Proses rehabilitasi penyalahguna narkotika usia anak dan remaja idealnya bersifat holistik, komprehensif, dan tidak menyalahi hak dasar anak, termasuk hak pendidikan. Model Sekolah Pemulihan dinilai tepat.
Oleh
MUHAMMAD HATTA
·4 menit baca
Dikeluarkannya dua siswa SMA di Bengkulu, N dan D, setelah menjalani rehabilitasi pencandu narkotika viral di media sosial. Mereka tidak diperbolehkan mengikuti pelajaran setelah menjalani tiga bulan rehabilitasi di Yayasan Kipas Bengkulu (TVOneNews, 24/5/22).
Fenomena tersebut menandakan masih kentalnya stigma negatif terhadap pencandu narkotika oleh penyelenggara pendidikan, terlepas dari pelbagai upaya yang telah dilaksanakan oleh institusi-institusi terkait pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika (P4GN). Tak mengherankan prevalensi penyalahguna narkotika pada kelompok pelajar dan mahasiswa terus meningkat signifikan, dari 1,4 persen pada 2019 menjadi 1,96 persen pada 2021 (Survei Prevalensi BNN Tahun 2021).
Mayoritas pusat rehabilitasi narkotika di Indonesia masih menerapkan metode Therapy Communities(TC) bagi penyalah guna narkotika usia anak dan remaja. Sebagai pendekatan psikoterapi berbasis residensial, metode ini mensyaratkan pesertanya untuk berdiam dan beraktivitas pada suatu area terkontrol selama 2-3 bulan. Ini dimaksudkan agar para residen (sebutan bagi klien pencandu narkotika, psikotropika, dan obat terlarang yang tengah dirawat) dapat saling berinteraksi dan tolong-menolong selaku kelompok menuju pemulihan yang sempurna (Dye et al, 2009).
Modalitas TC tersebut dinilai bertentangan dengan semangat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 sebab mengharuskan anak dan remaja cuti dari kegiatan belajar di sekolah (KPAI, 2018). Modalitas TC ini pun ”melabrak” UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 yang mensyaratkan proses rehabilitasi penyalahguna narkotika usia anak dan remaja idealnya bersifat holistik, komprehensif, dan tidak menyalahi hak dasar anak, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
Hingga kini belum ada upaya pemerintah menambal ”celah kekeliruan” tersebut. Nota Kesepahaman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan BNN tentang penerapan kurikulum P4GN bagi sekolah dasar dan menengah yang diteken tahun 2018 hanya menekankan aspek pencegahan dan demand reduction, belum menjangkau metode pendidikan pelajar yang tengah direhabilitasi (Kompas, 19/7/18).
Semua fakta tersebut di atas menandakan kebutuhan mendesak akan adanya sebuah tempat di mana penyalahguna narkotika usia anak dan remaja direhabilitasi tanpa kehilangan hak untuk bersekolah dan melanjutkan pendidikan mereka.
Sekolah pemulihan
Tempat tersebut berjuluk ”Sekolah Pemulihan (Recovery School)” yang mulai bermunculan di Amerika Serikat sejak akhir 1970-an. Sekolah Pemulihan yang merupakan program rehabilitasi penyalah guna narkotika usia anak dan remaja pada suatu sekolah yang telah ditetapkan telah menjadi tren mutakhir standar penanganan pelajar dan mahasiswa pencandu narkotika di AS.
Bermula dari sebuah sekolah di Maryland, kini terdapat 34 sekolah pemulihan yang tersebar di 15 negara bagian (ARS,2021). Jumlah siswa tak banyak (25-50 orang) sebab sekolah ini menerapkan integrated boarding school agar mereka dapat dimonitor secara berkala. Efektivitasnya pun terlihat dengan jumlah pencandu kambuh (relaps) hanya 30 persen, dibandingkan luaran pusat rehabilitasi biasa yang mencapai 70 persen (Balonon-Rosen, 2016).
Untuk negara dengan sumber daya terbatas seperti Indonesia, Sekolah Pemulihan dapat diefektifkan melalui penerapan pada pusat-pusat rehabilitasi narkotika yang telah ada.
Sayangnya, biaya operasional tinggi serta harus tersedia sumber daya manusia (konselor, psikolog, dan tenaga medis) penunjang layanan menyebabkan Sekolah Pemulihan hanya dapat dilaksanakan di negara-negara maju (Faggiano et al, 2014). Untuk negara dengan sumber daya terbatas seperti Indonesia, Sekolah Pemulihan dapat diefektifkan melalui penerapan pada pusat-pusat rehabilitasi narkotika yang telah ada dan diintegrasikan ke dalam program-program yang telah ada di tempat tersebut (Finch & Karakos, 2014). Modifikasi tersebut dikenal sebagai Sekolah Pemulihan Berbasis Pusat Rehabilitasi (Recovery Teatment Center School-RTCS).
Idealnya, RTCS memiliki guru-guru pengampu mata pelajaran sesuai tingkat pengetahuan siswa yang tengah direhabilitasi. Namun, lebarnya variasi tingkat pendidikan siswa yang tengah direhabilitasi (sejak tingkat SD hingga SMA) akan berdampak pada besaran anggaran yang harus disiapkan oleh pengampu rehabilitasi. Untuk mendidik seorang siswa SD di sekolah biasa saja diperkirakan memakan biaya Rp 246.000 per bulan per orang (Zamroni et al, 2012).
Oleh karena itu, RTCS harus memaksimalkan solusi digital via aplikasi belajar mandiri milik Kemendikbudristek. Pada jam pelajaran sekolah, pencandu pelajar masuk ke perpustakaan digital yang telah dilengkapi konsol-konsol pembelajaran digital di mana mereka belajar secara mandiri sesuai aras pendidikannya.
Selepas belajar, mereka berpindah ke ruangan konseling untuk melanjutkan program terapi rehabilitasinya. Karena siswa tetap dapat belajar sambil direhabilitasi dan pihak sekolah serta keluarga dilibatkan dalam proses pemulihan atas ketergantungannya, SPBF dinilai lebih efektif ketimbang terapi rehabilitasi konvensional yang ada saat ini.
Konsep RTCS relatif masih baru dan belum tersedia di pusat-pusat rehabilitasi pelajar dan mahasiswa yang ada di Indonesia. Jika nanti dijalankan, agar optimal ia akan butuh dukungan institusi terkait lainnya, terutama Kemendikbudristek, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan BNN.
Koordinasi tersebut menemukan momentum dengan bakal direvisinya UU Narkotika pada tahun 2022 ini. Sudah saatnya pemerintah bergerak cepat menyelamatkan populasi pelajar dari ancaman narkotika agar tak menggerus bonus demografi kita.
Muhammad Hatta, Dokter di Badan Narkotika Nasional