Salah satu hal yang paling krusial manajemen guru di Indonesia ialah multistandar pengelolaan guru. Terlalu banyak pihak yang mengurus dan mengelola guru, sedangkan jumlah dan kompetensi guru tidak sesuai kebutuhan.
Oleh
KI SUGENG SUBAGYA
·5 menit baca
Karut-marut pengelolaan guru di Indonesia kembali menelan korban. Ibu Suwarti (61) diminta mengembalikan gaji selama dua tahun dengan nilai sekitar Rp 93 juta. Beliau pensiunan guru SD di Sragen, Jawa Tengah. Tidak hanya itu, uang pensiun tidak dapat diterimakan. Bagai sudah jatuh tertimpa tangga.
Sejarah panjang ”keguruan” Ibu Suwarti memberi informasi, betapa pengabdian dan perjuangan seorang guru tidak serta merta linear dengan kesejahteraannya. Ibu Suwarti menjadi guru honorer lebih dari 28 tahun. Selama itu beliau berpindah mengajar dari SD satu ke SD lainnya. Pada 2014, Ibu Suwarti diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan selang 2 tahun kemudian diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) pada 2016.
Pada Juli 2021, Ibu Suwarti memasuki usia pensiun. Dengan demikian, pengabdian Ibu Suwarti menjadi guru sudah lebih dari 35 tahun. Pengajuan pensiun dilakukan setahun sebelumnya, yakni tahun 2020. Berkas pengajuan pensiun diajukan kepada Badan Kepegawaian Daerah, kemudian diteruskan ke Badan Kepegawaian Negara (BKN). BKN mengembalikan berkas. Pengembalian itu setidaknya dengan dua alasan. Pertama, Ibu Suwarti dinilai hanya lulusan pendidikan guru agama yang setara dengan sekolah menengah atas dan bukan sarjana (strata 1). Kedua, status kepegawaian Ibu Suwarti bukan guru, melainkan tenaga kependidikan.
Setidaknya, penataan guru dalam rangka pengelolaan guru yang profesional belum menunjukkan perbaikan signifikan.
Menurut peraturan yang berlaku, tenaga kependidikan pensiun tidak pada usia 60 tahun, melainkan 58 tahun. Dengan usia pensiun tenaga kependidikan 58 tahun, Ibu Suwarti memiliki masa kerja sebagai PNS terhitung 5 tahun kurang 3 bulan. Sementara regulasi yang berlaku, untuk mendapatkan hak gaji pensiun seseorang PNS harus memiliki masa kerja minimal 5 tahun.
Tanpa bermaksud menjustifikasi siapa yang benar dan siapa yang salah, alasan BKN mengembalikan berkas pensiun Ibu Suwarti benar adanya. BKN berpijak kepada kebenaran legal-formal. Sementara Ibu Suwarti tidak mau disalahkan atas kasus ini benar adanya pula. Faktanya, status beliau adalah guru PNS yang memegang surat keputusan pengangkatan CPNS dan PNS.
Berdasarkan kasus ini, sebenarnya persoalannya tidak semata-mata pada status kepegawaian seseorang. Lebih dari itu, hulu persoalannya bersumber dari manajemen guru di Indonesia yang belum baik. Setidaknya penataan guru dalam rangka pengelolaan guru yang profesional belum menunjukkan perbaikan signifikan.
Di antara persoalan manajemen guru yang paling mengemuka ialah status kepegawaian guru. Secara umum, di Indonesia dikenal guru tetap dan guru tidak tetap. Guru tetap dapat dikategorikan sebagai guru tetap berstatus PNS dan guru tetap yayasan (GTY). Guru tidak tetap variannya sangat banyak, di antaranya guru honorer, guru bantu, guru wiyata bakti, dan sebagainya. Akhir-akhir ini ada satu kategori lagi, guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Ditilik dari status kepegawaian yang demikian, guru PNS, GTY, dan guru PPPK memiliki jaminan kepastian legalitas dan bargaining power lebih kokoh. Sementara guru honorer dengan berbagai variannya sangat rentan kapasitas legalitasnya. Guru honorer hampir tidak berdaya menghadapi guncangan regulasi dan kebijakan. Dari sisi kesejahteraan yang diukur dari penerimaan gaji/honorarium dan hak-hak atas kewajiban lainnya, guru honorer relatif paling tidak sejahtera. Sering kita mendengar guru honorer yang dibayar sangat jauh di bawah upah minimum provinsi (UMP) dan diterimakan tidak rutin dan berkelanjutan setiap bulan.
Didie SW
Dalam hal kesejahteraan inilah, kesenjangan pengelolaan guru terjadi. Guru PNS yang paling menjanjikan kesejahteraan dan kepastian legalitas sangat menjadi dambaan setiap insan guru. Ketika ada peluang terbuka untuk menjadi guru PNS, berbondong-bondong para guru tidak tetap dan guru tetap yayasan mengadu nasib memanfaatkan peluang itu. Dalam sejarah perjuangan guru honorer, upaya itu bahkan dilakukan dengan berbagai cara. Dari advokasi organisasi profesi, audiensi, hingga demonstrasi. Tidak sedikit di antara mereka terpaksa gigit jari. Sangat sedikit guru tidak tetap yang dapat lolos menembus ”tembok tebal pembatas ruang” guru PNS. Ibu Suwarti termasuk yang beruntung dapat lolos dari lubang jarum guru PNS, meskipun tragis diakhir pengabdiannya.
Belajar dari kasus Ibu Suwarti, mencari solusi jangka pendek ”menyelamatkan” nasib Ibu Suwarti harus dilakukan. Tetapi, tidak kalah pentingnya perbaikan manajemen guru secara komprehensif juga harus dilakukan. Tidak boleh ada lagi korban-korban mismanagemen guru berjatuhan. Bagi para dermawan yang berniat menggalang dana untuk mengembalikan gaji selama dua tahun dan memberikan ”santunan pengganti uang pensiun” patut diapresiasi. Pejabat pemerintah yang menjanjikan menyediakan dana pribadi untuk Ibu Suwarti juga patut diapresiasi. Namun, itu semua belum menyentuh akar masalah manajemen guru kita.
Ibu Suwarti termasuk yang beruntung dapat lolos dari lubang jarum guru PNS meskipun tragis diakhir pengabdiannya.
Salah satu hal yang paling krusial manajemen guru di Indonesia ialah multistandar pengelolaan guru. Terlalu banyak pihak yang mengurus dan mengelola guru, sedangkan jumlah dan kompetensi guru tidak sesuai dengan kebutuhan riil. Pendidikan sebagai salah satu bidang yang diotonomikan kepada pemerintah daerah ambigu dalam realisasi. Guru di bawah naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi turut diotonomikan kepada pemerintah daerah. Namun, guru madrasah dan guru pendidikan agama yang di bawah naungan Kementerian Agama masih sentralisasi karena urusan agama tidak termasuk yang didesentralisasikan.
Dalam urusan administratif kepegawaian guru, semua guru PNS tunduk kepada regulasi BAKN dan tata kelola Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Guru PNS diurus secara keroyokan oleh banyak pihak, sedangkan untuk guru tidak tetap tidak ada yang mengurusnya, selain lembaga penggunanya atas dasar kepentingan penggunanya. Lengkaplah sudah nasib tragis guru tidak tetap, diperhatikan ketika dibutuhkan, tidak dipedulikan peran dan eksistensinya manakala tidak dibutuhkan lagi.
Guru tetap yayasan dalam banyak hal nasibnya tidak sebaik guru PNS meskipun dalam beberapa hal masih lebih baik dari guru tidak tetap. Jika ada guru tetap yayasan yang bernasib mujur dengan kesejahteraan lebih baik dari guru PNS, jumlahnya sangat sedikit. Banyak guru tetap yayasan sekadar mengejar status sebagai guru, tetapi dalam hal penghargaan finansial sangat jauh dari layak. Di antara mereka malah tanpa jaminan masa depan sama sekali.
Saatnya dipikirkan dengan sungguh-sungguh sistem manajemen guru yang baik dan profesional. Sebagai pembanding bisa mengadopsi sistem pengelolaan pegawai anggota TNI/Polri. Hanya ada satu standar manajemen kepegawaian guru profesional ialah Guru Nasional Indonesia.
Ki Sugeng Subagya, Pamong Tamansiswa di Yogyakarta