”Tolok ukur” dan ”tolak ukur” merupakan bentuk bersaing yang kerap muncul dalam tulisan-tulisan. Sesungguhnya bentuk yang tepat adalah ”tolok ukur”, bukan ”tolak ukur”.
Oleh
PRISKILIA B SITOMPUL/NUR ADJI
·4 menit baca
Dalam tulisan "Kata Membuncah yang Salah Kaprah" dipaparkan beberapa penyebab terjadinya kesalahan bahasa. Salah satunya, kurangnya pengetahuan akan kaidah bahasa. Bisa juga karena pengguna bahasa tidak tahu akan kata (dan makna) yang dituliskannya.
Itulah sebabnya, dalam bidang bahasa ada yang bertugas sebagai ”polisi bahasa”. Selain berupaya meluruskan kesalahan yang terjadi, ”polisi bahasa” juga berupaya patuh pada kaidah-kaidah yang ada.
Namun, adakalanya juga ”polisi bahasa” meloloskan kata, frasa, atau kalimat yang lewat di depan matanya. Hal ini bisa terjadi karena ”sang polisi bahasa”, dengan latar belakang ilmunya yang deskriptif, menganggap kata, frasa, atau kalimat yang dia loloskan itu berhak hidup juga dalam pemakaian bahasa. Padahal, dalam pengajaran, hal itu membuat posisi bahasa tidak ajeg, atau tidak memiliki aturan yang jelas.
Frasa tolak ukur, alih-alih tolok ukur, ialah satu di antara bentuk bersaing yang juga turut membingungkan masyarakat.
Akibat tindakan meloloskan itu, ada banyak bentuk bersaing di masyarakat. Selain ada yang menuliskan masjid, umpamanya, ada juga yang menuliskan mesjid. Ada yang menuliskan lesung pipi, ada pula yang menuliskan lesung pipit. Dua bentuk bersaing itu tak jarang membingungkan masyarakat pemakai bahasa.
Frasa tolak ukur, alih-alih tolok ukur, ialah satu di antara bentuk bersaing yang juga turut membingungkan masyarakat. Tidak hanya wartawan, kaum cerdik pandai pun menggunakan dua bentuk bersaing itu.
Frasa tolok ukur muncul pada tahun 1970-an. Paling tidak, frasa tersebut termuat dalam berita di Kompas bertanggal 15 November 1979 (”Mendagri Amirmachmud: Sarjana Ilmu Sosial Diberi Kesempatan Mengaji Usaha Pemerataan * Hendra Esmara: Tak Ada Tolok Ukur yang Bisa Digunakan”).
Namun, dua tahun kemudian, muncul frasa tolak ukur dalam ulasan catur yang ditulis Lugito Hayadi (”Pertimbangan Khusus FIDE untuk Gelar Grandmaster kepada Hans Ree”, Kompas, 22 Februari 1981). Ia menulis, ”salah satu tolak ukur yang penting adalah rating ELO-nya yang tinggi 2520”.
Dari dua berita itu, baik tolok ukur maupun tolak ukur dimaksudkan sebagai ’standar’ atau ’patokan’ yang menjadi ukuran untuk menilai sesuatu. Dengan standar atau patokan itu, penilaian bisa dilakukan dengan obyektif.
Namun, dari kedua frasa tersebut, mana sesungguhnya frasa yang benar? Mana frasa yang mengandung arti ’standar’ atau ’patokan’ sesuai dengan yang dimaksud pengguna bahasa?
Gunakan ”tolok ukur”
Ungkapan tolok ukur yang muncul pertama kali dalam tulisan bertanggal 15 November 1979 di atas adalah ungkapan yang benar. Bukan tolak ukur.
Tolok ukur terbentuk dari dua kata, tolok dan ukur. Dalam KBBI terdapat empat lema dengan kata tolok (kata benda).
Tolok bermakna ’banding; imbangan (yang sama); tara’. Tolok juga bermakna ’juru bahasa’. Makna lain dari tolok ialah ’gayam’ (nama pohon). Adapun tolok keempat bermakna ’sastra klasik Bugis yang menceritakan kepahlawanan seorang tokoh; berbentuk prosa liris’.
Akan halnya ukur (kata benda), kata ini bermakna 1 sukat; pengatur; ukuran; 2 patut; selayaknya; sudah tentu.
Yang relevan dengan ungkapan tolok ukur ialah makna yang pertama, yakni ’banding; imbangan (yang sama); tara’. Kata tolok, pada suatu masa, juga dijadikan ungkapan sekaligus dengan sinonimnya, banding, menjadi tolok banding (ukuran pembanding).
Dari kata tolok, muncul bentuk turunan menolok ’membandingkan; menyamakan (ukuran, timbangan) dengan ukuran (timbangan) yang benar’. Juga muncul penolok yang berarti 1 ukuran (timbangan) yang dipakai sebagai patokan (standar); 2 imbangan (yang sama). Dari kata tolok juga dapat dibentuk kata setolok, yang berarti ’sama tingkatnya (kedudukan dan sebagainya); sebanding; setara’.
Tolok ukur berarti ’ukuran (sebagai) pembanding’. Frasa ini setara maknanya dengan penolok ’ukuran (timbangan) yang dipakai sebagai patokan (standar); imbangan (yang sama)’. Dalam bahasa yang lebih singkat, tolok ukur adalah patokan atau standar. Frasa ini dimaksudkan sebagai sesuatu yang dipakai sebagai patokan atau standar dalam menentukan ukuran sesuatu yang lain.
Jika dibandingkan dengan frasa tolak ukur yang muncul belakangan, unsur pembentuk frasa tolok ukur, yakni tolok dan ukur, lebih tepat jika dibandingkan dengan tolak dan ukur sebagai pembentuk tolak ukur.
Tolak (kata kerja) bermakna ’sorong’ dan ’dorong’. Dari kata tolak muncul kata menolak. Dalam KBBI ada enam arti menolak. Tiga di antaranya relevan dengan pembahasan ini.
Makna pertama ialah ’mendorong; menyorongkan; mendesak ke depan (ke samping)’: ia ∼ temannya sehingga jatuh terjungkal.
Makna kedua ialah ’mencegah (bahaya dan sebagainya); menangkal (penyakit dan sebagainya); mengelakkan atau menangkis (serangan dan sebagainya)’:∼ hujan; ∼ penyakit cacar; ∼ serangan musuh.
Adapun makna ketiga ialah ’tidak menerima (memberi, meluluskan, mengabulkan); menampik’: dia tidak pernah ∼ permintaan anak kesayangannya.
Jika kita sandingkan kata ukur dengan kata tolak, makna yang muncul adalah ’menolak (mendorong, mencegah, menampik) ukur’. Karena kategori kata tolak adalah kata kerja, makna yang muncul pun mengandung makna perbuatan. Hal itu sama dengan frasa tolak ukur yang berkategori frasa verbal. Makna yang muncul mengandung makna perbuatan ’menolak’.
Hal itu berbeda dengan kata tolok ukur yang merupakan frasa nominal. Makna yang muncul adalah makna yang mengandung makna benda, bukan perbuatan. Klop dengan makna ’ukuran’ yang terdapat pada tolok ukur.
Salah satu alasan munculnya frasa tolak ukur—setidaknya dua tahun dari munculnya tolok ukur sesuai dengan yang terdapat dalam berita Kompas—bisa jadi disebabkan oleh ketidaktahuan si penulis akan kata (dan maknanya) yang dituliskannya. Samar-samar dia mengetahui hal itu, menuliskannya, tanpa memahami terlebih dahulu apa yang akan dituliskannya.
Priskilia B Sitompul/Nur Adji, Penyelaras Bahasa Kompas