Ketiadaan Kedudukan Hukum Melawan ”Presidential Threshold”
Perjuangan melawan ”presidential threshold” sering kali kandas karena masyarakat sipil tidak bisa sukses melewati uji kedudukan hukum. Pemberian kedudukan hukum kepada masyarakat sipil seharusnya dapat dijustifikasi.
Oleh
AZEEM MARHENDRA AMEDI
·5 menit baca
Salah satu topik hangat yang menjadi bagian dari perbincangan tentang perhelatan Pemilu 2024 adalah ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold dalam Undang-Undang Pemilu. Pelbagai usaha telah dilakukan oleh masyarakat untuk mengurangi atau menghapus syarat presidential threshold, salah satunya dengan menempuh jalur judicial review melalui Mahkamah Konstitusi.
Pada tahun 2022 saja, hingga kini, sudah ada 12 perkara tentang pengujian ketentuan presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, semua kandas baik karena ditolak maupun tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard/NO).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Apabila dilihat dari jumlah 35 perkara yang mempersoalkan presidential threshold di MK sejak 2008, ada 24 perkara yang diputus tidak dapat diterima akibat ketiadaan kedudukan hukum (legal standing) dari para pemohon. Dalam beberapa putusan, MK menilai bahwa para pemohon gagal membuktikan adanya kerugian konstitusional karena ketentuan presidential threshold tersebut.
Contohnya, pada putusan Nomor 74/PUU-XVIII/2020 yang dimohonkan oleh Rizal Ramli. Klaim Rizal Ramli bahwa pernah ditawari menjadi calon presiden oleh salah satu partai politik dipandang belum dapat membuktikan kerugian konstitusional yang merupakan sebab-akibat dari ketentuan tersebut serta tidak cukup untuk membuktikan demikian.
Adapun Putusan Nomor 66/PUU-XIX/2021 yang diajukan oleh perwakilan Partai Gerindra tidak dapat diterima karena tidak dapat menunjukkan bukti mewakili partai yang dirugikan akibat ketentuan threshold tersebut dan dianggap bertindak atas diri sendiri sehingga tidak terdapat kerugian konstitusional.
Inilah yang menjadi masalah kandasnya perjuangan melawan presidential threshold—bahwa masyarakat sipil tidak bisa sukses melewati uji kedudukan hukum pada perkara demikian, kecuali mereka adalah perwakilan partai politik atau gabungan partai politik dan/atau kandidat presiden dan wakil presiden. MK masih menafsirkan Pasal 51 UU No 24/2003 tentang MK secara sempit, bahwa para pemohon adalah yang benar-benar harus secara faktual atau setidaknya potensial merugi akibat ketentuan suatu undang-undang, padahal terdapat hak yang dimiliki oleh publik yang dirugikan di dalam ketentuan tersebut.
Justifikasi
Pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam Putusan Nomor 66/PUU-XIX/2021 dari Hakim Konstitusi Suhartoyo, Saldi Isra, Manahan Sitompul, dan Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa selain ada hak untuk dipilih (right to be candidate), terdapat pula hak untuk memilih (right to vote), sesuai dengan konteks Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (3). Dua kepentingan tersebut dipandang berkelindan dalam perkara demikian sehingga seharusnya pemohon dalam perkara tersebut, yang telah membuktikan sebagai warga negara dengan hak pilih, diberikan kedudukan hukum.
Hal tersebut karena ketentuan presidential threshold membatasi pemenuhan hak partisipasi dalam kontestasi demokrasi bagi warga negara, baik dari sisi kandidat maupun pemilih. Oleh karena itu, keempat hakim konstitusi tersebut berpendapat bahwa seharusnya para pemohon diberikan kedudukan hukum.
Pemberian kedudukan hukum kepada masyarakat sipil yang bukan merupakan kandidat presiden atau perwakilan partai politik seharusnya menjadi hal yang dapat dijustifikasi.
Pemberian kedudukan hukum kepada masyarakat sipil yang bukan merupakan kandidat presiden atau perwakilan partai politik seharusnya menjadi hal yang dapat dijustifikasi. Hak konstitusional dalam perkara ini adalah hak publik yang menjadi ”special interest” (kepentingan istimewa), di mana pemohon tidak hanya dirugikan sebagai pribadi, tetapi juga dirugikan sebagai bagian dari publik dan membawa kerugian pada masyarakat luas. Sehingga, hal ini sah-sah saja apabila perorangan atau kumpulan perorangan membawa kepentingan publik, sebagai upaya ”standing for public interests” (Queensland Public Interest Law Clearing House, 2005).
Oleh karena itu, yang terdampak dari sebuah kebijakan hukum tidak hanya pihak yang mengajukan permohonan pengujian, tetapi juga memiliki dampak luas bagi setiap warga negara yang memiliki hak dipilih dan memilih dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kerugian tidak hanya akan dirasakan oleh para pemohon, tetapi juga warga negara yang dijamin haknya oleh konstitusi. Sebab, diatur dengan frasa ”setiap warga negara” dalam Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945. Jika para pemohon dapat membuktikan demikian dan MK dapat melihat bukti-bukti tersebut sebagai bukti yang kuat untuk mendapat kedudukan hukum, MK bisa memberikan kedudukan hukum untuk memohon pengujian, dan pengujian pokok permohonan bisa dijalankan.
MK harus hati-hati dalam menentukan kedudukan hukum dalam perkara seperti ini. Salah satu solusi yang bisa diterapkan sebenarnya telah disarankan Jimly Asshiddiqie dalam Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (2005), bahwa tidaklah jarang jika penentuan kedudukan hukum dilakukan dengan memeriksa pokok perkara terlebih dahulu atau bahkan saat proses pembuktian. Hal ini karena substansi yang menentukan kedudukan hukum para pemohon bisa saja terdapat dalam pokok perkara sehingga harus dipertimbangkan secara seksama dan hati-hati sebelum memutuskan tidak dapat menerima permohonan.
Para pemohon, terutama dalam perkara No 66/PUU-XIX/2021, baik dalam pernyataan kedudukan hukumnya maupun pokok permohonannya, telah dapat memberikan bukti bahwa kerugian konstitusional tidak hanya akan dirasakan oleh para pemohon, tetapi juga warga negara yang telah memiliki hak suara dan dijamin oleh konstitusi. Oleh karena itu, dengan banyaknya kepentingan warga negara yang diperjuangkan dalam perkara tersebut, MK seharusnya dapat melihat adanya kedudukan hukum dan urgensi untuk dipertimbangkan pokok permohonannya.
Hakikat dari pengujian konstitusional adalah dalam rangka pengujian norma abstrak dalam suatu UU terhadap UUD 1945 yang menyangkut kepentingan umum. Apabila hanya mempertimbangkan kerugian satu pihak tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas yang akan dirugikan oleh suatu ketentuan UU, itu hanya seperti menguji perkara yang individual dan konkret. Putusan MK juga bersifat mengikat secara umum (erga omnes) sehingga dampaknya akan dirasakan tidak hanya oleh para pihak yang beracara, tetapi juga masyarakat luas.
”Hal demikian seharusnya menjadi pelajaran bagi MK, bahwa dalam ajudikasi perkara hukum publik demikian sangat perlu memperhatikan gambaran besar kepentingan publik pula. Bahwa ada hak menjadi kandidat untuk dipilih dan hak memilih yang berkelindan dalam perkara presidential threshold yang menjadi kepentingan publik sehingga wajib mempertimbangkan dampaknya kepada publik pula.
Azeem Marhendra Amedi, Department of Politics and Social Change, Centre For Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia.