Rasa Kebersamaan antara pemimpin dan seniman yang dilakukan Bung Karno dan Chairil Anwar perlu terus dikobarkan dalam konteks perjalanan bangsa ke depan, menyongsong Indonesia Emas pada 2045.
Oleh
I NYOMAN TINGKAT
·5 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Bulan Juni, nama Bung Karno dan Chairil Anwar sangat relevan dikedepankan dalam apresiasi memasuki 77 tahun Kemerdekaan RI. Nama pertama sudah jelas dikenal sebagai tokoh proklamator yang mengantarkan negeri ini sampai pada pintu gerbang kemerdekaan. Ia lahir 6 Juni 1901 dan pada 1 Juni 1945 membacakan pidato “Lahirnya Pancasila”. Beliau wafat pada 21 Juni 1970. Sungguh tepat, Juni diperingati sebagai Bulan Bung Karno.
Pintu Kemerdekaan telah dibuka oleh Bung Karno dan kini tugas kita adalah merawat ruang rumah kita dengan kerja, kerja, dan kerja keras. Kerja keras itu senilai dengan perjuangan para pendahulu bangsa merebut kemerdekaan dari penjajah sebagaimana dilakukan Bung Karno dahulu.
Sementara itu, nama kedua menjadi menarik disebut lantaran puisi-puisinya banyak membakar semangat perjuangan bangsa meraih kemerdekaan. Jika Bung Karno berjuang dalam tataran fisik dibantu oleh para pejuang pemikir dan pemikir pejuang yang literat dengan tetesan darah bersenjatakan bambu runcing, maka Chairil Anwar berjuang dalam tataran batin bersenjatakan pena runcing yang tidak kalah literatnya.
Baik bambu runcing maupun pena runcing adalah alat perjuangan yang saling melengkapi. Yang satu mewakili otot, yang lainnya mewakili otak (pemikiran) dan hati (perasaan). Bagi kedua tokoh ini, otot dan otak diasah seimbang dimekarkan dalam hati penuh cinta pada seni.
Selain itu, kedua tokoh besar Indonesia ini memiliki persamaan mendasar dalam memandang seni, juga memiliki konsep hidup bersahaja dan sederhana. Begitu Bung Karno ditetapkan sebagai Presiden RI oleh PPKI, tak malu-malu ia mengadakan syukuran di pinggir jalan dengan membeli sate ayam pada pedagang yang tak berbaju, seraya mengeluarkan perintah.
"Sate ayam lima puluh tusuk... Aku jongkok di sana dekat selokan dan kotoran. Kumakan sateku dengan lahap, dan inilah seluruh pesta atas pengangkatan sebagai kepala Negara" (Cindy Adams, 1988:345).
Demikian juga Chairil Anwar, sekalipun bergelimpangan materi di kampungnya, ia justru memilih “memiskinkan” diri berkelana ke Jakarta setelah ayahnya kawin lagi untuk kali kedua. Dengan kesederhanaan itu, Chairil Anwar menunjukkan ketajaman penanya pada dunia sekalipun ia harus putus sekolah dari SMP karena tak punya biaya. Perlawanan yang dilakukan dengan membangun "kesombongan kreatif" telah membuat Chairil sebagai sosok yang dikagumi banyak kalangan.
KOMPAS/MEGANDIKA WICAKSONO
Spirit Soekarno
Konsep kerja
Sementara itu, pandangan Bung Karno terhadap seni tampak dari kegelisahannya selalu melakukan pencarian ke dalam diri (mulat sarira) walaupun dalam kondisi terkena malaria. "Apa yang bergelora di dalam dadaku lebih hebat lagi daripada serangan malaria. Aku menulis berlusin-lusin surat, hingga akhirnya aku rebah. Badanku tidak enak. Aku sakit.... Hatiku diisi penuh oleh keinginan untuk bangkit kembali dan bekerja...." demikian Bung Karno dalam biografinya.
Jelas konsep kerja Bung Karno senapas dengan konsep kerja seorang seniman sebagaimana dinyatakan Chairil Anwar dalam salah satu prosanya. “Aku berani memasuki rumah suci hingga ruang tengah. Tidak tinggal di pekarangan saja". Semua itu dilakukan demi mengabdi pada dunia seni. Frase "rumah suci dan ruang tengah" bukanlah dalam arti fisikal bagi Chairil. Itu merupakan personifikasi bagi dirinya memasuki ruang batin bangsanya dalam berkesenian.
Jelas konsep kerja Bung Karno senapas dengan konsep kerja seorang seniman sebagaimana dinyatakan Chairil Anwar dalam salah satu prosanya.
Persamaan konsep berkesenian antara Bung Karno dan Chairil Anwar bukan saja terlihat dari proses kreatif, di antara keduanya juga secara bersama-sama hendak menunjukkan eksistensi kebersamaan dalam perjuangan. "Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji/ Aku sudah cukup lama dengar bicaramu/ dipanggang atas apimu digarami oleh lautmu".
Sementara itu, dalam puisi saduran "Krawang-Bekasi" Chairil Anwar seide dengan Bung Karno untuk tidak melupakan sejarah. "Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah" demikian Bung Karno pernah berujar dalam pidatonya.
Dengan puisi, Chairil menulis "Kami sekarang mayat/ Berilah kami arti/ Berjaga terus di garis pernyataan dan impian". Tampak sekali Chairil hendak mewartakan betapa kekuatan kata-kata merupakan modal perjuangan membakar semangat untuk mewujudkan mimpi tentang kemerdekaan yang diidam-idamkan bersama.
Rasa kebersamaan antara seniman dan pemimpin itu perlu terus diwujudkan untuk saling mengingatkan dan saling mengadakan dalam perjuangan kemerdekaan negeri ini menjelang delapan dasawarsa kemerdekaan RI, bukan untuk meniadakan satu dengan yang lain misalnya dengan pembreidelan sebagaimana dialami sejumlah pengarang sehingga santapan batin yang disajikan terputus, tak sampai ke publik pembaca.
Pada kenyataannya karya-karya pengarang yang dibreidel itu mendapat simpatik di negeri asing, sementara di negerinya sendiri ditelantarkan. Contoh nyatanya adalah karya-karya Pramudya Ananta Toer yang dilarang masa Orde Baru tetapi diunggulkan sebagai nominasi pemenang nobel sastra. Begitu pula Gao Xingjian yang novelnya berjudul Gunung Jiwa memenangkan Nobel Sastra 2000 (dari Cina) kini justru hidup di pengasingan.
Kontrak perjanjian hati yang dilakukan Bung Karno dengan Chairil Anwar perlu terus dikobarkan dalam konteks perjalanan bangsa ke depan.
Dalam konteks ini, sastra hendaknya dilihat secara universal bagi pemanusiaan manusia. Kalau pun terdapat perbedaan interpretasi terhadap karya yang lahir sehingga "dianggap mengganggu” tidak semestinya dihanguskan.
Pihak yang “merasa terganggu” akan menjadi terhormat apabila mampu menangkis dengan karya nyata melahirkan bentuk karya lain sebagai tandingan. Cara ini selain memberikan suasana kondusif bagi pengarang untuk berkarya, juga akan memperkaya khasanah bacaan yang beragam dari berbagai sudut pandang dan sangat atraktif bagi upaya membangun sikap demokratis yang tengah kita bangun kini.
Kontrak perjanjian hati yang dilakukan Bung Karno dengan Chairil Anwar perlu terus dikobarkan dalam konteks perjalanan bangsa ke depan, menyongsong Indonesia Emas pada 2045, saat seabad Kemerdekaan Indonesia. Siapa pun nanti presidennya kondusivitas berkarya para seniman yang "memiskinkan diri” secara material perlu diberikan kemerdekaan berpikir sehingga terlahir karya-karya yang lebih berbobot dan berdaya guna. Dengan demikian, seniman yang “memiskinkan diri” itu bisa melakukan kompensasi menutupi kekurangan dirinya dengan kekayaan batin melalui dunia pemikiran yang mampu menyentuh perasaan masyarakat tanpa tersekat batas ruang dan waktu mewujudkan Indonesia Raya.
“Bangunlah jiwanya, bangunlah bangsanya...” melalui pendidikan yang memerdekakan anak bangsa sebagaimana dicita-citakan Ki Hadjar Dewantara. “Pengajaran memerdekakan manusia atas hidupnya lahir, merdekanya batin dari pendidikan”.
Singkatnya ruang batin bangsa dibangun melalui pendidikan dengan menyeimbangkan ruang fisik yang makin sesak seperti diniatkan oleh Chairil Anwar yang bergandengan tangan Bung Karno tanpa pamrih minta kemewahan. Mereka memerdekakan bangsanya dengan kebersahajaan dan kesederhanaan dan sangat relevan untuk menghadapi masa pandemi Covid-19, yang tidak pasti kapan berakhirnya.
Selamat merayakan Bulan Bung Karno sembari mengapresiasi puisi Chairil Anwar, “Persetujuan dengan Bung Karno”.
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
I Nyoman Tingkat, Guru SMA Negeri 2 Kuta Selatan, Bali