Jika dahulu partai politik menunggu dipinang oleh calon presiden, sekarang untuk Pilpres 2024 parpol gerak cepat membangun ”perahu” yang dibutuhkan oleh pasangan capres-cawapres.
Oleh
LUKY SANDRA AMALIA
·5 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Pemilu 2024 memang masih dua tahun lagi, tetapi hiruk pikuknya sudah dimulai tahun ini. Ada yang berbeda dari Pemilu Presiden 2024 dibandingkan dengan pilpres lima tahun lalu. Pada Pilpres 2019, petahana yang baru menjabat satu periode masih bisa mencalonkan diri kembali dengan berbekal angka kepuasan rakyat yang mencapai 75 persen pada waktu itu.
Kali ini, jika amendemen Undang-Undang Dasar 1945 tidak jadi dilakukan, Presiden Joko Widodo tidak bisa mencalonkan diri kembali untuk ketiga kalinya. Konstitusi dasar Indonesia membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal dua periode. Artinya, jika amendemen batal dilakukan, Indonesia akan memiliki pemimpin baru, setidaknya, untuk lima tahun ke depan.
Setelah ramai pembicaraan tentang elektabilitas beberapa nama elite politik yang masuk dalam bursa calon presiden, belakangan diskusi bergeser ke soal koalisi partai politik (parpol) untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres). Tulisan ini membahas tentang koalisi gercep (gerak cepat) partai politik untuk mengusung capres-cawapres dan mengapa mereka se-gercep itu.
Terlepas dari isu amendemen UUD 1945 yang masih menjadi bola liar, parpol gercep membangun koalisi. Koalisi yang paling awal terbentuk adalah Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Partai Golkar, PAN, dan PPP. KIB dibentuk tanpa deklarasi dengan alasan masih membuka kemungkinan bagi parpol lain untuk bergabung, meskipun koalisi tiga partai ini sudah mengantongi sekitar 23 persen suara.
Beberapa hari lalu giliran PKS dan PKB yang menjajaki kemungkinan membentuk koalisi yang diberi nama Koalisi Semut Merah (KSM). Karena syarat mengusung pasangan capres-cawapres, parpol atau gabungan parpol minimal memiliki 20 persen suara atau 25 persen kursi di DPR, maka KSM masih membutuhkan, setidaknya, satu parpol lagi untuk bergabung, jika koalisi ini tidak layu sebelum berkembang seperti prediksi banyak pihak.
Jika digabungkan, perolehan suara PKS dan PKB berkisar di angka 17 persen sehingga partai apapun yang akan bergabung kemudian sudah cukup membuat KSM untuk mengusung pasangan capres-cawapres. Sedangkan partai nasionalis yang tersisa kemungkinan akan membentuk koalisi yang lain.
Membangun "perahu"
Mengapa parpol gercep membangun koalisi?
Meskipun dinamika koalisi masih sangat cair, situasi saat ini berbeda dengan situasi menjelang pilpres periode yang lalu. Jika dahulu partai menunggu dipinang oleh capres, sekarang partai gercep membangun ‘perahu’ yang dibutuhkan oleh pasangan capres-cawapres.
Alasan pertama parpol gercep membangun koalisi adalah di pilpres semua pasangan capres-cawapres harus diusung oleh partai atau gabungan partai politik yang memiliki modal suara minimal 20 persen atau kursi minimal 25 persen dari pemilu legislatif (pileg) periode sebelumnya.
Meskipun pilpres merupakan ajang candidate-centre, parpol masih menjadi gate-keeper yang berhak menentukan siapa yang bisa ikut berkompetisi di ajang tersebut.
Pilpres memang berbeda dengan pemilihan kepala daerah (pilkada). Jika di pilkada, pasangan calon kepala daerah dan wakilnya bisa mendaftar dari jalur perseorangan (independen), di pilpres semua calonnya harus diusung oleh parpol. Aturan ini menempatkan parpol sebagai pemegang otoritas tunggal untuk mencalonkan pasangan capres-cawapres.
Meskipun pilpres merupakan ajang candidate-centre, parpol masih menjadi gate-keeper yang berhak menentukan siapa yang bisa ikut berkompetisi di ajang tersebut. Di tengah mekanisme pemilu -pilpres, pilkada, pileg- yang memilih figur calon dan semakin menjauhkan parpol dari pemilih, parpol masih memiliki peran sentral dalam proses pencalonan.
Alasan kedua, selain tidak ada calon petahana, sejumlah nama yang memiliki elektabilitas tinggi dalam bursa capres bukan kader partai. Mereka tentu membutuhkan perahu untuk bisa berlaga di Pilpres 2024. Meskipun ada nama kader partai yang elektablititasnya meroket, belum ada kepastian apakah partainya akan mencalonkan dia atau tidak. Ada juga pimpinan partai yang elektabilitasnya juga semakin menanjak, tetapi dia masih menunggu janji teman koalisinya.
Menyadari posisinya sebagai pemegang otoritas tunggal dalam menominasikan capres-cawapres di tengah banyaknya nama-nama yang bukan kader partai, parpol gercep menyediakan perahu, baru berburu kemudian. Meminjam konsep hunt stag (berburu rusa) (Skyrms, 2004), sebagian besar parpol akan berpartisipasi berburu ‘rusa’ yang belum tentu didapat karena diperebutkan oleh banyak pemburu, sedangkan sebagian yang lain merasa cukup mengantongi ‘kelinci’ yang sudah pasti di depan mata.
Alasan ketiga, jika normalisasi komposisi pasangan capres-cawapres yang merepresentasikan pembelahan sosial seperti Islam-nasionalis masih berlaku, maka koalisi partai juga akan mempertimbangkan komposisi yang sama untuk menarik suara pemilih dari dua ceruk tersebut. Meskipun orientasi parpol belakangan dinilai telah meninggalkan spektrum ideologi kanan (Islam)-kiri (nasionalis) dan semakin menuju ke tengah, pilpres sepanjang reformasi masih menunjukkan normalisasi komposisi tersebut.
Mencermati nama-nama kandidat yang elektabilitasnya tinggi di bursa capres, kebanyakan dari mereka berlatarbelakang nasionalis. Kondisi ini menjadi peluang bagi parpol Islam/berbasis massa Islam untuk menyodorkan kader atau pimpinan partainya mendampingi figur nasionalis tersebut. Demikian sebaliknya, partai nasionalis juga akan menawarkan kader atau pimpinan partainya untuk menjadi pasangan figur berlatarbelakang Islam.
Belajar dari pengalaman empat kali pilpres, koalisi yang dibentuk tanpa kesamaan platform tidak bertahan lama. Koalisi akan saling mengintip utak-atik pasangan calon yang diusung oleh koalisi sebelah demi memenangkan hati 206 juta pemilih. Ditambah lagi, koalisi yang ada mengantongi persentase yang minim, sekitar 20 persen suara, mendekati ambang batas pencalonan prersiden. Sehingga, jika salah satu saja anggota koalisi lompat pagar karena melihat rumput tetangga lebih hijau, koalisi bisa saja bubar di tengah jalan, bahkan, sebelum pilpres dimulai.
Kalaupun anggota koalisi berhasil mempertahankan perahunya hingga selesai pemilu, perahunya masih mungkin menjadi retak ketika pasangan calon yang diusungnya kalah dan tergoda dengan koalisi sebelah. Ini merupakan risiko yang tidak terhindarkan ketika koalisi hanya didasarkan kepada alasan pragmatis, mengabaikan spektrum orientasi partai, padahal, menurut Skyrms (2004), keberhasilan berburu rusa dipengaruhi oleh kerja sama (cooperate) antar anggota koalisi.
Luky Sandra Amalia, Mahasiswa PhD di Universitas Sydney; Peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)