Ibadah Sastra untuk Kewarasan Umat
“Sastra adalah ibadah”, itu artinya ia dipercaya mampu meluluhkan sifat-sifat buruk manusia seperti culas, bejat, iri hati, sombong, serakah dan haus kuasa, menjadi umat yang lebih memiliki budi perkerti luhur

Putu Fajar Arcana
Sastra adalah ibadah. Pernyataan ini sekilas tampak bombastis, jargonistik, bahkan bluffing, yang justru membuatmu semakin tidak yakin akan kebenarannya. Apalagi kalau mendengar pernyataan penyair Joko Pinurbo, yang mengatakan bahwa sastralah yang membuatnya tetap waras di masa pandemi. Tak main-main pernyataan itu dia ungkapkan saat menjadi pembicara pada malam Anugerah Cerpen Kompas 2021, Selasa (28/6/2022), melalui ruang virtual Zoom dan kanal Youtube Harian Kompas.
Pada malam itu ”umat” pencinta sastra terlibat aktif untuk menjadi saksi, cerpen siapa yang menjadi pemenang. Dalam beberapa jam usai acara daring itu, ”umat” penghayat sastra bertambah dengan ribuan view di YouTube.
Pernyataan Jokpin, begitu Joko Pinurbo selalu menyingkat namanya agar lebih populer, seolah dilengkapi oleh testimoni cerpenis T Agus Khaidir. Penulis yang karyanya menjadi salah satu nomine malam itu mengatakan, bahwa menulis adalah salah satu cara untuk menjaga kewarasan di tengah penetrasi media sosial yang sering kali membuat gaduh. Banyak orang mengumbar bicara, tetapi sama sekali tidak mau mendengar.
Baca Juga: Sastra Gairah Berkisah Penulis Tua
Bisa jadi kau mungkin berpendapat ini sekadar klaim karena para penulis tak bisa menghindar dari ”beban” nasib. Mereka adalah orang-orang yang kecemplung secara tidak sengaja ke dunia kreatif, karena tidak ada pilihan lain untuk memperjuangkan hidup. Banyak orang mengira profesi sebagai penulis ”sekadar” gaya-gayaan untuk menjadi populer, terkenal, dan nanti bisa memiliki ”umat” yang fanatik. Harus diakui sejujur-jujurnya, Jokpin sudah punya banyak ”umat”. Para penghayat puisi-puisinya, bisa hafal di luar kepala kata-kata yang dituliskannya. Salah satu puisinya bahkan dipajang di sebuah dinding di kawasan Malioboro Yogyakarta, di mana kemudian orang-orang bisa berfoto lalu mengunggahnya ke media sosial.
Puisi berjudul ”Jogja” itu hanya terdiri dari dua baris. Selengkapnya berbunyi:
Jogja terbuat dari rindu,
pulang, dan angkringan.
Di situ terbukti bahwa huruf juga bisa memiliki kekuatan visual. Para penghayat puisi-puisi Jokpin, meyakini betul bahwa deretan kata-kata ini memantik imajinasi tentang ”Jogja” sebagai simpul nostalgia. Sebelum puisi ini ditulis, sudah berpuluh-puluh tahun hidup di kepala banyak orang tentang Yogyakarta yang seolah disusun oleh rindu dan kebersahajaan angkringan. Oleh karena itu, jika ”pergi” mengunjungi Yogyakarta seolah pulang ”kampung” halaman sendiri. Sebagian besar seniman dan intelektual yang dulu dan kini populer di Tanah Air, memiliki gayutan nostalgia dengan Yogyakarta.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F01%2F04%2Ff1b53e35-dabf-4e88-b0f3-6306aceafa1d_jpg.jpg)
Wisatawan melintas di Jalan Rotowijayan di tepi kompleks Keraton Yogyakarta, Yogyakarta, yang lengang, Senin (4/1/2020). Industri pariwisata Yogyakarta kembali berangsur sepi setelah beberapa hari sebelumnya relatif ramai saat masa libur Natal dan tahun baru.
Sesungguhnya pada puisi Umbu Landu Paranggi, juga kita temukan nuansa serupa. Umbu, misalnya, menulis sajak ”Tujuh Cemara”: tujuh gelandangan/(buah asam malioboro)/memanggul gitar nembakkan syair lagu/mentari jalanan bulan lorong kumuh/antara kampung kampus, gubuk gedongan/singsing-singsing fajar lenganmu/prosesi tugu alun-alun/bongkar pasang dada-dadamu/kang becak andong muatan perkasa/kilatan raut pasi berpeluh debu/ciumlah bumi yang nerbitkan sayangmu/nyelamlah lubuk urat nadi hayatmu…//
Dalam wujud yang lebih populer kita temukan pula dalam lirik lagu KLA Project bertajuk ”Yogyakarta”. Kupikir sebagian besar dari kita hafal lirik-lirik lagu itu, bukan? //…Terhanyut aku dalam nostalgia/Saat kita sering luangkan waktu/Nikmati bersama/Suasana Jogya…//
Intinya, Yogyakarta itu wilayah nostalgik, di mana perpisahan justru telah melahirkan kemelekatan yang sungguh. Umbu sulit melepaskan kenangan masa lalunya di Yogyakarta, saat-saat membaca sajak di trotoar Jalan Malioboro. Lalu para ”pengikutnya” seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, termasuk Ebiet G Ade, bergiliran membacakan sajak-sajak mereka.
Intinya, Yogyakarta itu wilayah nostalgik, di mana perpisahan justru telah melahirkan kemelekatan yang sungguh.
Semuanya berjalan sebagai sebuah lelaku. Mereka sedang beribadah mengamalkan jalan sastra untuk memperteguh keimanan. Jadi, benar bahwa sastra itu sradha, jalan keimanan yang mengantarkanmu meraih sesuatu yang disebut moksha atau pencerahan. Mungkin kau menganggapnya terlampau berlebihan karena seolah jauh melebihi kemampuan agama dalam mencerahkan hidup manusia. Dalam Buddhisme, ada disebut tahapan pencerahan kedua, yakni sakadagami. Secara harfiah artinya mereka yang sekali kembali dalam kelahirannya ke alam manusia. Dalam kehidupan itulah ia kemudian meraih Nirwana.
Baca Juga: Sastra untuk Rakyat
Aku ingin memberimu ilustrasi sebuah kisah klasik berjudul Ni Diah Tantri yang telah digubah ke dalam beberapa genre sastra, seperti kakawin, gaguritan, kidung, parikan, dan prasi. Tahun 2011 penulis Cok Sawitri bahkan menggubahnya menjadi sebuah novel berjudul Tantri, Perempuan yang Bercerita. Cerita ini mengisahkan seorang perempuan bernama Ni Diah Tantri, yang ”dipersembahkan” kepada Raja Eswaryadala.
Dikisahkan, Raja Eswaryadala sesungguhnya raja yang gagah perkasa dan bertabiat baik. Tetapi, pada suatu hari ia mulai merasa gelisah, bermalam-malam tak bisa tidur. Tak ada yang bisa mengerti apa yang menyebabkan Eswaryadala sulit tidur dan pada titik tertentu bisa meledak marah. Kisah insomnia raja diketahui oleh Mahapatih Bandeswarya, yang kemudian secara rahasia memerintahkan para prajurit kerajaan menculik para gadis. Tadinya sekadar memberi raja hiburan dengan menari dan bernyanyi, tetapi lama-kelamaan para perempuan itu dijadikan obyek pemuas syahwat raja.
Jadi benar, bahwa sastra itu sradha, jalan keimanan yang mengantarkanmu meraih sesuatu yang disebut moksha atau pencerahan .
Meski telah banyak gadis yang ”dipersembahkan” untuk memenuhi candu asmara Eswaryadala, raja negeri Patali Nagantun itu tak kunjung sembuh. Sementara Bandeswarya mulai khawatir, rakyat bisa berontak jika ketahuan kerajaan yang menjadi biang kerok penculikan para gadis. Negeri Patali Nagantun, konon, sangat menghormati kedudukan para perempuan.
Suatu hari giliran Bandeswarya yang murung. Kemurungan itu ditangkap oleh anak semata wayangnya Ni Diah Tantri. Singkat cerita, dengan penuh keraguan dan berat hati Bandeswarya meminta kesediaan Tantri untuk menemani malam-malam raja yang gelisah. Ia kisahkan, bahwa secara rahasia para prajurit telah menculik banyak gadis untuk dipersembahkan kepada raja. Namun, sakit raja tak kunjung sembuh.
Setelah kaget karena kerajaan telah memerintahkan penculikan para gadis, di luar dugaan Tantri menyambut permintaan ayahnya dengan antusias. Ia memang ingin mengetahui keadaan terkini dari teman bermain di masa kecilnya itu.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F01%2F19%2F9fa68d36-9995-435a-8e08-a6466f2f1782_jpeg.jpg)
Sastrawan Joko Pinurbo
Tantri memang perempuan yang berbeda. Ia punya siasat menaklukkan raja dengan cara yang tetap memberinya rasa hormat sebagai seorang penguasa. Sebelum raja mengumbar nafsu berahinya, Tantri mengajukan syarat, sebuah syarat yang tidaklah berat bagi seorang raja. Raja harus mendengarkan sebuah cerita sampai benar-benar berakhir.
Meluncurlah kisah-kisah fabel dalam balutan cerita berbingkai. Cerita yang populer seperti ”Kisah Bhagawan Dharmaswami”, ”Tertipu Tipuan Suara-suara”, ”Burung Atat Meniru Pengasuhnya”, ”Kisah Empas”, ”Burung Bangau Mati karena Kelobaannya”, ”Kisah Bangsa Burung Pemangsa”, ”Kejelekan Tingkah Laku Singa”, ”Yuyu yang Baik”, ”Kisah Keburukan Prilaku Kera”, serta bebagai kisah binatang yang berprilaku seperti manusia, dikisahkan selama bermalam-malam oleh Tantri.
Raja benar-benar terpesona oleh kemampuan Tantri bercerita. Ia seolah tak bisa berhenti mendengar kata-kata indah dan jalinan kisah yang penuh makna. Kisah Tantri ibarat sihir yang membuat raja ketagihan. Oleh karena itu, ia tak mau berhenti mendengarkan. Pelan-pelan ia merasa, Tantri telah menjadi cahaya yang menerangi kebodohan dan kebejatan dalam dirinya. Eswaryadala terkesan oleh kisah berikut ini:
Suatu hari burung bangau hitam bernama I Cangak mengabarkan kepada kawanan ikan, bahwa akan datang para penangkap ikan dengan segala peralatannya di kolam itu. Selama beberapa bulan terakhir I Cangak menjadikan dirinya sebagai seorang pendeta. Ia sama sekali tidak memangsa kawanan ikan di hadapannya.
Ketika mendengar kabar kehadiran para nelayan, para ikan panik dan ketakutan. Mereka meminta I Cangak untuk menyelamatkannya. Di situlah akal bulusnya bermain. Cangak menerbangkan kawanan ikan satu per satu, konon menuju telaga lain untuk kehidupan baru. Tetapi, sebenarnya satu per satu ia memangsa ikan di atas sebuah batu besar di pegunungan.
Baca Juga: Kisah Milik Orang-orang Biasa
Hanya Yuyu yang curiga. Ia tetap minta diselamatkan menuju telaga yang dimaksud I Cangak. Di tengah perjalanan, Yuyu menjepit leher I Cangak setelah melihat tulang-belulang ikan-ikan di atas batu. Yuyu minta dikembalikan ke kolam semula. Setibanya di kolam asal, jepitan capit Yuyu di leher I Cangak semakin keras. Seketika leher I Cangak terputus. Tubuhnya tersungkur ke dalam kolam.
Selesai mendengarkan kisah I Cangak, Eswaryadala mengatakan bahwa keserakahan dirinya dengan ”memangsa” para gadis di kerajaan adalah karma buruk yang harus ia bayar lunas. Ia bersedia melakukan apa pun sebagai ganti atas kebejatan moral yang selama ini telah ia lakukan.
”Hanya lelaki bodoh yang tak melihat kecendekiaan perempuan sebagai keagungan kecantikan. Kutitahkan kecendekiaan perempuan kuyakini akan menjadi kebaikan dunia. Jika semua lelaki memahami ini, ia akan mengubah peradaban…. Bila semua perempuan mendandani diri dengan pengetahuan, sastra, dan tindakan yang berani, seperti dirimu Tantri, tidak ada lagi kegundahan, tidak ada lagi ketakutan,” kata Eswaryadala. Seketika kegundahan raja sirna. Pelan-pelan matanya memejam dan tertidur tepat di hari keseratus. Tantri dan ayahnya Mahapatih Bandeswarya lega menyaksikan peristiwa tak terduga di depan matanya.
Raja telah memperoleh moksha atau tahapan sakadagami, pencerahan di dunia manusia dengan menikamati ”nirwana”. Ia mendapatkan kesadaran baru tentang perbuatannya yang keliru dan bertekad menjadi penyuluh bagi kehidupan rakyatnya yang lebih baik, lebih menjunjung tinggai nilai-nilai kemanusiaan.
Bukanlah Tantri telah membuktikan betapa ibadah sastra telah merawat kewarasan umat, bahkan seorang raja, menuju pada kondisi lahir batin yang lebih baik. Kisah-kisah fabel, termasuk dongeng-dongeng yang ditulis oleh Hans Christian Andersen, tak semata berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi medium pewarisan nilai-nilai moralitas manusia. Hal lainnya, dongeng atau cerita, menjadi wahana penanaman budi pekerti serta kemampuan menjalin relasi sosial di tengah-tengah masyarakat.
Apa yang telah dilakukan Tantri adalah ibadah sastra yang penuh risiko. Bisa saja Eswaryadala bersikap garang dan menjadi “pemangsanya”. Tetapi karena ia yakin akan kekuatan sastra, maka tugas yang diberikan oleh ayahandanya dilakukan dengan penuh suka-cita dan antusias.
Kalau belum juga, kusarankan membaca-baca cuplikan puisi Jokpin berjudul ”Buku Latihan Tidur ”: //Apa agamamu?/Agamaku adalah air/yang menghapuskan/pertanyaanmu//.
Kalau pun engkau masih ragu menerimanya, tidak menjadi masalah benar. Hal paling jelas, kisah Tantri berinduk pada kisah-kisah yang terdapat dalam kitab Pancatantra, yang telah ditulis pada masa awal Masehi. Di situ dikisahkan seorang Brahmana bernama Wisnusarma mengajari tiga pangeran dungu, putra Prabu Amarasakti, tentang ilmu politik dan ketatanegaraan serta kebijaksanaan dalam menjalani hidup. Pancatantra bahkan dijadikan materi dasar oleh penyair fabel termashyur Perancis abad ke-17, Jean de La Fontaine, untuk menulis buku Fables, yang terdiri dari 12 jilid.
Jadi, kalau ada kalimat berbunyi, ”Sastra adalah ibadah”, itu artinya ia dipercaya mampu meluluhkan sifat-sifat buruk manusia, seperti culas, bejat, iri hati, sombong, serakah, dan haus kuasa, menjadi umat yang lebih memiliki budi pekerti luhur. Eswaryadala adalah ilustrasi penting bagi kehidupan kita sekarang ini. Ia adalah tipe penguasa gundah-gulana, tak pernah puas akan kedudukan yang telah dicapainya, bahkan melakukan tindakan tak terpuji dengan menculik para gadis.
Sekarang tinggal berpulang kepadamu, kawan. Yakinkah bahwa sastra menjadi jalan ibadah untuk menjaga kewarasan umat? Kalau belum juga, kusarankan membaca-baca cuplikan puisi Jokpin berjudul ”Buku Latihan Tidur”: //Apa agamamu?/Agamaku adalah air/yang menghapuskan/pertanyaanmu//.
Baca Juga: Selamatkan Sastra dari Kebangkrutan!