Pembaca Cerewet
Kehadiran pembaca cerewet sangat bermanfaat memajukan surat kabar. Hasil kerja jurnalistik harus diawasi pembacanya walaupun ada otoritas redaksi. Independensi surat kabar harus ditegakkan, apalagi menuju Pemilu 2024.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F28%2Fabcf9751-06c5-4084-b6a8-0d78fa97353a_jpg.jpg)
Menteri Sosial Tri Rismaharini berbincang dengan Pemimpin Umum Harian Kompas Liliek Oetama dan Redaktur Senior Ninuk Mardiana Pambudy di Kantor Kompas, Jakarta, Selasa (28/6/2022). Risma hadir untuk menyampaikan ucapan selamat ulang tahun ke-57 Harian Kompas. KOMPAS/HERU SRI KUMORO 28-06-2022
Saya tak pernah melewatkan unek-unek para pembaca Kompas di rubrik Surat Kepada Redaksi. Banyak hal yang disampaikan, salah satunya kritik atas pemberitaan yang dianggap kurang tepat. Uniknya, apa yang dikritik itu dimuat serta ditanggapi secara santun.
Ada macam-macam yang dikritik. Mulai dari tata bahasa, tanggapan artikel opini para pakar, halaman yang berkurang, topik-topik tertentu yang hilang, hingga iklan yang terlalu banyak sehingga mengurangi porsi pemberitaan. Juga sharing pengetahuan pembaca Kompas.
Saya kira Kompas berusaha keras memuaskan para pembaca setia dan kalangan masyarakat luas. Namun, itu tentu terbatas. Banyak faktor yang dipertimbangkan karena Kompas koran umum, tidak fokus pada topik tertentu, sekalipun ada media khusus ekonomi, olahraga.
Cerewet yang saya maksud bukan mencela atau mengata-ngatai secara lisan, melainkan tulisan. Beruntung Kompas memiliki pembaca yang cerewet karena turut mengawasi apa yang disajikan.
Ibaratnya pengemudi mobil umum yang ugal-ugalan, pasti diomeli penumpang di dalamnya. Pengemudi yang bijak tentu berusaha lebih berhati-hati.
Kehadiran pembaca yang cerewet sangat bermanfaat untuk memajukan surat kabar. Hasil kerja jurnalistik harus diawasi pembacanya walaupun ada otoritas redaksi. Independensi surat kabar harus ditegakkan, apalagi menuju Pemilu 2024, media rawan penyelewengan demi elektabilitas figur tertentu.
Itulah sebabnya, Kompas sangat hati-hati menyampaikan pemberitaan karena banyak pembaca yang benar-benar memperhatikan secara detail. Melalui penelitian dan pengembangan, berbasis data terkini, hingga berita melalui hasil investigasi, Kompas memberikan apa yang diinginkan dan dibutuhkan pembacanya.
Semua pembaca pasti memahami apa yang digodok di dapur redaksi sudah melalui verifikasi berjenjang. Kalau terjadi kesalahan, memang harus dievaluasi dan pimpinan redaksi memberikan klarifikasi.
Jika ada tanggapan atas pemberitaan yang disajikan, pimpinan redaksi tentu harus menjelaskan. Dengan begitu, Kompas menjadi media berkualitas.
Dirgahayu Kompas!
Hendri DalimuntheTembung Dusun XVI, Percut Sei Tuan, Deli Serdang
Bersama ”Kompas”
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F02%2F12%2F12706153-0d6f-4196-b372-0ca46362077d_jpg.jpg)
Kompas edisi 10-11-12/2/2022 Kompas/Wisnu Widiantoro
Saya membaca Kompas sejak terbit tahun 1965, masih SMP. Ayah saya berlangganan Kompas walau tinggal di desa di selatan kota Solo yang belum ada listrik. Ayah sangat mementingkan informasi dari surat kabar dan radio, waktu itu belum ada TV.
Awal 1970-an, saat tes masuk ke Fakultas Hukum UI di GBK, saya lolos. Pertanyaan umum saat tes dapat saya jawab dengan baik karena pengetahuan yang saya dapat dari Kompas.
Demikian juga waktu ada iklan penerimaan pegawai baru dari Biro Kepegawaian Departemen Luar Negeri, Juni 1975 di Kompas. Saya lolos tes di Gelanggang Olahraga Bulungan, Jakarta Selatan. Pertanyaan umum dapat saya jawab dengan baik karena saya membaca Kompas.
Sejak kuliah saya mencoba menulis di Kompas. Hal ini diinspirasi ayah yang kadang menulis di surat kabar. Ternyata ketika tulisan saya dimuat di Kompas, saya mendapat kiriman wesel pos sebagai honorarium. Ini menambah semangat saya untuk menulis sehingga dapat menambah uang bekal di perantauan. Saya juga pernah mengambil honor langsung ke kantor Kompas di Palmerah Selatan.
Saat tahu saya sering menulis di surat kabar, saya dipanggil atasan dan diberi tahu tidak boleh menulis lagi walau bukan masalah diplomasi. Kini zaman berubah. Menlu, dubes, dan staf boleh menulis.
Setelah pensiun, saya berusaha menulis lagi dan bertemu dengan atasan yang dulu melarang. ”Sudah menulis lagi?” tanya beliau yang ternyata juga langganan Kompas.
Namun, setelah berusia di atas 70 tahun, ternyata kemampuan menulis menurun, apalagi setelah sakit jantung.
Waktu penugasan di KBRI dan teknologi informasi belum secanggih sekarang, KBRI juga langganan koran Tanah Air— termasuk Kompas—yang dikirim melalui Direktorat Penerangan Luar Negeri.
Sampai sekarang saya masih berlangganan sehingga bisa dikata hidup saya bersama Kompas. Dirgahayu.
Mustakim
Pondok Duta 1, Tugu, Cimanggis, Depok 16451
Hari Jadi ”Kompas”
Usia bertambah dan semakin matang menyuguhkan artikel berkualitas kepada pembacanya. Dengan catatan, artikel semakin padat dan dimampatkan karena halaman yang makin berkurang.
Di sisi lain, Kompas menyajikan artikel-artikel berseri, seperti Ekspedisi Papua, yang membuka wawasan pembaca. Wawasan kebangsaan, cinta, bangga pada tanah air, dan menumbuhkan rasa optimisme di tengah berita negatif yang berseliweran di media sosial.
Yang pasti, Kompas selalu ada kejutan. Liputan mendalam ditambah foto-foto menarik selalu ada meski itu berbiaya tinggi mengingat lokasi yang di pelosok Nusantara.
Sayang, ada artikel dan halaman kesukaan saya yang sudah lama menghilang, seperti Geofact/Geoweek, Kompas Anak, Pustakaloka, Resensi Buku, dan lembar daerah (khususnya Jawa Tengah dan DIY). Semua itu saya kliping dan masih saya simpan. Selamat hari jadi ke-57.
Vita PriyambadaKompleks Perhubungan, Jatiwaringin, Jakarta 13620
Survei ”Kompas”
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F11%2F18%2Fe2b160f2-fce0-4ebc-9908-4657e8e054e8_png.jpg)
Hasil Survei Elektabilitas Berbagai Lembaga Survei terhadap 9 Partai Politik
Survei Kompas Juni 2022 tidak lepas dari persepsi masyarakat terhadap reshuffle kabinet. Bivitri Susanti mengatakan, perombakan kabinet tak bertujuan membuat kehidupan masyarakat lebih baik.
Sebagai awam, kita setuju dengan pendapatnya bahwa penunjukan menteri sekadar balas jasa politik. Bukan atas kompetensi, tetapi mengakomodasi syahwat kekuasaan partai pendukung pemerintah. Yang menyedihkan, yang menerima jabatan pun puas dengan atribut menteri tanpa mawas diri kompetensinya.
Survei Kompas Juni 2022 dikaitkan dengan reshuffle mengindikasikan harapan masyarakat belum terwujud.
Judul berita Kompas (20/6/2022), ”Kepuasan Publik Menurun”, memberikan indikasi bahwa reshuffle tidak memuaskan masyarakat. Di sisi lain VUCA2.0 diabaikan. Tidak menampilkan kepekaan atau memang mengabaikan keberpihakan kepada keprihatinan masyarakat. Sangat mengena potongan kalimat Sukidi (Kompas, 23/6/2022): ”Hiruk-pikuk safari politik untuk Pemilu 2024 tidak disertai pertukaran ide-ide besar untuk kemajuan Indonesia”.
Pragmatisme digambarkan oleh Yayan Hidayat (Kompas, 24/6/2022) mewarnai politik Indonesia. Hal ini mengingatkan pada jurnalis Rosihan Anwar yang mengatakan bahwa tidak satu pun partai politik yang memiliki ideologi jelas.
Kita menyaksikan para elite parpol saling kunjung dan makan bersama dalam suasana jauh dari kesederhanaan. Tidak disinggung sedikit pun masalah keseharian rakyat, dari pangan hingga energi.
Tata nilai yang merosot pada pengelola negara tecermin dalam Tajuk Rencana Kompas (21/6/2022) bahwa lembaga produk reformasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disegani kini berada di titik nadir. Praktik dunia hukum seakan tanpa pedoman. Lembaga penegak seperti dibiarkan bergulat dengan masalahnya sendiri tanpa arahan dari pemimpin.
Tingkat kepuasan publik kepada KPK tinggal 57 persen. Amat menyedihkan! Urgensi perombakan kabinet sepantasnya bukan sekadar menata koalisi, melainkan menjawab tren penurunan kepuasan publik di sektor ekonomi dan penegakan hukum.
The Economist (23/6/2022) membuat kajian dalam bentuk model statistik untuk meneliti hubungan antara melonjaknya harga pangan serta bahan bakar utama dengan kegaduhan politik. Menarik bahwa secara lintas balik kesejarahan dapat menjadi alat peramal terjadinya protes masyarakat, huru-hara kekerasan politik.
Sekiranya asumsi ini ajek menjadi kenyataan, maka dapat diduga munculnya kerusuhan yang meningkat dua kali lipat di negara berkembang. Suatu hal yang tidak diharapkan di negeri kita tercinta
Hadisudjono SastrosatomoAnggota Tim Pengarah Pusat Etika Bisnis dan Organisasi SS-PEBOSS-STM PPM Menteng Raya, Jakarta
Pancasila Mulai dari Keluarga
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2017%2F06%2F01%2F869ad927-0782-478f-aad7-7a0f9956b53d_jpg.jpg)
Siswa peserta Upacara Peringatan Hari Lahirnya Pancasila memerhatikan lukisan anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang terpasang di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Kamis (1/6). Gedung Pancasila merupakan saksi bisu kelahiran Pancasila pada 1 Juni 1945.
Pada 12 Januari 2022 Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas PP No 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Mata pelajaran wajib dalam SNP 2022 adalah Pendidikan Agama, Pancasila, dan Bahasa Indonesia. Pancasila sebagai bahan ajar di sekolah dan perguruan tinggi menjadi wajib.
Belajar Pancasila dari sekolah dasar, menengah, hingga perguruan tinggi itu sungguh membosankan. Bayangkan, selama kurang lebih 17 tahun belajar hal-hal yang itu-itu saja secara kognitif, sekadar hafalan. Saya dulu juga bosan mengikuti mata kuliah Pancasila di perguruan tinggi. Ujian Pancasila ditempuh sekadar lulus. Tidak ada internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam diri peserta didik.
Ada sesuatu yang salah dalam menerjemahkan kewajiban belajar Pancasila. Lebih baik menanamkan nilai-nilai Pancasila secara afektif sehingga ada internalisasi.
Keluarga adalah tempat terbaik untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, adalah sila yang harus diterjemahkan menjadi sikap hidup sehari-hari, ditanamkan pada anak sejak dini. Bukan hafalan, tetapi amalan.
Orang yang dari dalam dirinya bersifat adil dan beradab lebih mudah untuk dididik menjadi berketuhanan, bersatu dalam keindonesiaan, menjadi rakyat yang bisa bermusyawarah, dan bersama-sama mengupayakan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.
Bagaimana menerjemahkan kemanusiaan yang adil dan beradab jadi sikap hidup sehari-hari? Adil itu antara lain mendidik anak-anak menghargai hak orang lain, misal tidak menyerobot antrean.
Beradab itu antara lain dengan menjadi jujur dalam segala hal, misalnya tidak mencontek ketika ulangan.
Orang yang bisa menghargai hak orang lain tahu batas-batas hak dirinya, serta jujur dalam segala hal, tidak akan korupsi, juga tidak akan merundung anak didik.
Pancasila hendaknya tidak menjadi jargon, tetapi menjadi panduan hidup masyarakat.
Gunawan SuryomurcitoPondok Indah, Jakarta