Cerpen terbaik ”Kompas” tahun 2011, 2017, 2018, dan 2021 menghadirkan realitas konflik yang terselubung harmoni dalam ritual dan akar tradisi kaum beragama. Para cerpenis menghadirkan narasi yang sarat perenungan.
Oleh
S PRASETYO UTOMO
·5 menit baca
Empat cerpen terbaik Kompas menyingkap lapis-lapis kebusukan praktik otoritas agama, dengan keunikan struktur narasi masing-masing. Saya terpukau kepada kekuatan style setiap cerpenis, kematangan cara bertutur, ketika mereka menghadirkan realitas konflik yang terselubung harmoni dalam ritual dan akar tradisi kaum beragama.
Mereka menghadirkan narasi yang sarat perenungan. Yang pertama ”Salawat Dedaunan” karya Yanusa Nugroho, cerpen terbaik Kompas 2011. Kedua, ”Kasur Tanah” karya Muna Masyari, cerpen terbaik Kompas 2017. Ketiga, ”Aroma Doa Bilal Jawad”, cerpen terbaik Kompas 2018. Keempat, yang baru saja dinobatkan sebagai cerpen terbaik Kompas 2021, ”Keluarga Kudus” karya Sunlie Thomas Alexander.
Akar tradisi dan selubung kemurnian religiositas disingkap empat cerpenis tersebut. Mereka menyingkap berlapis-lapis kedok, kerakusan, ketamakan, dan bahkan otoritas kekuasaan dalam pelaksanaan ritual beragama. Memang mereka tak setajam AA Navis ketika melancarkan kritik terhadap religiositas dalam cerpen ”Robohnya Surau Kami”, tetapi kekuatan mencipta struktur narasi, menjalin konflik, dan mengemas suasana batin pertikaian antartokoh, menjadi bagian kekuatan keempat cerpenis terbaik Kompas tersebut.
Sunlie Thomas Alexander memiliki kekuatan menyingkap akar tradisi dan otoritas kekuasaan dalam religiositas. Ia menghadirkan latar kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur, dengan kekuatan gosip, mencipta tokoh-tokoh yang melakukan perlawanan terhadap pemuka agama. Ia menghadirkan sekularisme kaum beragama dan kedok di balik ritual beragama.
Sunlie Thomas Alexander memiliki kekuatan menyingkap akar tradisi dan otoritas kekuasaan dalam religiositas.
Tradisi gosip yang dikemas dengan kepekatan suasana akar tradisi sebagaimana ”Aroma Doa Bilal Jawad” yang ditulis Raudal Tanjung Banua memberi warna cerpen Sunlie Thomas Alexander. Ia memiliki kekuatan menggerakkan tokoh-tokohnya untuk terperangkap otoritas agama, sebagaimana Muna Masyari menulis cerpen ”Kasur Tanah”. Ia juga mengemas cerpennya dengan menghadirkan tokoh-tokoh yang mengambil jarak dengan otoritas agama, sebagaimana Yanusa Nugroho menulis cerpen ”Salawat Dedaunan”.
Kekuatan gosip
Izinkan saya untuk membicarakan cerpen Sunlie Thomas Alexander dengan kekuatan-kekuatan gosip tokoh-tokoh, dengan bahasa keseharian yang mencerminkan latar sosio-kultural, kemurnian nurani orang-orang yang terpinggirkan dari otoritas agama, dan ekspresi kejujuran mereka.
Dengan percakapan-percakapan gosip itulah, ia melancarkan satir, sindiran yang terselubung humor. Ia juga melontarkan kritik yang berakar dari spiritualitas paling dalam, yang diekspresikan dengan kesan nyinyir. Gosip dalam dialog cerpen telah mengemas kejujuran, hati nurani, tuntutan akan pandangan-pandangan yang murni menjalani religiositas.
Gosip juga menjadi cara pandang pembaca untuk menafsir karakter tokoh utama. Gosip itu berupa reaksi, kemarahan, keputusasaan, harapan, bahkan hujatan terhadap tokoh utama, yang menyimpang religiositasnya. Tentu saja perlu kearifan pembaca untuk bisa memaknai karakter tokoh utama dari reaksi-reaksi dialog para tokoh pendamping. Gosip itu menyingkap kedok-kedok kepalsuan, bahkan permainan otoritas agama yang menyelubungi tokoh utama.
Gosip dalam dialog cerpen telah mengemas kejujuran, hati nurani, tuntutan akan pandangan-pandangan yang murni menjalani religiositas.
Sebagaimana cerpen Muna Masyari dalam cerpen ”Kasur Tanah” yang mengisahkan tokoh-tokoh yang terperangkap otoritas agama, Sunlie Thomas Alexsander juga mengisahkan tokoh-tokoh yang tak bisa membebaskan diri dari otoritas agama. Namun, ia menghadirkan konflik yang lebih kompleks dalam struktur narasinya. Ia memunculkan kecurigaan-kecurigaan terhadap otoritas agama.
Ia memunculkan tokoh-tokoh yang melakukan pembangkangan-pembangkangan terhadap otoritas agama meskipun tak sepenuhnya bisa membebaskan diri dari ritual keagamaan. Ia memunculkan tokoh-tokoh yang hipokrit, yang memanfaatkan agama sebagai citra bagi kehidupannya. Tokoh-tokoh cerpennya mengalami kemerosotan moral, kekeroposan batin, dan memerlukan legitimasi agama untuk menutupi penyimpangan-penyimpangan perilaku spiritualitas mereka.
Atmosfer kesadaran transenden otoritas agama, tak pernah benar-benar menjelma sebagai alam batin tokoh-tokoh cerpen Sunlie Thomas Alexander. Cerpen ”Keluarga Kudus” menyentuh hal yang berbeda dengan cerpen Yanusa Nugroho. Dalam cerpen ”Salawat Dedaunan” karya Yanusia Nugroho, kesadaran transenden menjadi kekuatan individu, untuk mencapai penyatuan diri dengan Sang Pencipta.
Sunlie Thomas Alexander justru menyingkap kesadaran transenden yang meruap dari atmosfer ritual. Tokoh-tokohnya tak pernah mencapai kesadaran yang melampaui individu untuk mencapai aspek-aspek yang lebih luas dari umat manusia, kehidupan, jiwa atau kosmik. Tak tercapai pengalaman mistik, evolusi spiritual, dan penyatuan dengan Sang Pencipta. Karena itu, ia menciptakan diksi, konstruksi kalimat, deskripsi, narasi, dan dialog yang bermuatan akar tradisi untuk meledek persoalan-persoalan profan dalam institusi agama.
Saya memerlukan pembacaan ulang cerpen ”Keluarga Kudus” untuk menemukan kenakalan tokoh-tokoh dengan pengalaman transpersonal. Tokoh-tokoh itu melampaui konformitas manusia kebanyakan. Tokoh-tokoh yang memasuki atmosfer kesadaran keilahiran, yang menyingkap kedok-kedok atas nama otoritas agama.
Sunlie Thomas Alexander menyentak kesadaran saya akan makna otoritas agama yang tak memiliki kebenaran tunggal. Cara yang dilakukannya membuat saya sadar akan kenakalan-kenakalan satir yang disusupkannya dalam setiap motif, hingga mencipta struktur narasi dan kisah yang kompleks dalam penafsiran dan pemaknaan.
Tentu bukan hal yang mengejutkan bila Sunlie Thomas Alexander, dalam wawancara dengan Putu Fajar Arcana, tak pernah menduga cerpennya akan terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas 2021. Ia mengemukakan beberapa alasan. Pertama, ia tidak melihat cerpennya memiliki banyak kekuatan struktur narasi. Kedua, ia melihat cerpen-cerpen pengarang lain jauh lebih baik. Ketiga, ia mengangkat cerpen itu dari kisah akar tradisi yang dituturkan istrinya, dan berkembanglah imajinasi untuk mencipta struktur narasi yang berbeda dari cerpen-cerpennya selama ini.
Bukan sebuah kebetulan apabila Putu Fajar Arcana dan empat awak redaksi lain memutuskan memilih ”Keluarga Kudus” sebagai cerpen terbaik Kompas. Sekilas saya sudah membicarakan cerpen Sunlie Thomas Alexander dengan latar intertekstualitas dengan cerpen Raudal Tanjung Banua, Muna Masyari, dan Yanusa Nugroho. Ia telah menyadarkan kita akan makna tuntutan kebudayaan massal dalam kekuatan arus utama yang bertumpu pada prioritas material-komersial meskipun dalam institusi agama. Manusia diletakkan dan diukur dari sumbangan-sumbangan yang bersifat material-komersial itu, bukan dari kekuatan spiritualitasnya.
Sunlie Thomas Alexander telah hadir dari sisi yang berbeda, dengan kenakalan-kenakalan sudut pandang, pengembangan struktur narasi, dan pilihan bahasa yang mencipta style, dibandingkan dengan Muna Masyari, Raudal Tanjung Banua, dan Yanusa Nugroho. Ia benar-benar hadir untuk meledek otoritas agama sebagai narasi fiksi yang menggoda spiritualitas kaum beragama. Ia telah menghadirkan kisah mengenai luka-luka jiwa manusia dalam atmosfer pencarian akan kebutuhan spiritualitas, yang justru dihadang kepentingan-kepentingan material-komersial. Ia bermain-main dengan suasana paradoks religiositas, mengeksplorasi akar tradisi yang menjadi pijakan latar struktur narasinya.
S Prasetyo Utomo, Sastrawan; Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes