Akulah Pendukungmu
Apabila subyek “aku” punya kesadaran atas kenyataan di sekitarnya, ia akan bermakna bagi subyek lain. ”Aku hadir” dan ”aku berelasi”. Hal ini membentuk makna ”aku” menjadi ”kami” dan lalu menjadi ”kita”.

Lagu ”Garuda Pancasila” ciptaan Prohar Sudharmoto sangat tegas dan patriotik. Maklum, lagu wajib nasional ini awalnya berjudul ”Mars Pancasila”. Jika dicermati, larik akulah pendukungmu merupakan penegasan bagi keseluruhan baris dan bait.
Karena sadar akulah pendukungmu (pendukung Pancasila), maka logis aku sedia-berkorban untukmu. Patriot Proklamasi, juga para pengisi kemerdekaan era milenial, wajib menjaga dan membela dasar negara ini. Tak hanya dari rong-rongan ideologis, termasuk terorisme, juga memastikannya bertengger di atas garis keadilan.
Itu bukan tugas ringan satu pihak. Katakanlah TNI yang menjaga eksistensi kesaktian Pancasila dengan Alutista. Melainkan tugas semua komponen bangsa, melalui kepastian hukum dan pemerataan kesejahteraan. Mendiang Buya Syafii Maarif kerap mengingatkan soal ini.
Penegasan dukungan pada Pancasila dasar negara jelas tak bisa ditawar sebab ia memuat amanat elementer, rakyat adil makmur sentosa. Cita-cita mulia itu merupakan keluhuran kepribadian kita sebagai bangsa. Pantas didukung dengan gelora semangat kemajuan.
Namun, sebelum merujuk ”aku” sebagai representasi ”aku-kolektif” (bisa berarti ”kami”), ada baiknya diperkokoh dulu posisi ke-aku-an ini supaya tidak mudah goyah dimainkan arus.
”Aku” lumrah dilekatkan dengan konsep ego. Ironisnya, ego telanjur identik dengan sifat egois, sehingga jadi negatif. Itu terjadi karena subyek ”aku” masih terisolasi atau tertutup. Padahal, ”ke-aku-an” mengandung sisi idealis. Bukankah ia menyiratkan bentuk kepribadian yang kuat? Bahkan, termaktub dalam diktum Descrates, Aku berpikir maka aku ada.
Adalah filsuf Gabriel Marcel dalam The Mystery of Being, sebagaimana disitir Yuventius Devi Ghawa (2014), menyatakan bahwa apabila subyek ”aku” punya kesadaran atas kenyataan di sekitarnya, ia akan bermakna bagi subyek lain. Dalam pandangan Marcel, kesadaran ini membuka katup ”aku eksistensial” yang tertutup, menjadi ”aku hadir” dan ”aku berelasi”. Hal ini membentuk makna ”aku” menjadi ”kami” dan lalu menjadi ”kita”.
Tanpa pribadi yang kuat dan berkarakter, ”kami” atau ”kita” yang bersifat jamak (banyak) dan majemuk (beragam)—sebagai manifestasi ”aku-kolektif”—akan menjadi lemah. Ia hanya bersifat massal. Kerumunan. Jadi ”aku” bukan hal buruk dalam relasi kehidupan kolegial, justru menunjukkan kehormatan dan martabat setiap karakter.
Refleksi filosofis Marcel ini terasa aktual dalam era disrupsi sekarang, mengingat pandangannya lahir dari situasi eksistensial manusia modern terhadap teknologi dan tragedi perang dunia II. Persis situasi saat ini di mana teknologi bersifat distruptif, konten informasi berlumur hoaks, citra penguasa manipulatif, alam makin rusak, dan tragedi-tregadi kemanusiaan belum berakhir. Terbaru, ada perang Rusia vs Ukraina.
Bukan slogan
Lebih dari sekadar lirik sloganistik, penegasan akulah pendukungmu terhadap Pancasila dasar negara, merupakan ungkapan puitik-patriotik. Persis aku ingin hidup seribu tahun lagi atau sekali berarti sudah itu mati dari Chairil Anwar. Hanya ungkapan dari khazanah kesusastraan itu sudah cukup familiar. Ia kerap dikutip dalam tulisan dan percakapan. Padahal, puisi relatif terpinggirkan dalam masyarakat kita.
Nyatanya, lirik sebuah lagu wajib nasional tidak lebih dikenal. Mengindikasikan bahwa lagu-lagu wajib kita pun tak kalah terpinggirkan.
Anehnya, dalam kehidupan sosial-politik, akulah pendukungmu justru mengejewantah. Paling terasa tentu saja di arena kekuasaan. Dalam setiap pemilihan pemimpin, mulai pilkades, pilkada, dan pilpres, semangat akulah pendukungmu tak dapat dibendung. Karena memang begitulah demokrasi memberi garansi kebebasan dan mengakomodasi setiap pilihan.
Namun, segalanya terasa ambyar ketika demokrasi kebablasan. Kita ingat, Pilpres 2019 meninggalkan gerowang. Mesin politik hanya menghasilkan dua pasang capres-cawapres. Polarisasi menganga lebar. Alih-alih menyatukan dukungan dalam NKRI masa depan, malah terendus upaya masing pihak memelihara para buzzer untuk berikrar, ”Akulah pendukungmu!”
Seiring dengan itu, metamorfosis ”aku” menjadi ”kami” terasa ujug-ujug alias instan sebagaimana dalam budaya ”idol-idolan”. Di sini, arus histeria massa memang tampak seakan membobol ketertutupan subyek ”aku”, tetapi sebenarnya dengan cara menyeret dan mempiuhnya. Marcel (via Ghawa, 2014) menyebut ada tiga motif aku dalam kebersamaan, yakni aku fungsional, aku pragmatis, dan aku materialistis.

Dalam guyon maton ala Yogya ada istilah ”bocah dewe” atau ”aku bocahmu”, menegaskan dukungan ”tanpa syarat”. Kemudahan akses media sosial membuat ”kami” yang masif tadi, menyerpih jadi ”aku” yang agresif. Muncullah rupa-rupa hoaks, merusak harmoni.
Dukungan fundamental
Tren dukung-mendukung diikuti oleh partai politik. Kita tahu, tiga partai politik baru saja bergabung dalam ”koalisi pagi-pagi”: PAN-Golkar-PPP. Meski belum memunculkan nama figur usungan, muaranya dapat ditebak akan ada dukung-mendukung kelak tak lama lagi.
Jelas telah terjadi relasi timpang yang tak sesuai dengan lirik lagu ”Garuda Pancasila”. Apa yang didukung dalam lagu tersebut tak lain tak bukan adalah dasar negara. Kuat dan fundamental. Tentu beda jauh dengan dukungan terhadap seseorang atau sekelompok orang. Kedudukan seseorang kita tahu, bisa berakhir oleh batas waktu. Seperti sekarang, sejumlah kepala daerah mengakhiri masa tugasnya digantikan pelaksana tugas yang ditunjuk Kemendagri.
Yang fana adalah figur-figur; dasar negara abadi. Setidaknya itulah ungkapan relatif puitis merujuk puisi Sapardi Djoko Damono, ”Yang fana adalah waktu, kita abadi”. Dalam kekuasaan, waktu memiliki limit dan periode. Sementara ”kita” yang lahir dari ”aku-kolektif” alias ”kami-kolegial”, bisa dibaca sebagai rakyat yang melekat serta dalam dasar negara.
Proklamasi ’45 yang didukung para patriot sejati, menghasratkan rakyat sebagai pihak yang harus hidup adil makmur sentosa. Ini dapat dilihat dalam rumusan Sukarno, Yamin, ataupun Supomo atas Pancasila yang menjadikan rakyat sebagai subyek utama.
Karena itu ungkapan akulah pendukungmu mesti dijaga supaya jatuh di titik yang tepat. Bukan di sembarang tempat. Meski sebagaimana puisi atau karya sastra yang lain, lirik lagu juga bersifat arbitrase. Ia dapat dicuplik dan ditrasnformasikan dalam berbagai situasi. Selain puisi Chairil, cerpen Navis, ”Robohnya Surau Kami” misalnya, bisa relevan dengan ungkapan ”robohnya lumbung kami”, atau ”robohnya kebersamaan kami”.
Maka akulah pendukungmu pun terbuka diadopsi di wilayah tak kelewat sakral. Kita bisa menggunakannya untuk mendukung petisi di media sosial. Katakanlah dalam kasus pendidikan, anak dan perempuan sehingga memiliki kekuatan. Kita bisa mendukung upaya lembaga swadaya yang memantau kerusakan alam oleh jejaring oligarki, dan seterusnya.
Jika dalam wilayah profan ada lirik lagu pop aku padamu sebagai cinta pada seorang kekasih, apatah tak selayaknya kita gaungkan akulah pendukungmu pada dasar negara kita yang kesepian, seolah kekasih yang terlupa? Ayo, maju, maju, ayo maju, maju...!!
(Raudal Tanjung Banua, Sastrawan, dan Anggota Grup Kuncen Pantai Barat)