111 Tahun Maria Ulfah Subadio: Keberhasilan Itu Perlu Proses
Maria Ulfah Subadio bukan hanya perempuan pertama yang menjadi menteri di pemerintahan RI, melainkan juga pejuang kesetaraan jender. Menjadi tantangan generasi mendatang untuk melanjutkan perjuangan Maria Ulfah.
Oleh
Hadisudjono Sastrosatomo
·5 menit baca
Ada istilah dalam bahasa Jawa, otak atik gathuk. Artinya, mencocokkan sesuatu dengan berbagai aspek kehidupan sebagai penanda. Kali ini tentang angka 77 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia dan 111 tahun kelahiran Maria Ulfah, 18 Agustus 1911 di Serang, Banten.
Meninggal pada usia hampir 77 tahun, Maria Ulfah adalah anak Bupati Kuningan RAA Mohammad Achmad dan RA Hadidjah Djajadiningrat. Saat ayahnya mendapat tugas belajar sistem perkoperasian di Den Haag, Belanda, Maria Ulfah ikut berangkat. Ia kemudian mengambil jurusan Ilmu Hukum di Leiden tahun 1929 dan menjadi perempuan sarjana hukum Indonesia pertama (Meester in de Rechten) tahun 1933.
Sumpah Pemuda yang dialami Maria Ulfah saat kecil memberi kesadaran hakikat kemerdekaan. Apalagi, di Belanda ia banyak bergaul dengan Sutan Sjahrir, orang yang memengaruhi sikap hidup dan pandangan politiknya, selain pidato Soekarno yang dibacanya dalam Indonesia Menggugat.
Sebagai perempuan, dia mengagumi sosok Kartini yang cita-citanya berpendidikan tinggi kandas terkungkung di kabupaten, hidup dipoligami oleh orang yang jauh lebih tua, dan meninggal beberapa hari setelah melahirkan. Kartini ibarat martir nasib perempuan sekaligus mengalami sendiri kepahitannya. Maria Ulfah merenung, betapa beruntung ibunya, berpendidikan lebih baik dan hidup lebih bebas. Sikap egaliter ayahnya memungkinkan Maria Ulfah berpendidikan tinggi.
Kesetaraan jender
Pengalaman masa kecil memberi kesadaran kepada ketidakadilan terhadap perempuan. Hal yang juga melatarbelakanginya untuk mengambil jurusan Ilmu Hukum. Adik ayahnya, RA Soewenda, diceraikan dengan mudah oleh suaminya dan kembali menjadi tanggungan keluarga. Ia selalu ingat, bagaimana bibinya tidak dapat ikut menikmati apel dan jeruk, buah tangan Maria untuk neneknya, sehingga harus memohon kepada Maria.
Tahun 1945, bersama Ny Sunaryo Mangunpuspito sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), ia berhasil mencantumkan dalam rancangan UUD Republik Indonesia, asas persamaan hak perempuan dan laki-laki. Maria Ulfah juga perempuan pertama yang menjadi menteri dalam pemerintahan RI, sekretaris perdana menteri, dan sekretaris menteri yang kemudian disebut Direktur Kabinet RI. Suatu jabatan administratif dan nonpolitik, tempat dia mengabdi kepada enam perdana menteri, 1947-1962. Wawancara PK Ojong saat Konferensi Asia Afrika dengan Maria Ulfah pernah ditampilkan Kompas pada ulang Tahun PK Ojong yang ke-100.
Bentuk perjuangan Maria Ulfah untuk perempuan Indonesia salah satunya mengkritik Undang-Undang Perkawinan yang baru dikeluarkan Kementerian Agama saat itu. UU Perkawinan itu dipandang tidak adil karena perempuan selalu dipersulit apabila minta cerai. Sebaliknya, suami bisa menceraikan istri kapan saja. Maria Ulfah lantas memimpin sebuah badan untuk memeriksa penggantian UU Perkawinan agar memberikan hak yang sama (bagi suami dan istri).
Lebih dari 20 tahun kemudian, perjuangan Maria Ulfah baru tercapai dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo UU No 7/1989, yang memberikan hak yang sama kepada suami atau istri untuk mengajukan perceraian.
Bentuk perjuangan Maria Ulfah untuk perempuan Indonesia salah satunya mengkritik Undang-Undang Perkawinan yang baru dikeluarkan Kementerian Agama saat itu.
Idealisme merdeka
Maria Ulfah setelah lulus sebagai sarjana hukum memilih profesi guru di Sekolah Menengah Muhammadiyah di Jakarta. Dia juga menyelenggarakan kursus pemberantasan buta huruf di daerah Salemba Tengah dan Paseban bersama ibu-ibu setempat. Gaji yang diterimanya jauh lebih rendah dibandingkan jika dia mau bekerja bagi pemerintah kolonial.
Ia menikah pada 1938 dengan Mr R Santoso Wirodihardjo, yang pada clash kedua 1948 dibunuh Belanda di kawasan Maguwo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada 10 Januari 1964, ia menikah dengan Subadio Sastrosatomo, paman saya, yang saat itu masih tahanan politik rezim Soekarno di rumah tahanan militer di Madiun.
Jiwa merdeka, hasil didikan ayahnya, tampak ketika Maria Ulfah pada 17 Agustus 1946, dalam kedudukan sebagai Menteri Sosial, ikut rombongan ibu-ibu menyerahkan Tugu Proklamasi yang ditempatkan di Jalan Pegangsaan Timur 56. Tidak jelas mengapa tugu itu di kemudian hari dihancurkan oleh Presiden Soekarno dan diganti monumen peringatan proklamasi.
Dalam upaya diplomatik sebagai bagian dari perjuangan Indonesia memperoleh pengakuan dunia, ada Konferensi Linggarjati. Pemilihan Linggarjati sebagai tempat perundingan merupakan usulan Maria Ulfah sebagai Menteri Sosial. Dia sangat mengenal daerah itu karena Linggarjati masuk Kabupaten Kuningan, tempat ayahnya menjabat.
Panglima Tentara Sekutu untuk wilayah Asia Tenggara, Lord Louis Mountbatten, kagum dan ingin bertemu Menteri Sosial perempuan ini, selain Perdana Menteri Sutan Sjahrir.
Saat perjuangan kemerdekaan Indonesia mulai mewujud, Maria Ulfah ikut rombongan Sutan Sjahrir ke New Delhi, India, menghadiri Inter Asian Relation Conference. Di sana ia berkenalan dengan Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. Pulangnya lewat Birma (sekarang Myanmar), bertemu istri Aung San, ibu Aung San Suu Kyi, dan kemudian menjadi sahabat.
Perempuan biasa
Sebagai perempuan, dia sosok biasa dengan semua emosi dan cinta. Beberapa pengalaman saya pribadi menggambarkan sisi kemanusiaan Maria Ulfah. Tidak dikaruniai keturunan, dia membesarkan keponakan suami pertamanya yang yatim piatu, Darmawan Wiroreno.
Darmawan yang pintar kemudian kuliah di ITB dan melanjutkan ke Amerika Serikat. Ia menjadi insinyur, berkeluarga, dan menjadi pengusaha sukses. Keluarga Darmawan memperlakukan Eyang Let (Letje panggilan mereka yang dekat Maria) layaknya seorang nenek.
Saya pernah mengecewakan Maria Ulfah, saat ia menjadi Ketua Badan Sensor Film, dengan mengambil potongan film yang disensor. Paman saya berkata, ”Kalau saja dia tidak mencintaiku, kamu akan kena marah yang luar biasa.” Namun, Maria memaafkan kebandelan masa muda saya meski merugikannya.
Perjuangan Maria Ulfah berhasil dalam satu aspek, tetapi belum tuntas. Menjadi tantangan generasi mendatang mewujudkannya.
Maria selalu membelikan pakaian dalam suaminya. Ia menghargai suaminya sejak sebagai tahanan politik hingga pensiun dan tidak punya pekerjaan. Maria ngabekti, sikap istri ideal dalam masyarakat Jawa.
Rumah di Jalan Guntur 49 saat itu tidak pernah sepi. Berbagai kalangan datang menemui Subadio, sang ”pengacara” (pengangguran banyak acara). Tamunya beragam. Menteri, direktur, jurnalis, politikus, sampai yang tak jelas profesinya. Maria Ulfah tidak pernah ikut campur. Kesempatan melayani tamu-tamu itu, dengan menghidangkan makanan dan minuman, membuat saya bisa duduk di sudut mendengarkan diskusi yang tidak selalu saya mengerti.
Seandainya masih ada
Saya berandai-andai apa pandangan Maria Ulfah terhadap kedudukan perempuan Indonesia. Bahwa banyak mahasiswi Indonesia yang mendominasi pelbagai universitas negeri bergengsi pasti akan membanggakan Maria Ulfah.
Ironisnya, belakangan banyak dijumpai berita memprihatinkan, termasuk di harian Kompas. Ada perundungan terhadap perempuan di berbagai lembaga pendidikan, juga di lembaga yang berlatar belakang agama.
Perjuangan Maria Ulfah berhasil dalam satu aspek, tetapi belum tuntas. Menjadi tantangan generasi mendatang mewujudkannya. Jurnalis Rosihan Anwar menyebut zeitgeist atau ruh zaman. Tiap zaman ada orangnya, tiap orang ada zamannya.
Semoga, dalam mensyukuri 77 tahun Kemerdekaan RI, terus tumbuh kesadaran memadukan kecerdasan, ketangguhan, serta akhlak mulia, untuk 100 tahun Indonesia Emas yang sejahtera.
Hadisudjono Sastrosatomo, Anggota Tim Pengarah Pusat Etika Bisnis dan Organisasi SS-PEBOSS-STM PPM Menteng Raya