Polemik rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur masih terus dimunculkan. Bahkan, ada pihak yang mengembangkan opini ”menggugat” keputusan IKN.
Salah satu alasannya, pemerintah tidak terbuka dan enggan mengundang partisipasi publik. Di era kebebasan berpendapat, sah-sah saja menyampaikan ketidaksepakatan. Namun, seharusnya jangan ujuk-ujuk menolak. Bukankah keputusan tentang ibu kota negara (IKN) sudah melalui proses politik dan musyawarah terbuka?
Jika DPR sebagai wakil rakyat sudah menyepakati IKN, maka sah juga IKN sebagai keputusan kita bersama.
Jadi, kalau masih ada yang menyatakan ketidaksetujuan pemindahan IKN, justru menjadi anomali. Apalagi, proses pengambilan keputusan berlangsung dalam forum sidang di Gedung DPR, secara terbuka dan demokratis.
Dinamika demokratisasi inilah seharusnya diikuti secara cermat dan menjadi dasar setiap pemilik aspirasi tentang IKN. Setelah disetujui secara konstitusional, janganlah membuat kegaduhan dengan menyebarkan opini negatif tentang IKN.
Muncul keheranan ketika ada yang mengaku dirinya cendekiawan kemudian menyatakan bangsa ini tidak demokratis. Padahal, suka atau tidak, DPR merupakan representasi rakyat. Mereka, para terhormat yang menikmati kedudukan di Senayan, adalah para wakil kita.
Kalau ada yang menilai para pemimpin dan anggota Dewan tidak mampu menjalankan tugas dan perannya dalam memperjuangkan aspirasi, solusinya, ya, jangan pilih mereka lagi pada Pemilu 2024, nanti.
Oleh karena itu, mendalilkan pemindahan IKN tidak membuka ruang keterlibatan publik, setidaknya kaum cerdik pandai untuk ambil bagian dalam public deliberation, terkesan hanya alasan untuk memancing kegaduhan.
Jika ingin menyumbangkan pemikiran bagi kebaikan dan kemajuan bangsa, seharusnya disampaikan saat proses IKN dibahas DPR.
Mari kita pahami semangat gotong royong dan solidaritas sebagai alas dalam menilai kebijakan. Suatu keputusan sudah diambil otoritas yang sah, seyogianya kita hormati, kecuali jika gugatan tersebut hanya demi kepentingan pribadi, kelompok, atau asal beda!
A Ristanto
Jatimakmur, Pondokgede, Kota Bekasi
Bukan Paket Saya
Hari Sabtu, 15 Januari 2022, saya menerima paket COD (cash on delivery) yang tersasar. Tadinya saya pikir punya ibu saya karena alamat dan nomor teleponnya sama.
Namun, ibu saya tidak merasa pesan. Anehnya, di dalam paket ada lapisan kedua berisi tempelan resi alamat orang lain yang tidak saya kenal. Dari toko yang sama.
Saya mencoba konfirmasi ke orang tersebut, ternyata ia juga tidak merasa memesan. Ada kecurigaan ini adalah fraud, seperti pengiriman barang secara berantai. Apakah ada yang iseng atau ada kebocoran data? Entahlah.
Saya mencoba konfirmasi ke pengirim melalui Whatsapp dan SMS, tetapi hingga surat ini dibuat tidak ada balasan.
Ketika saya telusuri, resi dan order kiriman itu berasal dari permintaan PT Maulagi Indosolusi di resi Si Cepat. Saya coba konfirmasi ke CS Maulagi, tidak mendapat jawaban memuaskan. Saya juga kontak ke Si Cepat, dijawab masih dalam investigasi.
Mohon antara Maulagi dan Si Cepat bertanggung jawab dan mengevaluasi sistemnya.
Rinaldo Maharditama
Cengkareng, Jakarta Barat
Gelar Profesor
Tulisan Syamsul Rizal, ”Profesor karena Joki” (Kompas, 15/12/2021), menarik.
Teman saya, Prof Tjia May On almarhum dari ITB, pernah bilang bahwa sebaiknya gelar profesor tidak dimohon yang bersangkutan dengan melampirkan daftar ”kum”, tetapi dari publik yang mengagumi prestasinya, seperti gelar empu, begawan, dan maestro.
L Wilardjo
Klaseman, Salatiga