Samuel Mulia mengenal betul sisi industri mode karena dia sempat belajar ”fashion journalism” di Paris, kota mode dunia. Pendidikan itu memberi dia otoritas untuk menilai suatu presentasi karya mode.
Oleh
Ninuk M Pambudy
·5 menit baca
Penulis ”Parodi” di harian Kompas edisi Minggu, Samuel Mulia, yang tidak pernah absen mengirim tulisan, berpulang pada Sabtu, 25 Juni 2022, sore. Melalui tulisan-tulisannya yang bersifat personal, dia melakukan kritik sosial.
Hari Sabtu (3/7/2022) ini menandai tepat sepekan kepergian selamanya Samuel Mulia. Pembaca harian Kompas tidak lagi dapat menikmati tulisan-tulisannya dalam rubrik ”Parodi” di harian ini yang dia tulis secara rutin tanpa jeda selama 17 tahun sejak 3 Juli 2005. Tulisan pertamanya berjudul ”Gara-gara ’Keberatan’ Nama” dan tulisan terakhirnya ”Jangan Bilang-bilang”, terbit 19 Juni 2022.
Apa yang istimewa dari Samuel Mulia, sosok yang berkecimpung dalam dunia tulis-menulis gaya hidup dan mode serta konsultan untuk sejumlah merek gaya hidup? Tulisan ini pertama-tama adalah untuk memperpanjang ingatan tentang Sam dan sumbangannya pada gaya hidup masyarakat kota agar tidak segera menjadi abu seperti jasadnya yang dikremasi pada Kamis (30/6/2022) pagi. Kemudian, untuk menempatkan Sam, panggilan akrabnya, sebagai seorang pengamat sosial perkotaan.
Saya mengenal Sam karena sama-sama meliput industri mode, fashion, sejak pertengahan 1990-an. Sam saat itu menjadi wartawan di sebuah majalah gaya hidup, Dewi. (Dia kemudian mendirikan majalah gaya hidup A+ dan terakhir bersama Virginia Rusli melahirkan majalah Clara Indonesia). Kami kerap duduk berdampingan menyaksikan pergelaran mode. Dari situ saya tahu bahwa kritiknya setajam silet dan banyak orang menghargai pandangannya. Saya yang sebelumnya tidak pernah meliput mode dan gaya hidup kelompok elite urban belajar beberapa hal dari dia mengenai industri mode.
Sam mengenal betul sisi industri mode karena dia sempat belajar fashion journalism di Paris, kota mode dunia. Pendidikan itu memberi dia otoritas untuk menilai suatu presentasi karya mode meskipun buat yang dinilai bisa sakit perut karena Sam menggunakan standar internasional. Dunia mode juga memberi dia kesempatan bertemu dengan crème de la crème pergaulan elite Jakarta. Sebagai seorang yang terbuka mengakui dirinya gay, Sam memiliki amatan yang unik, berbeda dari jender perempuan dan laki-laki yang merupakan arus utama.
Pendidikan itu memberi dia otoritas untuk menilai suatu presentasi karya mode meskipun buat yang dinilai bisa sakit perut karena Sam menggunakan standar internasional.
Kombinasi semua itu membuat tulisan-tulisan Sam di rubrik ”Parodi” menjadi menarik. Tajam mengiris ke dalam, menyindir keras, tetapi dia menggunakan dirinya sebagai tabir kritiknya. Adalah rekan saya yang juga menjadi editor di Kompas Minggu, Bre Redana, yang mengusulkan adanya rubrik ”Parodi” untuk memperjelas sosok Kompas Minggu sebagai lembaran urban yang melayani pembaca kota besar. Dia pula yang mengusulkan nama Sam sebagai pengisi rutin rubrik itu.
Membaca tulisan pertamanya di Kompas Minggu, ”Gara-Gara ’Keberatan’ Nama”, Sam bertutur bagaimana dia memuja merek Louis Vuitton, menabung penghasilannya di kas register toko Louis Vuitton di berbagai tempat ke mana dia pergi. Louis Vuitton adalah salah satu perusahaan konglomerat dunia dari Perancis, bergerak dalam produk mode dan gaya hidup.
Saya kutipkan satu alinea tulisan itu. ”Saya membeli barang-barang secara eksesif sehingga orang berpikir saya begitu kayanya, dan saya menyukai anggapan orang itu. Barang-barang ini mampu mengangkat saya ke kelas gaya hidup yang awalnya tak pernah saya pikirkan. Padahal saya menabung dengan bersusah payah. Koper-koper Louis Vuitton yang besar dan berat itu memang ditujukan bagi mereka yang mempunyai gaya hidup super kaya, yang memiliki bedinde yang bisa mengangkut semua barang-barang itu. Sementara saya harus mengurus semua perlengkapan perang itu sendiri. Dengan bepergian menggunakan barang bermerek sebanyak itu, orang berpikir bahwa saya akan naik pesawat kelas utama atau paling tidak kelas bisnis, kenyataannya saya hanya sampai di kelas ekonomi dan kadang-kadang saja bisa naik kelas bisnis.”
Bukankah banyak di antara kita seperti itu? Sam menyindir kehidupan kelas menengah-atas kapitalis yang identitasnya ditentukan oleh apa yang dikonsumsi meskipun identitas yang ditampilkan bukan yang sebenarnya.
Kritik sosial yang menggunakan metafora personal dengan menertawakan diri sendiri menjadikan tulisan-tulisan Sam yang jenaka, hidup, mengejek, kadang sarkas, tetapi cerdas dan berempati, disukai dan ditunggu banyak orang. Meskipun banyak tulisannya menyindir kemunafikan elite urban dalam pergaulan sosial mereka, tidak ada yang sungguh-sungguh merasa tersinggung karena Sam tidak menunjuk hidung.
Kritik sosial yang menggunakan metafora personal dengan menertawakan diri sendiri menjadikan tulisan-tulisan Sam yang jenaka, hidup, mengejek, kadang sarkas, tetapi cerdas dan berempati, disukai dan ditunggu banyak orang.
Dalam banyak hal Sam adalah minoritas. Dia seorang gay, berdarah Tionghoa, dan hanya memiliki satu ginjal sehat karena satu ginjalnya yang lain tampaknya tidak berkembang sempurna. Dia seorang yang religius meskipun sering mempertanyakan kerahiman dan keadilan Sang Maha Pencipta.
Sam anak kedua dari tiga bersaudara, kakaknya tinggal di Amerika Serikat dan adiknya di Australia. Ayah dan ibu kandungnya sudah tidak ada. Dia lahir di Denpasar, 13 Januari 1963, dan menyelesaikan pendidikan sarjana kedokteran di kota kelahirannya sebelum akhirnya memutuskan mengejar impiannya, yaitu mode.
Sam berpulang dalam keadaan sendiri di apartemennya di Jakarta. Dia memang seorang warga kota besar, urbanite, globetrotter. Memilih tinggal sendiri agar tidak direpoti urusan tetek-bengek dan tidak ingin merepoti orang lain. Hidupnya sangat disiplin, terlihat dari ketepatan dan keajekannya memenuhi tenggat pengiriman artikel ke Kompas.
Meski demikian, dia bukan antisosial. Temannya banyak dan loyal. Teman-temannya yang menyelenggarakan persemayamannya di rumah duka hingga kremasinya sambil menunggu kedatangan sang adik. Karangan bunga datang berjejer-jejer. Sahabat, teman, mereka yang pernah dia kritik, dan mereka yang merasa kenal datang melayat. Dia layaknya seorang sosialita.
Kalimat mengenang Sam yang beredar di media sosial menggambarkan perjalanan hidupnya: ”Setelah jatuh bangun dalam resistensi dan penerimaan, penolakan dan kepasrahan, akhirnya sampai juga di ujung ketakwaan”. Selamat jalan, Sam. Semoga damai di sisi Tuhan.