Seabad Tamansiswa, dalam Bingkai Prangko Indonesia
Pendidikan Tamansiswa didirikan sebagai gerakan perjuangan melawan kolonialisme melalui pendidikan dan kebudayaan. Melalui penerbitan seri prangko seabad Tamansiswa, kita bisa menelusuri jejak sejarah Ki Hajar Dewantara.
Oleh
EKO WAHYUANTO
·4 menit baca
”Een voor Allen maar Ook Allen voor Een”. Satu untuk semua, tetapi semua untuk satu, demikian falsafah klasik yang lahir dari pikiran sang tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, yang kini telah berusia satu abad.
Seratus tahun lalu, tepatnya 3 Juli 1922, pendidikan Tamansiswa didirikan sebagai sebuah rintisan perjuangan melawan hegemoni kolonialisme melalui pisau tajam pendidikan. Gerakan antikolonialisme itu dibangun dan didirikan dengan penekanan pada perjuangan pendidikan dan kebudayaan, untuk melahirkan peradaban yang sarat ide dan gagasan antikolonialisme.
Ada dua titik sentral perjuangan Ki Hajar Dewantara waktu itu, yaitu pergerakan tahun 1922 (era kolonial) dan pergerakan setelah Indonesia merdeka dengan ditandai penyelenggaraan rapat umum besar tahun 1946. Dalam rapat umum ini dibahas apakah perjuangan Tamansiswa akan berhenti sampai di sini karena tujuan Indonesia merdeka telah tercapai, ataukah tetap dihidupkan dalam tujuan mengisi kemerdekaan.
Seperti diketahui, tujuan awal pendirian Tamansiswa adalah menuju Indonesia merdeka yang dituangkan dalam Protokol 1922 (Perjuangan). Namun, setelah Indonesia merdeka, dan rapat umum besar kembali digelar pada 1946, akhirnya diputuskan bahwa perjuangan Tamansiswa harus tetap dilanjutkan, untuk mengawal sekaligus mengisi Indonesia merdeka.
Metode dan implementasinya harus mampu beradaptasi dan menjawab tantangan zaman sekarang.
Melalui Protokol 1947, Tamansiswa terus dikembangkan dengan berorientasi pada gerakan mengisi kemerdekaan, melalui gagasan yang sangat populer yang disebut sebagai Trilogi Pendidikan, yakni ”ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” (di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan). Metode dan implementasinya harus mampu beradaptasi dan menjawab tantangan zaman sekarang.
Oleh sebab itu, diperlukan strategi ataupun kontribusi nyata dalam upaya meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui pendidikan nasional, yang kini berada dalam era transformasi digital yang serba futuristik. Cita-cita Tamansiswa mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai dengan yang termaktub dalam UUD 1945 melalui pendidikan, harus menjadi konstruksi modern, harus mampu beradaptasi dengan ”arus globalisasi” sekitar 3-4 dasawarsa lalu.
Pikiran Ki Hajar Dewantara harus terejawantah ke dalam sistem pendidikan nasional kita masa kini, entah itu melalui kebijakan kurikulum, didukungan fasilitas pembelajaran, peningkatan kualitas pengajar, maupun metode pengajaran yang hidup dalam ruang-ruang perdebatan.
Seperti diketahui, Ki Hajar Dewantara secara tegas menolak istilah intelektualisme (kognisi dan angka-angka). Baginya, karakter anak didik tidak kalah penting untuk diasah (afeksi) ataupun budi pekertinya.
Zaman berubah, kini kita berada pada abad disrupsi (Revolusi Industri 4.0 dan 5.0) seolah datang menelikung di saat kita masih terjebak dalam kungkungan perdebatan tentang sistem pendidikan seperti apa yang paling ideal pada era sekarang. Untuk mendokumentasikan perjalanan perjuangan Ki Hajar Dewantara tersebut, negara melalui pemerintah (Kemkominfo) memberikan penghargaan kepada pahlawan nasional tersebut untuk diabadikan dalam bentuk prangko.
Seri prangko Tamansiswa bergambar wajah Ki Hajar Dewantara ini resmi terbit 3 Juni 2022, persis seabad peringatan Tamansiswa. Melalui prangko tersebut, generasi muda dapat menelusuri jejak sejarah perjuangan Ki Hajar Dewantara, karena di dalam prangko dilengkapi dengan deskripsi tentang Ki Hajar Dewantara yang dapat digali lebih mendalam, baik melalui kajian maupun riset-riset.
Melalui keping kecil prangko bergambar Ki Hadjar Dewantara ini, masyarakat dunia juga dapat melihat bagaimana sejarah pergerakan pendidikan yang dimotori Ki Hajar, karena prangko tersebut dicatatkan dalam organisasi pos dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Universal Postal Union (UPU).
Dalam konteks Trilogi Pendidikan, Ki Hajar Dewantara mengajarkan semangat dan cara mendidik anak Indonesia untuk menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirnya, dan merdeka raga/tenaganya. Artinya sangat relevan dengan jargon pendidikan saat ini ”Merdeka Belajar” sehingga diharapkan nilai-nilai ajarannya berdenyut dalam Sistem Pendidikan Nasional kita.
Namun, yang tidak kalah penting, Tamansiswa juga harus visioner dan futuristik, mampu melihat jauh ke depan agar ajaran-ajaran Ki Hajar Dewantara mampu melintasi zaman ke zaman.
Merdeka belajar menjadi pemandu utama pembangunan karakter keIndonesiaan, sekaligus kompas bagi nilai-nilai terbaik bagi pendidikan nasional kita. Namun, yang tidak kalah penting Tamansiswa juga harus visioner dan futuristik, mampu melihat jauh ke depan agar ajaran-ajaran Ki Hajar Dewantara mampu melintasi zaman ke zaman.
Tamansiswa harus menjadi laboratorium bagi penerapan ajaran-ajaran Ki Hajar Dewantara, bahkan menjadi antitesis bagi kegagalan ataupun belum optimalnya sistem pendidikan nasional kita dalam membaca tantangan kekinian.
Tamansiswa ke depan diharapkan tidak lagi sekadar bicara pendidikan dan kebudayaan, sosial-kemasyarakatan dalam arti luas, tapi juga harus berkontribusi bagi perekonomian bangsa melalui usaha-usaha produktif.
Selamat merayakan Seabad Tamansiswa (1922-2022).
Eko Wahyuanto, Penulis, Analis Kebijakan Ahli Madya Kemkominfo, Kandidat Doktor UNJ