yang menafikan demokrasi dan sarat korupsi. Wabah kelaparan berhulu dari resultante ketidakadilan, kemiskinan, dan perusakan lingkungan.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) 2030 masih menghadapi berbagai tantangan di Indonesia. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia merdeka dari kelaparan alias nihil kelaparan masih sulit dilakukan. Hal ini makin menjadi beban yang kian berat ketika diuji dengan hadirnya Covid-19 yang membuat sejumlah indikatornya menjauh dari target.
Baca juga: Tantangan Mewujudkan Indonesia Tanpa Kelaparan
Untuk memerdekakan warga dari kelaparan, arah pembangunan nasional harus dikembalikan ke sektor pertanian. Jumlah warga yang menggantungkan hidup di sektor primer ini sekitar 65 persen dan 80 persen di antaranya adalah orang miskin.
Bahkan, sumber daya pertanian pangan semakin terkuras oleh perilaku manusia yang serakah menguras madu sumber daya alam dan akhirnya menjadi sumber kemiskinan. Kesejahteraan petani sebagai outcome ketahanan pangan kian terabaikan. Kelaparan dan gizi buruk akan menjadi bencana yang terus berulang karena kita lalai menjaga keragaman pangan lokal dan negeri ini akan tetap menghadapi bahaya laten lost generation.
Pangan beragam dan bergizi
Pelanggaran hak hidup warga karena kelaparan dan ketidakmampuan menghidupi potensi pangan beragam bergizi dan aman (B2SA) memberikan implikasi mereduksi kualitas sumber daya manusia. Taruhannya, pangan lokal akan semakin hilang dan negara agraris ini akan semakin bergantung pada pangan impor. Kita masuk dalam jebakan pangan (food trap) yang makin sulit dan akan memiskinkan petani-petani lokal.
Stagnasi kemiskinan adalah dampak terhambatnya pembangunan sektor pertanian yang berdaya saing tinggi yang mampu memberikan nilai tambah. Selama dua tahun lebih pandemi Covid-19, solusi mengatasi kemiskinan seakan jalan di tempat untuk tidak mengatakan mundur.
Di sisi lain, kebijakan ekonomi ekstraktif yang selama ini dianggap sebagai anak emas untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) berujung pada perusakan lingkungan yang kian masif. Kebijakan ini justru membangun tembok penutup pintu cita-cita pengurangan jumlah orang miskin. Pemerintah belum serius menindak secara tegas perusahaan perusak lingkungan untuk membuka jalan pengembangan ekonomi hijau yang bisa meningkatkan kesejahteraan warga.
Pemerintah belum serius menindak secara tegas perusahaan perusak lingkungan untuk membuka jalan pengembangan ekonomi hijau yang bisa meningkatkan kesejahteraan warga.
Sekadar menyebut contoh lain, perusakan hutan di kawasan Danau Toba kini bermuara pada ancaman kelaparan pada warga sekitar. Dari pantauan penulis beberapa waktu lalu, banyak petani lokal yang sudah tidak mengerjakan sawahnya karena kekurangan air irigasi.
Mereka mengaku pada 1970-an hingga 1980-an hasil panen padinya masih cukup untuk kebutuhan hidup selama enam bulan. Namun, sekarang hanya bertahan dua bulan karena usaha pertanian mengalami krisis air dan penangkaran benih sudah tidak bisa dilakukan. Sistem irigasi yang dulu dikelola Raja Bondar sudah tidak berfungsi lagi karena sumber air kian mengering.
Hal yang sama dialami nelayan lokal. Mereka kesulitan menangkap ikan di Danau Toba karena ekosistem perairannya sudah mengalami disorientasi ekologi. Masyarakatnya pun semakin banyak mengalami kekurangan gizi dan angka prevalensi tengkes (stunting) diduga kian bertambah (Sibuea, 2020).
Iklim yang kondusif dibutuhkan untuk mentransformasikan pembangunan pertanian yang konvensional ke pengembangan teknoagroindustri pangan berkelanjutan berdaya saing tinggi. Defisit pangan di Papua dan di daerah lain menunjukkan betapa lemahnya pembangunan teknoagroindustri pangan lokal untuk memacu produksi pangan yang beragam bergizi seimbang dan aman (B2SA). Produk B2SA sejatinya dapat digunakan untuk pangan darurat sebagai mitigasi saat terjadi bencana alam kekeringan.
Tragedi kelaparan yang sudah kerap dialami warga di Papua karena gagal panen umbi-umbian bukan hanya semata karena faktor cuaca ekstrem, melainkan juga kelalaian menghidupi pangan lokal berbasis B2SA. Sistem pertanian lahan kering di Papua tidak dapat diubah dengan sistem pertanian modern dalam waktu singkat, seperti konsep food estate untuk menanam padi.
Baca juga: ”Food Estate” dan Industri Pangan
Bahkan, kebijakan pemerintah yang memberikan beras untuk rakyat miskin (raskin) di Papua otomatis menabrak kearifan lokal. Di satu sisi, pertanian pangan di Papua tidak menghasilkan beras, tetapi di lain pihak menggiring konsumsi pangan semakin mengkristal pada beras. Hal ini sekaligus mematikan semangat bertani untuk menghidupi pangan lokal nonberas.
Produk pangan nonberas, seperti sagu dan umbi-umbian di Papua, perlu dioptimalkan pemanfaatannya. Sudah saatnya pemerintah mengoreksi ulang kebijakan pangan dengan lebih berpihak pada pengembangan pangan B2SA berbasis sumber daya lokal. Parameter keberhasilan pembangunan ekonomi tak hanya diukur dari penguatan rupiah terhadap dollar AS, tetapi keberhasilan mencapai tujuan SDGs 2030 untuk memerdekakan rakyat dari kelaparan semakin penting.
Merdeka!!!
Posman Sibuea, Guru Besar Ilmu Pangan di Prodi Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan; Pengurus Pusat Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI); Anggota Pokja Ahli Pangan di Badan Pangan Nasional