Tidak ada pilihan bagi kita selain melakukan kerja nyata dalam menghadapi perubahan iklim. Manusia hanya memiliki satu bumi ini.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Perubahan iklim tak bisa dihadapi hanya dengan pidato dan janji. Kerja nyata berupa penyusunan strategi, agenda, regulasi, dan skema insentif harus dilakukan.
Berbagai laporan menunjukkan perubahan iklim akibat pemanasan bumi terus berlangsung. Laporan terbaru mengenai pemanasan bumi dikeluarkan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO). Seperti ditulis harian ini, Kamis (20/1/2022), laporan WMO menyebutkan, tahun 2015 hingga 2021 merupakan periode terpanas bumi. Dari tujuh tahun dalam periode terpanas ini, tahun 2021 mencatat suhu tertinggi.
Apa yang diungkap WMO mempertegas pemanasan bumi terus terjadi. Perubahan iklim tak terhindarkan. Risiko bencana akibat perubahan iklim—muka air laut naik dan kota di tepi laut terendam—terpampang di depan mata. Belum lagi kekeringan dan bencana alam akibat perubahan iklim.
Batas maksimal kenaikan suhu bumi dibandingkan masa praindustri, menurut Kesepakatan Paris 2015, ialah 1,5 derajat celsius. Jika kenaikannya melebihi batas itu, kerusakan tak bisa diperbaiki. Diperkirakan 255 juta orang terdampak langsung dan harus mengungsi akibat krisis iklim. Kerja nyata harus dilakukan pemimpin politik dalam menghadapi krisis iklim. Sebelum masuk pada apa yang harus dikerjakan, perlu kiranya melihat kondisi yang melatarbelakangi emisi karbon tetap tinggi di tengah keprihatinan akan perubahan iklim.
Artikel ”Why Climate Policy Has Failed” (Foreign Affairs edisi 12 Oktober 2021) yang disusun dari pidato William Nordhaus di hadapan pejabat keuangan G-20 tahun 2021 menekankan, penyebab pertama kegagalan kebijakan iklim ialah harga emisi karbon yang lebih kurang nol. Orang tak dikenai biaya apa pun saat memicu emisi karbon. Tak mengherankan, penggunaan batubara tetap tinggi. Pemanfaatan jenis sumber energi itu terasa murah bagi siapa pun.
Nordhaus, penerima Nobel Ekonomi 2018, menyebutkan, kalau pemerintah menerapkan pungutan 50 dollar AS untuk tiap ton karbon, harga tiap ton batubara bertambah lebih kurang 140 dollar AS. Cara itu mendorong orang untuk beralih ke sumber ekonomi yang lebih hijau.
Penyebab kedua kegagalan kebijakan iklim ialah minimnya riset dan pengembangan teknologi energi hijau. Saat seluruh kemampuan dan sumber daya dikerahkan untuk memacu riset di bidang itu, dicontohkan keberhasilan manusia menemukan vaksin Covid-19 dalam waktu cepat, maka teknologi energi hijau pun akan berkembang jauh lebih pesat. Upaya meninggalkan energi fosil dapat berlangsung lebih signifikan.
Penerapan pungutan terhadap bahan bakar fosil serta dukungan besar-besaran pada riset teknologi energi hijau memerlukan dukungan politik. Pemimpin negara dan para politikus harus bekerja sama agar dua hal itu terwujud. Tentu sangat tidak mudah, apalagi jualan batubara menjadi sumber pendapatan banyak politikus. Namun, tak ada pilihan bagi kita selain melakukan kerja nyata dalam menghadapi perubahan iklim. Manusia hanya memiliki satu bumi ini.