Chairil Anwar dan Indonesia memiliki hubungan teks yang kuat. Memperingati seabad usia Chairil bisa dijadikan aras dan arus berpikir futuristik untuk menimbang semangat kebebasan Chairil serta keindonesiaan saat ini.
Oleh
Nizar Machyuzaar
·4 menit baca
SUPRIYANTO
Supriyanto
Chairil dan Indonesia memiliki hubungan teks yang kuat. Kedua nama ini meriwayatkan visi kebebasan. Setidaknya, ungkapan ”bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa” yang tertera dalam pembukaan UUD 1945 sejajar dengan ungkapan ”Aku ini binatang jalang” dalam puisi ”Aku” Chairil.
Sayangnya, Chairil (1922-1949) wafat pada usia belia, 27 tahun. Namun, dalam rentang waktu tujuh tahun menulis puisi (1942-1949), Chairil telah mengonkretkan ungkapan aku ingin hidup seribu tahun lagi. Sementara itu, Indonesia yang sudah berusia 77 tahun masih harus terus berjibaku dalam meneguhkan semangat keakuannya. Bukahkah ungkapan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harga mati menggambarkannya?
Karena itu, momentum memperingati seabad usia Chairil Anwar, 26 Juli 2022, dapat dijadikan aras dan arus berpikir futuristik untuk menimbang semangat kebebasan Chairil dalam keindonesiaan kita saat ini. Dalam tulisan ini, metafora dapat dijadikan lubang intip untuk menimbang relevansi peringatan seabad Chairil Anwar.
Dalam tulisan ini, metafora dapat dijadikan lubang intip untuk menimbang relevansi peringatan seabad Chairil Anwar.
Jebakan
Prinsip-prinsip komposisi, baik puisi maupun prosa, bukan didasarkan pada fakta satuan kebahasaan kata, frasa, dan klausa, melainkan kalimat. Dari sini dapat dikatakan bahwa setiap satuan kebahasaan tersebut mendapatkan maknanya dari komposisi dalam kalimat.
Selain itu, satuan kebahasaan pembangun kalimat tersebut harus digunakan secara baru di setiap tampilan kalimat. Dapat dibayangkan bahwa kata, frasa, dan klausa menjadi organisme yang diisi ulang dengan makna (baru) dalam komposisi antarunsur kalimat. Mereka bukan sekadar organisme yang mengacu pada penamaan kamus saja, melainkan juga sebuah kenyataan hidup bahwa pikiran atau emosi telah telah dibubuhkan penulis pada satu arah dan pembaca pada arah lain.
Dalam puisi, kalimat mengambil bentuk baris atau larik. Sebagai contoh, frasa ”binatang jalang” dapat dianggap sebuah metafora–sebuah jembatan yang menghubungkan dua atau lebih benda, peristiwa, dan gabungan keduanya. Pemaknaan atas metafora harus ditempatkan dalam komposisi antarkata yang membangun larik, bait, dan keutuhan puisi.
Bahkan, pada akhirnya dapat dikatakan bahwa puisi menyampaikan sebentuk pengalaman dan pengetahuan hidup melalui komposisi larik. Sebagai contoh, tematis puisi yang terikat tajuk ”Aku” disubstitusi dengan pernyataan ”binatang jalang” sebagai metafora. Kita pun dapat menghubungkan ungkapan ”aku ini binatang jalang” dengan ungkapan awal Pembuka Undang-Undang Dasar 1945 bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa (baca: setiap aku).
Barangkali, pemaksaan dua ungkapan yang tidak berhubungan ini dapat memosisikan betapa metafora ampuh dalam menyusun ulang pengalaman dan pengetahuan yang acak, relatif, dan apolitis. Pemaksaan ini juga menyadarkan kita bahwa keacakan pengetahuan merupakan ciri awal pengalaman dan pengetahuan. Karena terdukung metafora, keacakan pengetahuan tersebut menemukan bentuknya yang sistematis dan padat, seperti komposisi yang kohesif dan koheren dalam mitos, filsafat, dan sains.
Namun, karena sering dilalui (baca: diucapkan), jembatan bernama metafora kadang kehilangan signifikansinya sebagai penghubung dua atau lebih dunia yang acak ke dunia yang plural, sinergis, dan ideologis. Kenyataan ini membawa metafora pada ungkapan aku ingin hidup seribu tahun lagi dan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa berpotensi terjebak dalam metafora mati.
Mengapa demikian? Dari dua ungkapan tersebut, benak pikiran kita seolah-olah sudah otomatis memproduksi makna, ”O, itu larik puisi ’Aku’ karya Chairil Anwar yang individualis dan ini kan pembukaan undang-undang dasar negara kita yang menegaskan bahwa kita sebagai bangsa Indonesia sudah merdeka.”
Elan vital
Kematian sebuah metafora dapat terjadi karena jembatannya rapuh, jembatannya buntu, dan jembatannya familiar. Metafora buntu terbaca pada larik ”aku ingin hidup seribu tahun lagi” jika terpisah dari konteks bait dan keutuhan puisi. Metafora familiar terbaca pada larik ”aku ini binatang jalang”. Meskipun memendam ambiguitas, frasa ”binatang jalang” sudah menjadi pengetahuan bersama sebagai diksi puisi Chairil.
Sementara itu, metafora rapuh terbaca pada ungkapan ”bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa” karena kata ”adalah” telah menghubungkan dua hal yang telah menjadi pengalaman dan pengetahuan yang dihayati bersama. Konsekuensinya, metafora ini lemah dalam memformulasikan pengetahuan yang baru.
Jika ungkapan ”aku ingin hidup seribu tahun lagi” menyertakan aku lirik puisi ”aku ini binatang jalang”, kita dapat memaknai bahwa keakuan dan kebebasan berada dalam imaji ruang dan waktu berwatas kata penunjuk ini. Sementara itu, dalam ungkapan bahwa ”kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa” terbaca keakuan dan kebebasan berada dalam imaji ruang dan waktu berwatas kata penunjuk itu.
Persepsi atas kata penunjuk ini menandai bahwa Chairil atau setidak-tidaknya aku lirik puisi begitu dekat menghayati kebebasan. Namun, persepsi atas kata penunjuk itu menandai kami (sebagai bangsa Indonesia) memiliki jarak spasial relatif untuk menghayati kemerdekaan.
Barangkali, jarak relatif ini yang telah menurunkan metafora NKRI harga mati. Sayangnya, metafora NKRI harga mati yang berorientasi futuristik, laiknya metafora aku ingin hidup seribu tahun lagi Chairil, masih berbayang imaji ruang kata penunjuk itu.
Mungkin, hal ini yang membedakan Chairil Anwar dan Indonesia dalam memproduksi imaji ruang untuk meneguhkan dan mengukuhkan keakuan. Meski Chairil Anwar telah meninggalkan kita selama 73 tahun lalu, semangat keakuan yang telah dihayatinya, yang berdimensi kebebasan dan kemerdekaan, akan terus menjadi elan vital dan mengonstruksi keindonesiaan kita.
Nizar MachyuzaarPenulis, Mahasiswa Magister Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Unpad