Pendidikan Karakter, Buruk Muka Cermin (Tidak) Dibelah
Fenomena perilaku buruk pada sebagian siswa adalah kenyataan di masyarakat yang perlu diperbaiki. Ini bukan merupakan tanggung jawab siswa semata, tetapi terutama orang dewasa, baik orangtua, guru, juga masyarakat.
Fenomena perilaku buruk di zaman sekarang pada sebagian murid sekolah terjadi dalam dua titik ekstrem. Pertama terlalu apatis. Indikasi yang terlihat mereka sibuk bermain gim sampai lupa waktu, tidak peduli terhadap diri sendiri dan sesama, enggan bergaul dengan teman sebaya, pesimistis, mudah depresi, dan belakangan ini ide bunuh diri di kalangan remaja cenderung meningkat (Kompas.com, 4/11/2019).
Titik ekstrem kedua, yaitu terlalu egois, baik secara individual maupun komunal. Indikasi yang terlihat, mereka menjadi keras kepala, sulit dinasehati, mau enaknya sendiri, dapat dimanipulasi, mudah di-brainwashing, dan cepat menyalahkan orang lain yang berbeda tanpa pikir panjang.
Jika anak-anak bangsa berada dalam situasi ekstrem yang demikian, siapa yang bertanggung-jawab? Orang dewasa dengan beribu macam alasan dapat menghindar dari tanggung jawab tersebut. Cara menghindar yang efektif mengingatkan penulis pada peribahasa, “buruk muka, cermin dibelah”, yang artinya kita bersalah tetapi orang lain yang dipersalahkan.
Baca juga: Pentingnya Pendidikan Karakter Zaman Digital
Kehancuran masa depan generasi muda, bukan tanggung jawab para murid semata, tetapi pada kita, orang dewasa dalam keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintahan. Orang dewasa yang sudah terdidik dan mempunyai pengalaman mendampingi para murid menjadi ujung tombak dalam pelayanan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Saat pandemi Covid-19, pendidikan nasional memutar haluan dan strategi pembelajaran yang dapat disesuaikan dengan konteks yang dialami masyarakat. Materi pengajaran, di-filter dan disaring berdasarkan kebutuhan esensial para murid dalam menggapai masa depan mereka. Secara prinsipil, pendidikan yang demikian dapat diterima dengan logika akal sehat. Hanya saja masih menimbulkan pertanyaan susulan yang tidak mudah dijawab, bagaimana memenuhi kebutuhan pendidikan karakter para murid?
Dalam masa pandemi Covid-19, proteksi terhadap keselamatan jiwa para murid menguat. Para orangtua berupaya melindungi anak-anak mereka supaya aman dan terlindungi terhadap bahaya virus corona. Tindakan proteksi yang demikian, tetap dinilai wajar, tetapi peluang murid mendapat pendidikan karakter secara alamiah melalui pergaulan antara teman sebaya, dan aktivitas formatif di lingkungan sekolah menjadi terbatas. Lantas upaya apakah yang perlu dibuat untuk menutupi kelemahan substansial tersebut?
Solusi komprehensif untuk menjawab kebutuhan pendidikan karakter dimulai dari definisi dan penjabarannya. Menurut Milson & Mehlig (2002) pendidikan karakter didefinisikan sebagai proses mengembangkan pemahaman, komitmen, dan kecenderungan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai etika. Pendidikan karakter sebagai proses memungkinkan para murid dan guru di komunitas sekolah belajar memahami, menjadi peduli, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai keutamaan etis seperti rasa hormat, kebajikan hidup, kesadaran tanggung jawab akan kebaikan untuk diri sendiri dan sesama.
Baca juga: Kebenaran, Kejujuran, dan Keadilan Sebagai Tujuan Pendidikan
Dalam definisi tersebut, para guru di sekolah mempunyai peranan penting setelah orangtua dalam mendampingi pendidikan karakter para murid. Ada sebelas elemen penting dalam pendidikan karakter menurut Hoge (2002), yaitu pemeliharaan, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, penghargaan martabat diri sendiri dan orang lain, kesopanan, kerja sama, ketaatan pada otoritas, non-kekerasan, pengendalian diri, dan pembelajaran yang menantang sekaligus bermakna.
Kesebelas elemen pendidikan karakter tersebut bukanlah barang mati yang tidak dapat berubah bentuknya. Elemen-elemen yang demikian dapat dirumuskan kembali sebagai core values (nilai-nilai dasar keutamaan) dan disesuaikan dengan kebutuhan sekolah berdasarkan kultur yang selama ini dominan dipraktikkan. Rumusan karakter yang dibuat dapat berbeda tetapi secara substantif tetap sama maknanya, yaitu mengandung unsur kesebelas elemen pendidikan karakter.
Sebagai strategi aplikatif pendidikan karakter, sekolah-sekolah perlu didorong mengambil peran kepemimpinan, dengan cara mengajak pimpinan sekolah, para guru, orangtua, dan para murid mengidentifikasikan dan menentukan elemen karakter mana yang ingin diwujudkan.
Salah satu sekolah di Jakarta, ada yang menekankan karakter pelayanan, kejujuran, kedisiplinan, kepedulian, dan keunggulan sebagai core values yang dihayati, dihidupi, dan dipraktikkan. Di sekolah lain ada yang menekankan 4 C dan 1L, yaitu Competence (kompetensi akal budi), Conscience (hati nurani yang lurus), Compassion (kepedulian terhadap sesama), Commitment (komitmen pada pilihan hidup), dan Leadership (kepemimpinan).
Keluarga dan sekolah menjadi pengingat utama dalam membantu para murid mengkristalkan keutamaan hidup di dalam diri mereka.
Rumusan core values yang dibuat berdasarkan kultur dan kekhasan sekolah tidak hanya disosialisasikan melalui kata-kata semata, tetapi diwujudkan dalam aneka aktivitas di keluarga, sekolah, dan masyarakat. Aneka aktivitas komunitas pendidikan diukur melalui nilai-nilai dasar keutamaan yang sudah dirumuskan bersama. Keluarga dan sekolah menjadi pengingat utama dalam membantu para murid mengkristalkan keutamaan hidup di dalam diri mereka.
Core values yang dirumuskan dan dilaksanakan bersama dalam komunitas pendidikan akan mempermudah proses inkorporasi cita-cita atau visi Profil Pelajar Pancasila – seperti yang diharapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 -- ke dalam pribadi para guru dan murid. Dalam Profil Pelajar Pancasila para murid diberikan wawasan religiositas yang memadai agar mereka semakin beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, menghargai keberagaman global, bersedia bergotong royong, hidup mandiri, bernalar kritis, dan dilatih menjadi pribadi kreatif dalam melakukan aneka kegiatan.
Pada tahun 2022, pemerintah lebih mendorong sekolah-sekolah yang berada pada situasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 1 dan 2 – dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan -- melakukan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas di ruang-ruang kelas. Kesempatan PTM terbatas perlu digunakan secara kualitatif, khususnya yang terkait pendidikan karakter selain pemberian materi pengajaran yang menjadi domain utama sekolah.
Pimpinan sekolah bersama para guru diharapkan dapat membentuk karakter para murid melalui aktivitas ekstrakurikuler, gerakan peduli lingkungan, kegiatan OSIS, rekoleksi, retreat, latihan kepemimpinan, dan aneka kegiatan formatif. Sekolah mempunyai peluang lebih dalam PTM terbatas untuk mengaktifkan aneka kegiatan yang berdampak pada perwujudan karakter para murid.
Sekolah mempunyai peluang lebih dalam PTM terbatas untuk mengaktifkan aneka kegiatan yang berdampak pada perwujudan karakter para murid.
Aneka aktivitas formatif menurut Ki Hajar Dewantara (1977) akan berdampak positif pada para murid ketika mereka dapat merefleksikan apa saja yang sudah mereka buat sebagai kegiatan yang bermakna. Kegiatan bermakna di sekolah jika direfleksikan para murid akan membentuk perubahan mindset pada diri mereka untuk menjadi lebih baik dibandingkan hari sebelumnya bahkan sebagian besar hal penting di dunia menurut Dale Carnagie (2003) sukses dicapai oleh orang-orang yang terus berusaha dalam kehidupan mereka.
Catatan akhir dari tulisan ini, penulis menyimpulkan bahwa pendidikan karakter tidak boleh diabaikan, terutama pada saat pandemi Covid-19. Fenomena perilaku buruk pada sebagian murid sekolah adalah kenyataan yang terjadi di masyarakat yang perlu diperbaiki. Peribahasa “buruk muka cermin dibelah” menjadi pengingat kita sebagai orang dewasa agar tidak merusak cermin yang tidak bersalah. Kata muka pada frase “buruk muka” merupakan wajah kita sendiri. Baik dan buruknya wajah manusia tergantung bagaimana kita merawat dan memperindah secara baik dan berkualitas atau tidak.
Baca juga: Persoalan Pendidikan Pancasila di Sekolah Dasar-Menengah
Demikian juga wajah pendidikan nasional, baik dan buruknya merupakan tanggung jawab orangtua, para guru, bersama masyarakat dan pemerintah. Pemerintah menentukan kebijakan pendidikan nasional, pimpinan sekolah beserta para guru terlibat aktif dalam pelayanan pendidikan yang berkualitas dengan memperhatikan juga aspek pendidikan karakter di dalamnya, dan orangtua bersama masyarakat mendukung proses pendidikan generasi muda mencapai visi Profil Pelajar Pancasila.
Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada