Sadumuk bathuk sanyari bumi, lila den labuhi pati. Pepatah dalam bahasa Jawa itu menggambarkan sangat berartinya sejengkal tanah (bumi) bagi masyarakat.
Bahkan, seperti dahi (bathuk) yang menggambarkan kehormatan (kepala), jika diusik, meskipun hanya secuil tanahnya, siapa pun bersedia memperjuangkan hingga tetes darah terakhir (lila den labuhi pati). Dan, banyak kasus pertanahan di negeri ini yang konflik antarpihaknya berujung pada korban jiwa, selain korban terluka dan kehilangan harta benda.
Terjadinya konflik pertanahan, meskipun seharusnya dapat dihindari, bisa dipahami karena begitu berharganya tanah di negeri ini. Bahkan, konflik itu tak hanya antarwarga atau antara warga dan pemerintah atau perusahaan, tetapi juga antar-institusi pemerintah, seperti disampaikan Presiden Joko Widodo pada pertemuan Gugus Tugas Reforma Agraria di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Kamis (9/6/2022).
Ego sektoral itu ditengarai menjadi kendala dalam percepatan pelaksanaan reforma agraria.
Presiden meminta semua kementerian dan lembaga menanggalkan ego sektoral agar reforma agraria dapat berjalan dengan optimal. Ego sektoral itu ditengarai menjadi kendala dalam percepatan pelaksanaan reforma agraria. Dari berbagai program reformasi bidang pertanahan itu, baru pemberian legalitas tanah rakyat yang berjalan optimal, sudah 80,6 juta bidang tanah yang bersertifikat (Kompas, 10/6/2022).
Jumlah itu naik hampir dua kali lipat dibandingkan capaian pada tahun 2015, yaitu baru 46 juta dari 126 juta bidang tanah di Indonesia yang bersertifikat. Program lain, seperti redistribusi tanah dan perhutanan sosial, masih belum optimal. Ego sektoral antar-kementerian menjadi salah satu kendala dalam penyelesaian berbagai persoalan pertanahan, termasuk pemberian hak atas tanah dalam perairan bagi warga dan pembangunan jalan tol atau infrastruktur lain.
Baca juga : Runtuhkan Ego Sektoral untuk Tuntaskan Reforma Agraria
Tak hanya warga dan perusahaan, sejumlah lembaga negara pun memiliki dan menguasai tanah sebagai konsekuensi dari undang-undang (UU) atau dari pengadaan. Namun, seperti ditegaskan dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), yang sampai saat ini masih berlaku, bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam di dalamnya, adalah kekayaan nasional. Tanah juga mempunyai fungsi sosial, selain fungsi ekonomi, produksi, dan fungsi lain.
Negara memang menguasai seluruh tanah, air, serta ruang angkasa di negeri ini. Namun, negara tentu tak semena-mena menjalankan kewenangannya itu, yang dilaksanakan oleh penyelenggara negara, termasuk presiden. UUPA menyebutkan pula, kewenangan atas tanah itu digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, kebahagiaan, kesejahteraan, serta kemerdekaan yang berdaulat, adil, dan makmur.
Justru kini yang mendesak adalah mewujudkan komitmen penyelenggara negara untuk menjadikan tanah sebagai sumber kemakmuran bersama.
Untuk tak merugikan kepentingan umum, pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tak diperkenankan. Pertemuan di Wakatobi menghasilkan deklarasi yang menegaskan komitmen kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk mengakselerasi reforma agraria. Dukungan semua pihak juga amat dibutuhkan.
Tiada guna menguasai tanah nan luas sebab negara bisa kapan pun mengambilnya. Justru kini yang mendesak adalah mewujudkan komitmen penyelenggara negara untuk menjadikan tanah sebagai sumber kemakmuran bersama.