Chairil-Ismail di Karet Ada Juga Kelepak Elang
Pahlawan tak harus ”serumah” dengan pahlawan lainnya sebagaimana terjadi di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, atau taman makam-taman makam pahlawan yang tersebar di sejumlah kota.

Putu Fajar Arcana
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi hanya tangan yang bergerak lantang
Tubuhku diam sendiri, cerita dan peristiwa berlaku beku.
(Yang Terempas dan Yang Putus-Chairil Anwar)
Sore sekitar pukul 15.30 aku tiba di depan pintu masuk TPU Karet Bivak, Tanah Abang, Jakarta. Begitu melewati gerbang di sisi utara, di depan mata terhampar lokasi pembaringan 48.000 lebih jenazah. Bukan main-main lahan ini memiliki luas 16,2 hektar! Sejauh mata memandang hanya nisan yang terpancang, berderet-deret dari ujung ke ujung.
Hanya dengan menyebut makam Chairil Anwar, hampir semua petugas makam tahu bahwa dia adalah penyair ternama Indonesia. ”Tinggal belok kanan dulu, terus kiri, lurus, nanti di halte lihat ke kanan. Nah, ada makam dengan piramid, itu pasti Chairil Anwar. Setiap hari ada saja peziarah yang datang…,” kata seorang petugas makam.
Petugas itu bahkan mengantarkan aku sampai ke tujuan. Mungkin ia khawatir aku tersesat atau salah alamat di tengah-tengah rimba makam di area ini.
Baca juga : Seabad Chairil Anwar, Memaknai Keindonesiaan Kita
Hal yang segera menyodok mata, di atas makam Chairil dibangun sebentuk ”monolit” berbentuk runcing seperti pena dengan penggalan puisi ”Aku” yang posisinya menyudut ke kanan. Tulisan yang lebih menyerupai peringatan itu berbunyi, ”//Tak perlu sedu sedan itu/Aku ini binatang jalang/dari kumpulannya terbuang// Lalu dilanjutkan dengan keterangan: Chairil Anwar pelopor Ang 45. Gugur: Jakarta, 28 April 1949.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F07%2F19%2Fb3e5ee02-933f-42b3-b8ad-2fd95c6acc43_jpeg.jpeg)
Makam Chairil Anwar di TPU Karet Bivak, Tanah Abang, Jakarta.
Kupikir setelah berbaring selama lebih dari 70 tahun, bahkan di makam pun, Chairil tetap garang. Ia seolah tak mau menyerah pada kenyataan usia. Sepintas begitu berbeda secara diametral dengan puisi yang kukutip pada awal tulisan ini. Chairil dalam ”Yang Terempas dan Yang Putus” begitu ikhlas menerima segala yang sewaktu-waktu bisa merenggut nyawanya.
Puisi ini termasuk deretan puisi yang ditulis pada masa akhir kehidupan Chairil tahun 1949. Ia terdengar telah menerima kenyataan begitu banyak penyakit yang mendera tubuhnya. Walau sampai akhir hayatnya, 28 April 1949 di sore hari, dokter hanya mendiagnosisnya terserang tifus, sebenarnya Chairil juga mengidap infeksi paru-paru kronis.
Sampai di situ ceritaku, aku ingat Ismail Marzuki. Tokoh penting dalam kebangkitan spirit perjuangan bangsa lewat lagu ini juga didiagnosis menderita infeksi paru-paru. Bahkan, Ismail oleh dokter pribadinya, dokter Soepandi, divonis telah menderita tuberkulosis sejak awal tahun 1950-an. Seperti Chairil, Ismail juga seorang perokok keras. Dalam kondisi sakit, ia tetap menolak bahwa infeksi paru-parunya disebabkan oleh rokok.
Baca juga : Monolog ”Ismail Marzuki: Senandung di Ujung Revolusi”
Ismail Marzuki mengembuskan napas terakhir di pangkuan istrinya, Eulis Zuraida, 25 Mei 1958 sehabis makan siang. Kepergiannya terdengar sangat mendadak, dalam usia yang relatif muda. Toh begitu, Ismail telah meninggalkan lebih kurang 200 komposisi lagu. Sejak usia sangat muda, 17 tahun, anak Betawi ini sudah menciptakan lagu pertamanya berjudul ”O, Sarinah” dalam bahasa Belanda. Ini sebuah komposisi yang mengajak bangsa pribumi segera bangkit, menyingsingkan lengan baju, bekerja mengolah sawah, serta tersadar bahwa hari sudah siang.
Secara khusus Ismail Marzuki meminta agar lukisan hasil karyanya, yang diinterpretasi dari lagu ”Rayuan Pulau Kelapa”, dipasang sebagai nisannya. Gambar itu memang sudah tidak ada lagi, tetapi lirik lagu yang ditulis Ismail masih terus menggema di hati banyak orang Indonesia. //Tanah airku Indonesia/Negeri elok amat kucinta/Tanah tumpah darahku yang mulia/Yang kupuja sepanjang masa…/Melambai-lambai/Nyiur di pantai/Berbisik-bisik/Raja kelana…//
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F07%2F19%2F4f64ab98-bc34-45fc-9e1f-a21ae8875048_jpeg.jpeg)
Makam Ismail Marzuki di TPU Karet Bivak, Tanah Abang, Jakarta.
Bagi generasi 1980-an dan 1990-an, ilustrasi lagu ini sering kali kita dengar sebagai penutup siaran RRI dan TVRI. Banyak di antara kita yang tahu bahwa itu instrumentalia dari lagu ”Rayuan Pulau Kelapa”, tetapi banyak yang lupa bahwa itu lagu karya Ismail Marzuki. Sebagai pencipta lagu yang produktif, terutama di masa Jepang, karya-karya Ismail selalu menjadi sorotan publik.
Lagu ”Rayuan Pulau Kelapa”, misalnya, disamakan dengan mooi indie, sebuah istilah yang mengacu pada kelangenan kaum kolonialis terhadap tanah jajahan mereka Hindia Belanda. Para pengamat musik di masa itu bahkan menganggap Ismail orang yang kelangenan terhadap masa-masa kolonialisme. Lirik dan musiknya yang mendayu-dayu tanda kelemahan kaum pribumi, seperti kue ongol-ongol dan kue pancong.
Terhadap tuduhan itu, Ismail menjawab dengan singkat bahwa itulah lirik dan musik khas Indonesia. Kue pancong sebagai juga keroncong adalah musik yang diciptakan dan ditemukan oleh bangsa Indonesia. ”Ia tidak memuja-muja Barat!” kata Ismail dalam satu pemberitaan media.
Baca juga : Kisah Ismail Marzuki Diangkat ke Teater Musikal
Sebagai nasionalis kerakyatan, Ismail membuktikan bahwa ia minta dimakamkan di samping ayahnya, Marzuki Saeran, seorang pemusik sekaligus guru mengaji, di TPU Karet Bivak. Permintaan itu bukan sekadar membayar rasa bersalah kepada ayahnya, tetapi juga sebagai cerminan keberpihakan kepada rakyat. Saat Marzuki Saeran dimakamkan, Ismail sedang mengungsi bersama istrinya di Dayueh Kolot, Bandung selatan, Jawa Barat. Lantaran jalur kereta diblokir oleh tentara Belanda, kedatangannya ke Jakarta untuk menghadiri pemakaman ayahnya terlambat.
Meski terdapat papan bertuliskan ”Makam Pahlawan Nasional Ismail Marzuki”, makam Ismail sampai hari ini tetap di Karet Bivak, bersama begitu banyak jasad mereka yang bukan siapa-siapa. Tak jauh dari blok di mana Ismail terbaring, makam Chairil berada di tengah-tengah gravitasi TPU Karet. Makam penyair pelopor Angkatan 45 itu menjadi mencolok karena di atasnya dibangun ”monolit” dari marmer tadi.
Nanti tepat 26 Juli 2022, Chairil (seharusnya) berusia 100 tahun. Banyak acara sudah disiapkan dan telah berlangsung untuk mengenang jasa penyair kelahiran Medan, 26 Juli 1922, ini. Hidupnya yang teramat singkat, 27 tahun, membuatnya tak banyak melahirkan karya. Hanya tercatat sekitar 94 karya, termasuk di dalamnya 70 puisi. Sebagian dari karyanya belum dipublikasi sampai ia mengembuskan napas terakhirnya di RS CBZ (sekarang RS Dr Cipto Mangunkusumo).
Baca juga : Puisi Chairil Anwar, Bukan Puisi yang Iseng Sendiri
Ketika ingin khusyuk dengan doa, dari mulutku meluncur sebuah puisi yang benar-benar kuhapal. //Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai/Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut/Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai/Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut…// Sampai pada baris itu, aku berhenti. Bukankah pada dasarnya semua orang memahat batu nisannya sendiri dengan segala kerja, karya, dan karsanya masing-masing? Chairil telah bekerja keras menyodorkan segepok puisi, yang oleh HB Jassin kemudian dianggap menjadi spirit Angkatan 45. Angkatan ini bercirikan ekspresi puisi yang bebas, tak terikat oleh aturan penulisan puisi masa sebelumnya. Hal terpenting, karya-karya mereka menjadi cerminan semangat perjuangan kemerdekaan dengan melawan penjajahan.
Bukankah itu misalnya tecermin pada puisi ”Aku” yang ditulis Chairil tahun 1943 sebagaimana yang dikutip pada nisannya. Bukankah semangat yang serupa ada pada karya-karya Ismail Marzuki. //Indonesia tanah air beta/Pusaka abadi nan jaya/Indonesia sejak dulu kala/Tetap dipuja-puja bangsa/Di sana tempat lahir beta/dibuai dibesarkan bunda/Tempat berlindung di hari tua/Tempat akhir menutup mata…// (Indonesia Pusaka)
Sore perlahan rebah di ufuk barat. Pohon-pohon kamboja menjatuhkan beberapa bunganya. Angin seolah memusar di sini mengirim kabar tentang tubuh-tubuh yang terbaring di kedalaman bumi. Tak jauh dari pemakaman gedung-gedung menjulang kaku, tak bergerak. Di sisi jalan kecil, tak jauh dari nisan Chairil, seorang tukang bakso sibuk melayani pembeli.
”Saya jualan sampai jam 11.00 malam biasanya,” katanya.
”Di pemakaman ini juga?” tanyaku kaget.
”Ya terkadang sih….”
”Siapa yang beli?”
”Ya yang ziarah atau petugas,” katanya lugas.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F07%2F19%2F02b7eec3-ca07-42fb-98b6-c6e5821ac5e1_jpeg.jpeg)
Makam Chairil Anwar di TPU Karet Bivak, Tanah Abang, Jakarta.
Mungkin inilah alasan mengapa Chairil dan Ismail memilih ”menghabiskan hari-harinya” di TPU Karet Bivak. Selain bisa berbaring bareng dengan para tokoh lain, seperti Mohammad Husni Tamrin, Fatmawati, dan Pramoedya Ananta Toer, keduanya juga bisa selalu ”mengobrol” dengan rakyat jelata, yang bukan siapa-siapa. Semuanya berhak mendapatkan rumah terakhir, sebagai tempat beristirahat sebelum bertemu dengan Tuhan.
Bahwa mereka adalah tokoh atau pahlawan, itu ”hanyalah” sematan yang diberikan mereka yang masih hidup, sebagai bentuk penghormatan atas dedikasi yang telah diberikan kepada bangsa dan negara. Pahlawan tak harus ”serumah” dengan pahlawan lainnya sebagaimana terjadi di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, atau taman makam-taman makam pahlawan yang tersebar di sejumlah kota.
Pahlawan adalah mereka yang namanya tetap dikenang berabad-abad setelahnya karena telah meninggalkan jejak penting dalam pergulatan peradaban. Sampai kapan pun seniman seperti Chairil dan Ismail akan tetap dikenang karena karya-karya mereka telah menjadi napas bangsa. Ia telah menjadi spirit yang melebur dalam semangat kita hari ini dan seterusnya.
Baca juga : Pahlawan Nasional: Apa, Siapa, dan Bagaimana
Tiba-tiba beberapa ekor burung terbang menyilang di atas makam. Mungkin bukan elang seperti dalam puisi ”Senja di Pelabuhan Kecil” dari Chairil, tetapi serombongan merpati milik warga Kampung Karet Tengsin yang mukim di selatan pemakaman. Kelepaknya seolah mengantarkan kabar tentang dua tokoh utama bangsa yang kini terbaring dalam damai. Hidup mereka memang singkat, tetapi telah memberi begitu banyak bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita hari-hari ini dan seterusnya.