Memilih pemimpin yang hanya mampu menghasut rakyat, menyebar kebencian, palsu dan munafik, serta berperilaku tidak sesuai dengan kata-katanya akan menuntun rakyat menuju jalan sesat.
Oleh
J Kristiadi
·4 menit baca
KUM
J Kristiadi
Alkisah, sekitar tahun 39 sebelum Masehi, Julius Caesar memenangi perang kolosal melawan suku Galea. Kemenangan membuat popularitasnya meningkat. Kejayaan gemilang mendorongnya berniat menaklukkan wilayah Italia yang dipisahkan Sungai Rubicon. Senat khawatir, kalau ia semakin berjaya, popularitasnya mengancam Senat. Senat lalu memerintahkan Julius Caesar kembali ke Roma tanpa membawa pasukannya yang amat setia kepadanya.
Julius Caesar menghadapi pilihan politik dilematis. Pulang ke Roma akan diadili karena perang melawan suku Galea tidak seizin Senat. Jika nekat melanjutkan ambisi teritorialnya, ia harus menyeberang Sungai Rubicon yang berarti membangkang perintah Senat.
Akhirnya, ia memutuskan melanjutkan perang dengan mengatakan kalimat yang sangat terkenal hingga kini; Alea Iacta Est. Maknanya, dadu sudah dilempar, perang harus dilanjutkan. Kisah ini berlanjut, mengakibatkan perang saudara Romawi. Julius Caesar menang dan menjadi awal Kekaisaran Romawi, menggantikan Republik Romawi.
Legenda itu mirip serpihan pidato Presiden Joko Widodo dalam Rapat Kerja Nasional Projo di Magelang, Jawa Tengah. Kalimatnya: ”Ojo kesusu, meskipun mungkin ada salah satu capres (Ganjar Pranowo) di sini”. Walaupun bernada datar disertai senyuman, ungkapan tersebut oleh banyak kalangan dianggap genderang perang terhadap para capres. Lebih dari itu, ia seakan menarik garis tegas dengan PDI Perjuangan yang terbelah, antara pendukung Puan Maharani dan Ganjar Pranowo.
Julius Caesar menghadapi pilihan politik dilematis. Pulang ke Roma akan diadili karena perang melawan suku Galea tidak seizin Senat. Jika nekat melanjutkan ambisi teritorialnya, ia harus menyeberang Sungai Rubicon yang berartinmembangkang perintah Senat. Akhirnya, ia memutuskan melanjutkan perang dengan mengatakan kalimat yang sangat terkenal hingga kini; Alea Iacta Est. Maknanya, dadu sudah dilempar, perang harus dilanjutkan.
Persepsi publik, ia siap berhadapan dengan Megawati Soekarnoputri. Pemihakan Presiden Joko Widodo ibaratnya dinamit politik yang dapat mengguncangkan jagat perpolitikan nasional, serta mengakibatkan hubungannya dengan Megawati mulai retak.
KOMPAS/REGINA RUKMORINI
Presiden Joko Widodo saat berbincang sebelum memberikan jaketnya kepada sukarelawan pendukung pada pembukaan Rapat Kerja Nasional V Projo di Balai Ekonomi Desa Ngargogondo, Magelang, Provinsi Jawa Tengah, Sabtu (21/5/2022).
Dugaan publik bahwa Presiden Joko Widodo mendukung Ganjar Pranowo dapat dipahami mengingat tingkat elektabilitas Gubernur Jawa Tengah itu cenderung meningkat. Misalnya survei Charta Politika yang dirilis Juni 2022; elektabilitas dari 10 nama, Ganjar Pranowo meraih 31,2 persen, Prabowo Subianto (23,4 persen), dan Anies Baswedan (20 persen). Jajak pendapat SMRC, 10-17 Mei 2022, elektabilitas dengan tiga nama: Ganjar Pranowo meraih 30,3 persen, Prabowo Subianto (27,3 persen), dan Anies Baswedan (22,6 persen), serta tidak tahu (19,9 persen).
Namun, publik kecele, pidato Presiden Joko Widodo berbeda sekali dengan maklumat perangnya Julius Caesar. Setelah pidato, Presiden Joko Widodo danMegawati tampak semakin mesra, seperti hubungan cinta antara ibu dan putranya. Dalam berbagai kesempatan, misalnya pertemuan empat mata di Istana Negara sebelum pelantikan ketua dan wakil ketua serta dewan pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, 7 Juni 2022, dan peresmian Masjid At-Taufiq di Jakarta Selatan, 8 Juni, Presiden Jokowi kelihatan sangat menghormati Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.
Sebaliknya, Megawati sangat keibuan. Intimasi dua tokoh politik itu dalam bahasa Yunani dinamakan agape. Artinya, cinta yang dilandasi hubungan ikatan batin yang sangat kuat. Cinta persaudaraan, bukan sekadar persahabatan karena saling ketergantungan satu sama lain. Agape adalah bentuk tertinggi cinta manusiawi. Bukan eros, cinta yang didorong nafsu seksual.
RUSMAM - BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN
Presiden Joko Widodo menggandeng tangan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri saat mengantarkan ke mobilnya setelah pelantikan Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila 2022-2027 di Istana Negara, Jakarta, Selasa (7/6/2022). Selain Megawati, dilantik pula anggota Dewan Pengarah BPIP lainnya serta Kepala dan Wakil Kepala BPIP.
Dalam perspektif budaya lokal (Jawa), ungkapan Presiden disebut sanepo, menghaluskan kalimat kasar menjadi narasi bernuansa adiluhung. Konon, kultur ini berasal dari kebiasaan pujangga keraton yang ingin menjunjung tinggi nilai luhur. Maknanya hanya dipahami penuturnya sendiri atau orang yang mempunyai hubungan batin sangat erat (bahasa Jawa: nggetih). Model kenegarawanan dua tokoh itu dapat dijadikan model komunikasi politik agar pertarungan politik bukan perang bubat yang saling memusnahkan.
Memilih pemimpin yang hanya mampu menghasut rakyat, menyebar kebencian, palsu dan munafik, serta berperilaku tidak sesuai dengan kata-katanya akan menuntun rakyat menuju jalan sesat.
Pemilu 2024 harus menjadi momentum membangun budaya politik yang sehat. Maka, diperlukan minimal dua persyaratan penting dan mendasar. Pertama, Presiden wajib taat asas pada alasan utama, sangkan paran (raison d’etre) keberadaan negara Indonesia sebagaimana ditegaskan pembukaan UUD 1945.
Intinya, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Penyimpangan terhadap alasan mendasar berarti meniadakan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Suasana peluncuran tahapan Pemilu 2024 di Komisi Pemilihan Umum, Selasa (24/6/2022). Acara dihadiri Ketua DPR Puan Maharani (tengah), Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (empat dari kanan) ketua dan komisioner Komisi Pemilihan Umum serta perwakilan partai politik peserta pemilu.
Calon presiden wajib mempunyai kompetensi, mengelola dan mengontrol kekuasaan yang sangat besar: eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang dipercayakan rakyat kepadanya. Memilih pemimpin yang hanya mampu menghasut rakyat, menyebar kebencian, palsu dan munafik, serta berperilaku tidak sesuai dengan kata-katanya akan menuntun rakyat menuju jalan sesat. Akibatnya, perilaku yang merusak peradaban menjadi kebiasaan serta dianggap normal. Dalam jangka panjang, kebijakan publik dibuat di atas kelaziman (habitus) yang semakin merusak kehidupan bersama, misalnya korupsi.