Dalam kasus menteri niretika, yang bersangkutan senantiasa mengedepankan gaya komunikasi publik ala sinterklas. Dalam realitas sosial, si menteri bukan memberikan hadiah, melainkan justru mengapitalisasi rakyat.
Oleh
SUMBO TINARBUKO
·5 menit baca
SUPRIYANTO
ilustrasi
Dahulu ada kasus menteri ”berjalan miring”. Ia menyelewengkan amanah yang dipercayakan kepada dirinya. Akibatnya sang menteri harus mempertanggungjawabkan kerja jalan miring ini secara hukum. Ujungnya, ia menjadi penghuni hotel prodeo bersama sesama narapidana korupsi lainnya.
Sekarang muncul kasus baru: menteri menerabas etika profesi dan etika komunikasi publik sebagai menteri. Ia baru saja dilantik sebagai menteri antarwaktu. Presiden memberi tugas khusus membenahi tata niaga minyak goreng.
Awalnya, ia bekerja sesuai tupoksi. Di dalam agenda kerja, ia membagikan minyak goreng kemasan. Pada bagian ini, sang menteri masih menjalankan tugas negara sebagai pembantu presiden dengan baik. Media massa cetak, elektronik, dan media daring pun memberikan apresiasi positif atas kinerja sang menteri.
Namun, beberapa saat kemudian, ia mengumbar syahwat kekuasaan di ruang publik. Jejak digital mencatat perilaku menteri yang niretika itu. Penampakan visualnya sangat nyata menusuk mata. Sambil membagikan minyak goreng kemasan kepada publik, ia minta kepada siapa pun yang ditemuinya untuk memilih dan ”mencoblos” putri kesayangannya.
Pada titik ini, ia mengubah dirinya dari posisi menteri bersalin menjadi juru kampanye politik. Ia menjadi penguasa partai politik yang sedang memperluas kerajaan politik miliknya. Gaya ujaran komunikasi politik yang dijalankannya sangat hardsell. Ia melakukan itu guna mempersiapkan putrinya memperoleh kekuasaan politik. Caranya? Bertarung menjadi calon wakil rakyat di wilayah kerajaan politik miliknya.
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan didamping anak perempuannya (kedua dari kiri) saat meninjau kegiatan pasar murah minyak goreng di Bandar Lampung, Sabtu (9/7/2022). Selain menyosialisasikan MinyaKita kepada masyarakat, Zulkifli juga berdialog dengan petani kelapa sawit di Lampung.
Niretika
Perilaku menteri niretika, jika ditilik dari sudut perspektif budaya visual, keberadaannya sengaja membuka ruang miskomunikasi. Ujungnya menyebabkan salah pengertian antar-para pihak. Dampaknya, warganet dan warga masyarakat berbondong-bondong menghujat sikap sang menteri yang tidak mengedepankan etika saat melayani kebutuhan rakyat.
Atas fenomena tersebut, redaksi Kompas secara khusus menayangkan Tajuk Rencana (14/7/2022) berjudul ”Pejabat Itu Harus Jujur dan Beretika”. Isinya mengkritik perilaku menteri niretika. ”Etika politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan, dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika politik dan pemerintahan ini kini masih berlaku.”
Jauh sebelum itu, nenek moyang masyarakat Jawa sudah meneladankan lelaku: ”aja tumindak grusa grusu, nanging tumindak kanthi landesan pikiran kang wening”. Tafsirnya: jika sedang memiliki masalah, jangan terburu-buru bereaksi untuk memutuskan masalah tersebut secara emosial dengan tindak kekerasan.
Pedoman hidup dan kehidupan itu mengajarkan kepada siapa pun untuk senantiasa memikirkan segala sesuatunya dengan tenang. Langkah berikutnya dipertimbangkan secara matang untuk kemudian diputuskan secara bijaksana, bermartabat, dan berkeadilan.
Pandom (pedoman) kehidupan dari leluhur tersebut jika diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari senantiasa mengajak setiap manusia untuk berbuat baik. Mengedepankan etika yang berpijak kepada nalar moralitas. Berupaya mengajak setiap manusia menjalankan hidup dan kehidupan ini dengan lelaku bening sejak dalam pikiran. Terpenting, bijaksana saat bertindak mengisi hidup dan kehidupan ini.
Terkait dengan lelaku bening sejak dalam pikiran, Sultan Hamengku Buwono X dalam sambutannya saat Tingalan Dalem Jumenengan Kaping 27, seperti dikutip tribunjogja.com (19/5/2015), mengatakan bahwa kebudayaan memiliki peranan penting dalam hidup dan kehidupan sehari-hari bagi warga masyarakat. Orang nomor satu di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini kemudian menguraikannya dalam tiga jabaran besar.
”Pertama, kebudayaan sebagai kekuatan yang mengikat cita-cita dan rasa kebersamaan antarbangsa, antarkomunitas, dan antarkeluarga. Kedua, kebudayaan sebagai lahan pendidikan teologi. Ketiga, kebudayaan sebagai media akulturasi dan rekonsiliasi guna meningkatkan derajat hidup warga masyarakat.”
Atas tiga pilar peranan kebudayaan dalam perspektif komunikasi publik seperti dipaparkan Sultan HB X tersebut, sejatinya bagi warga masyarakat bukanlah sesuatu yang baru. Hal itu secara genetika sudah tumuwus dalam jiwa raga warga masyarakat. Apalagi ketika keberadaan kebudayaan disepakati sebagai modal sosial.
Dalam konteks komunikasi publik, keberadaan kebudayaan memiliki peran penting guna mengikat hati nurani warga masyarakat.
Dalam konteks komunikasi publik, keberadaan kebudayaan memiliki peran penting guna mengikat hati nurani warga masyarakat. Tujuannya untuk membangun kesepahaman diri saat menjalankan proses komunikasi publik di jagat patembayatan sosial. Warga masyarakat juga sangat paham manakala kebudayaan diposisikan sebagai media rekonsiliasi dan akulturasi antarbudaya yang ada di Indonesia.
Sinterklas
Kasus yang diperankan menteri niretika itu senantiasa mengedepankan gaya komunikasi publik ala sinterklas, representasi tokoh pahlawan yang dimitoskan senantiasa memberikan hadiah kepada siapa pun. Dalam konteks ini, mereka membuat program kerja yang berkonotasi janji kebaikan. Seolah-olah melayani warga masyarakat dengan sepenuh hati.
Benarkah demikian? Realitas sosial menorehkan catatan sebaliknya. Mereka sejujurnya sedang mengapitalisasi rakyat. Modus operandinya senantiasa mengatasnamakan kebijakannya demi kebaikan warga masyarakat. Namun, sejatinya kebijakan yang mereka telurkan adalah kebijakan yang tidak bijaksana. Sebuah hamparan kebijaksanaan yang tidak diabdikan untuk kemaslahatan warga masyarakat.
Jika guncangan sosial berupa kebijakan yang tidak bijaksana semacam itu dibiarkan saja, apalagi tanpa dicarikan jalan keluar yang di antaranya melibatkan tiga pilar kebudayaaan seperti disampaikan Sultan HB X, lambat laun akan memunculkan silang sengkarut miskomunikasi dalam jalinan proses komunikasi publik. Dampaknya akan berujung kepada bencana sosial.
Mengapa demikian? Sebab, menteri merupakan sosok pemimpin. Sebagai pemimpin, ia harus sudah selesai dengan dirinya. Ia harus rela mengedepankan sikap menjadi pelayan masyarakat. Sebagai pemimpin, ia ditakdirkan menjadi penggali sekaligus penebar energi kebaikan. Sebuah energi positif yang harus dibagikan sang menteri kepada rakyat. Bukan justru memperbesar syahwat kekuasaan di ruang publik.
Sumbo Tinarbuko, Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual ISI Yogyakarta.