Permohonan dispensasi kawin telah menjelma menjadi kepentingan orangtua yang tak ingin larut dalam jerat pertanggungjawaban dalam mendidik dan menjaga anak dari penyimpangan norma sosial-agama.
Oleh
ANG RIJAL AMIN
·5 menit baca
Perkara dispensasi kawin yang ditangani pengadilan agama terus mengalami lonjakan seiring dinaikkannya batas minimal usia perkawinan menjadi 19 tahun lewat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan Catatan Tahunan 2021 oleh Komnas Perempuan, perkara dispensasi kawin yang dikabulkan pengadilan agama pada 2020 melesat tiga kali lipat ketimbang 2019.
Kontradiksi antara prinsip perlindungan dan pemenuhan hak anak lewat pencegahan perkawinan anak di satu sisi dan difasilitasinya penyimpangan batas minimal usia perkawinan lewat dispensasi kawin di sisi lain menjadi pokok persoalan yang dianggap menggagalkan usaha mencegah terjadinya perkawinan usia anak. Karena itu, kenapa Komnas Perempuan, dalam risalah kebijakan tentang perkawinan anak yang diterbitkan pada 2019, merekomendasikan kepada pengadilan agama untuk menghapus pemberian dispensasi kawin berdasarkan pertimbangan kemaslahatan yang lebih besar bagi anak, termasuk dalam hal permohonan yang diakibatkan oleh kehamilan yang tidak diinginkan.
Akan tetapi, dalam konteks yuridis, menolak pemberian dispensasi kawin tidaklah semudah yang dibayangkan. Sebab, pemeriksaan perkara a quo dilakukan secara ex-parte (sepihak), hakim hanya perlu mendengar keterangan dari pihak pemohon. Dan sifat voluntair perkara dispensasi kawin berimplikasi pada proses persidangan yang ditujukkan sebatas untuk memberikan kepastian hukum atas hal yang dimohonkan pemohon tanpa ada tuntutan bagi hakim untuk menggali lebih jauh permohonan yang diajukan. Maka, sepanjang dalil-dalil yang diajukan pemohon dapat dibuktikan, permohonan dispensasi kawin akan dikabulkan (Ilhami, 2020).
Alhasil, segenap upaya pencegahan perkawinan usia anak, baik melalui ketentuan batas minimal usia perkawinan hingga kewajiban untuk memberikan nasihat tentang risiko perkawinan anak oleh hakim, seperti menemui ajalnya begitu pemeriksaan permohonan dilakukan. Tidak mengherankan apabila 90 persen permohonan dispensasi kawin mendapatkan penetapan di pengadilan agama (Satria, 2019).
Bahkan, adanya prinsip pembuktian dalam acara perdata yang memandang bahwa pengakuan harus diterima sebagai kebenaran yang ”dianggap telah terbukti” (Putusan MA No 497 K/SIP/1971) dengan kadar pembuktian yang sempurna (Pasal 1925 KUH Perdata) turut menyebabkan sulitnya hakim untuk menolak perkara yang dimohonkan ketika pemohon mengakui seluruh dalil permohonan.
Alasan mendesak
Tidak saja berakar dari konstruksi hukum yang memungkinkan penyimpangan batas usia perkawinan, sulitnya mencegah perkawinan usia anak tidak lepas dari bagaimana interpreter (hakim) memaknai alasan mendesak dalam ketentuan Pasal 7 Ayat (2) UU Perkawinan sebagai dalil untuk mengajukan dispensasi kawin.
Salah satu alasan mendesak yang kerap digunakan dalam permohonan dispensasi kawin ialah kondisi anak pemohon yang telah melakukan hubungan layaknya suami-istri sehingga menimbulkan kekhawatiran pemohon sebagai orangtua perihal sulitnya menyelamatkan anaknya dari kubangan perzinaan. Atau bahkan, hamil di luar nikah.
Karena itu, banyak putusan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi pada anak apabila penetapan tidak diberikan. Akan tetapi, sebetulnya alasan di atas justru menerangkan betapa permohonan dispensasi kawin menjelma menjadi kepentingan orangtua untuk lepas dari beban moral (aib) yang timbul dari perbuatan anaknya. Orangtua tak ingin larut dalam jerat pertanggungjawaban dalam mendidik dan menjaga anak dari tindakan menyimpang.
Perkawinan tidak boleh disimplifikasi menjadi lembaga pertanggungjawaban atas pelanggaran norma sosial-agama atau atas kehamilan calon mempelai.
Amat berbahaya apabila situasi semacam itu terus berlangsung. Sebab, hal itu memicu penerimaan di masyarakat dalam memaknai dispensasi kawin sebagai satu-satunya upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga anak dari pelanggaran norma sosial-agama. Restrukturisasi tindakan sosial yang demikian amat mungkin menormalisasi ketidakbertanggungjawaban orangtua. Dan, dispensasi kawin pada akhirnya menjadi celah hukum dalam melegalkan praktik berbahaya berupa perkawinan usia anak.
Jelas, hal di atas bertentangan dengan maksud diadakannya dispensasi kawin sebagai ”pintu darurat” ketika tidak ada cara lain yang dapat ditempuh orangtua untuk melindungi kepentingan anak sebagaimana dimaksud UU Perkawinan. Padahal, terdapat banyak alternatif lain yang belum atau sengaja tidak ditempuh. Untuk itu, sudah waktunya bagi hakim membersihkan terma ”alasan sangat mendesak” dari anasir ”cuci tangan” orangtua mengatasnamakan kepentingan anak.
Perkawinan tidak boleh disimplifikasi menjadi lembaga pertanggungjawaban atas pelanggaran norma sosial-agama atau atas kehamilan calon mempelai. Hal tersebut justru menyimpang dari orientasi perkawinan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal. Telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa perkawinan prematur (perkawinan usia anak) justru menyirkulasi gagalnya perkawinan, kemiskinan, kekerasan, dan masalah sosial lainnya.
Aspek kebijakan
Banyak daerah telah membentuk peraturan kepala daerah untuk mencegah perkawinan usia anak dengan membebani persyaratan untuk dapat diajukannya dispensasi kawin. Akan tetapi, telah menjadi rahasia umum bahwa peraturan semacam itu cenderung dianggap pelengkap administratif belaka.
Bahkan, aturan pencegahan perkawinan usia anak sebagaimana dimaksud dalam berbagai beleidsregel yang dibentuk memuat norma-norma yang kurang aplikatif, sulit ditegakkan, dan bias kelas karena sarat dengan tuntutan bertindak/berbuat sesuatu kepada anak ataupun orangtua tanpa disertai dengan akses yang mendukung minat dan bakat anak serta kehidupan yang layak di masyarakat.
Contoh, kewajiban menuntaskan pendidikan dasar 12 tahun, mengembangkan kreativitas, hingga memperoleh informasi tentang kesehatan reproduksi tanpa perbaikan fasilitas pendidikan dan penyediaan program pemberdayaan gratis (seperti pelatihan dan beasiswa) akan terdengar terlampau utopis bagi anak yang tumbuh dalam kemiskinan. Dan persoalan semacam itu justru mewarnai berbagai peraturan di tingkat daerah.
Masalah perkawinan anak mestinya melibatkan pembacaan atas konteks kelas sosial-ekonomi yang membutuhkan upaya preventif melampaui sekadar penyebarluasan informasi kesehatan reproduksi. Karena sesungguhnya, sia-sia belaka menakut-nakuti masyarakat sembari enggan mengatasi problematika sosial yang nyata dihadapi.
Ang Rijal Amin, CPNS MA 2021 Satker Pengadilan Agama Pinrang; Alumnus Hukum Tata Negara dan Politik Islam UIN Sunan Kalijaga