Merajut Keseimbangan
Pemilu bukan soal siapa yang paling populer, tetapi tentang sosok yang mampu merawat Indonesia ke depan. Indonesia harus tetap kokoh. Maka, memastikan keseimbangan di tengah ancaman perpecahan merupakan tugas yang mulia.
Politik tak selalu bicara kemungkinan, tapi juga ketidakmungkinan. Lantas, kenapa ada yang begitu terusik dengan potongan kalimat Presiden Joko Widodo (Jokowi) ojo kesusu sik (tak usah buru-buru dulu)? Kenapa pula politisi lebih mementingkan ’menang pemilu’ ketimbang mengantisipasi ’politik identitas’?
Tahun 2024 bisa menjadi titik kemenentuan, sekaligus ketakmenentuan. Terkait itu, Presiden Jokowi pernah berkata, ”Ojo kesusu sik”. Panggung sontak ramai karena interpretasi yang begitu liar. Padahal, kalau dibaca dengan saksama, intensi Presiden Jokowi cukup gamblang, bahwa kontestasi bukan semata ritual politik.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Adversari elektoral merupakan aktivitas mesianik untuk menemukan negarawan sejati yang mampu menjaga keseimbangan di tengah turbulensi, yang merajut tali kebangsaan di tengah ekosistem sosial-politik yang rawan perpecahan karena masa depan Indonesia adalah taruhannya.
Dalam rangka itu, diskursus pemilu harus dibangun di atas dorongan dan proyeksi yang konstruktif untuk kemaslahatan rakyat, bangsa, dan negara.
Tahun 2024 bisa menjadi titik kemenentuan, sekaligus ketakmenentuan.
Diskursus pemilu
Diskursus, dalam teori sosial, merupakan rangkuman dari beragam model percakapan. Ragamnya banyak. Pada langgam politik kekinian, umumnya yang muncul diskursus naratif.
Jarang sekali kita jumpa diskursus yang sifatnya deskriptif, ekspositori, ataupun argumentatif—kecuali di zaman dulu! Saat dipenjarakan di Sukamiskin, Bung Karno menuai kritik dari kawan perjuangan seperti Bung Hatta yang mengeluh soal lemahnya pendidikan kader dalam tubuh perjuangan sehingga penangkapan Bung Karno menyisakan kekosongan yang serius bagi nyawa perjuangan.
Setelah keluar tahun 1931, Bung Karno berjumpa Hatta untuk bertukar wawasan. Bung Karno mengoreksi konsep perjuangan Hatta yang terlalu tekstual, dan menekankan sentralitas dukungan rakyat sebagai kekuatan fundamental.
Para kritikus masa itu juga terbiasa dengan diskursus argumentatif-ekspositori yang dalam seperti silang gagasan di antara Sutan Takdir Alisyahbana, Sanusi Pane, dan yang lain soal apakah kerajaan-kerajaan sebelum 1908 disebut ’Indonesia’ atau ’Pra-Indonesia’.
Perdebatan itu mengarah pada keragaman konsepsi tentang nasionalisme yang melibatkan kematangan intelektual soal sejarah sebagai proses yang dialektis-konstruktif ataukah sebagai gerak linear yang kaku.
Diskursus politik pemilu kekinian didominasi narasi-narasi kosong. Para politisi berjualan sosok, bukan gagasan. Mereka bertempur atas dasar uang sebagai sumber daya utama dan jadi proponen setia teori ’pemasaran politik’ karena ruang pemilu dipahami sebagai pasar suara. Lembaga-lembaga survei jadi agensi penentu yang membangun preferensi publik dan media sosial sebagai hutan rimba untuk berkembang biaknya kabar baik dan kabar buruk.
Kita kehilangan sekaligus merindukan momen berpolitik masa para pendiri dulu, di mana kekuatan berpikir dan kekuatan kerja merupakan semangat tak terpisahkan.
Bung Karno dicintai rakyat karena ia gigih berjuang untuk rakyat, tapi juga pejuang yang berpikir cerdas. Bung Hatta dikenang dengan cinta karena kecerdasannya melandasi kebijaksanaan dan semangat cinta rakyat yang tak lekang.
Realisme politik kekinian dangkal, pragmatis, dan lemah gagasan sehingga rentan dengan kegaduhan. Sering terjadi gesekan antar-elite dan benturan antar-organisasi yang umumnya asli pragmatis. Maka, jangan heran kalau sebagian masyarakat galau dengan pertunjukan politik dan menarik diri dari diskursus elitis.
Realisme politik kekinian dangkal, pragmatis, dan lemah gagasan sehingga rentan dengan kegaduhan.
Ketika berhadapan dengan konteks perang ideologis antara mereka yang memperjuangkan nasionalisme berbasis Pancasila dan yang meletakkan konsepsi kebangsaan atas dasar kitab suci, tak banyak elite politik yang berani ke garis terdepan.
Melihat aksi glorifikasi identitas kelompok—suku, agama, ras, dan golongan—di atas jati diri kebangsaan, kaum pragmatis cendrrung menarik diri. Mereka mengamati dari kejauhan sambil melihat peluang menjadikan laskar politik identitas sebagai ’sapi perah’ di pemilu.
Gamblang sekali, prinsipium ”kedaulatan rakyat” yang diagungkan para founding fathers sebagai basis demokrasi mulai kehilangan rohnya dalam praksis kekinian. Para spekulan politik malah menikmati proliferasi politik identitas sebagai peluang politik karena mereka doyan mengail di balong yang sudah terobok-obok.
Soal ini, kita salut dengan Kepolisian Republik Indonesia yang telah membentuk Satgas AntiPolitik Identitas menghadapi ancaman Pemilu 2024.
2024: titik balik kritis?
Andaikan semua orang berada di ruang berpikir yang sama, mengambil peran dengan tulus sebagai negarawan, maka narasi politik hari ini tak dibatasi oleh nama-nama populer yang ada di lembar survei.
Masyarakat tak perlu dilelahkan oleh pembelahan konfliktual berdasarkan daftar kandidat dalam piplres, tetapi disatukan oleh gagasan dan komitmen untuk selalu menjaga keseimbangan dan merawat nasionalisme keindonesiaan yang berdasarkan ideologi negara kita: Pancasila!
Pemilu adalah prosedur, bukan tujuan pada dirinya. Maka, momentum 2024 sesunggunya a critical turning point, titik balik yang kritis, bagi sejarah Indonesia ke depan. Ketika kita berpikir soal siapa yang mewarisi kualitas kepemimpinan Presiden Jokowi sesudah 2024, sesungguhnya keberpikiran itu merefleksikan kerinduan mendalam tentang kesinambungan pembangunan dan komitmen menjaga kewibawaan NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Baca juga Pemimpin Indonesia ke Depan
Sejarah kita tengah di persimpangan. Kaum nasionalis berjuang melanjutkan cita-cita para pendiri, tapi sebagian dari kita berjuang membajak negeri ini untuk keyakinan dan perjuangan kelompok yang bertentangan dengan dasar negara.
Piagam Jakarta sudah tamat, tapi masih terus diperjuangkan oleh sebagian gugus politik dalam pemilu. Pemilu berikut menjadi titik balik jika faksi ini berhasil meraih kekuasaan. Negarawan tulen tak mau itu terjadi. Andai partai-partai politik berpikir yang sama, semua orang bisa tidur nyenyak.
Refleksi
Siapa pun yang menjadi pemenang pilpres ke depan, yang jelas, Indonesia, berdasarkan konteks ancaman hari ini, membutuhkan sosok yang mampu menjaga bandul kebangsaan ini bergerak stabil.
Bandul tak boleh terlalu ke kanan dan haram untuk ke kiri. Tengah adalah titik sentral yang moderat. Itulah jati diri demokrasi Indonesia. Maka, sosok yang ideal mesti mampu menyatukan semua ke tengah. Yang di kanan pantas dihormati pada porsinya, tetapi tak boleh mendikte sejarah bangsa dan negara ini ke depan. Yang di kiri harus diketengahkan untuk menjamin hakikat Indonesia yang moderat dan inklusif, baik ke dalam maupun ke luar.
Pemilu bukan soal siapa yang paling populer, tetapi tentang sosok yang mampu merawat Indonesia ke depan.
Pemerintahan Presiden Jokowi disegani dunia dan Indonesia dipandang sebagai bangsa besar. Seperti mengulang sejarah ketika Bung Karno sukses mengangkat nama Indonesia ke panggung dunia sebagai bangsa besar dari Asia. Perjuangan ini yang harus dilanjutkan ke depan, terlepas dari bagaimana kompleksnya relasi sosial-politik antar-kita di dalam rumah tangga. Indonesia harus tetap kokoh atas dasar Pancasila dan UUD 1945.
Untuk itu, wacana pemilu harus dibawa ke tataran yang lebih mulia. Partai politik harus berani menanggalkan paradigma kuda sado dan berani berpikir mulia untuk masa depan Indonesia.
Memastikan keseimbangan di tengah ancaman perpecahan adalah tugas yang mulia. Pemilu bukan soal siapa yang paling populer, tetapi tentang sosok yang mampu merawat Indonesia ke depan. Rezim datang silih berganti, Indonesia harus tetap kokoh untuk selamanya.
Boni HargensAkademisi , Direktur Eksekutif Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)