Perekrutan guru PPPK hendaknya dibuat satu jalur. Artinya, setiap honorer harus melewati kontrol kualitas melalui skema seleksi, baik terpusat maupun regional.
Oleh
RIDUAN SITUMORANG
·5 menit baca
Siapa yang hendak diuntungkan dengan program perekrutan sejuta guru pegawai pemerintah dengn perjanjian kerja (PPPK)? Kalau pertanyaan ini diberikan kepada peserta, maka jawaban jujurnya hanya satu: negara. Sebab, dengan perekrutan guru PPPK, pengeluaran negara jauh lebih hemat.
Negara, dengan kemungkinan paling buruk, bisa memutasi guru atas nama pemerataan dengan semena-mena. Karena sifatnya kontrak, sangat mungkin guru bisa dipecat atau kontraknya tidak diperpanjang lagi. Dalam logika berpikir seperti inilah kita harusnya membaca mengapa peminat guru PPPK ini termasuk sepi meski diberi judul bombastis: perekrutan sejuta guru.
Pertanyaan susulan: kalau negara yang diuntungkan, mengapa masih saja banyak peserta yang ikut? Paling tidak, ada dua jawabannya. Pertama, dengan sinyal yang sangat kuat bahwa guru tak lagi direkrut melalui jalur PNS, maka secara terpaksa para calon guru ikut mendaftar. Kedua, bahwa peserta umumnya adalah berasal dari golongan umur yang tak memadai lagi untuk ikut tes CPNS.
Artinya, ini ibarat tak ada rotan, akar pun jadi. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa nasib honorer kita terlunta-lunta. Mengabdi puluhan tahun, mereka digaji seperti buruh, bahkan lebih tragis karena sifatnya baru gajian setelah dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dicairkan.
Karena itu, mereka pun berbondong-bondong untuk ikut seleksi guru PPPK. Tak sedikit dari peserta seleksi ini yang gagap teknologi. Bahkan, tak sedikit pula yang sudah tak bugar untuk belajar. Bukti kecilnya, tanpa nilai afirmasi, lebih dari 90 persen peserta seleksi PPPK tak lolos dari nilai ambang batas.
Artinya, jika saja niat awal negara memang murni untuk menyejahterakan guru honorer, seleksi yang memberatkan ini tak perlu dibuat. Dalam lajur berpikir demikian kita patut curiga bahwa sesungguhnya negara masih kurang bulat tekadnya untuk menyejahterakan guru. Karena itu, dibuatlah "alibi" dengan seleksi guru PPPK.
Tidak setuju
Walau begitu, secara pribadi, saya sendiri pun tidak setuju jika pemerintah harus mengangkat guru honorer menjadi PPPK tanpa seleksi yang memadai. Sebab, kita tak boleh menutup mata lagi bahwa ada begitu banyak honorer kita yang diterima tanpa kontrol kualitas.
Ini akibat kelalaian negara yang sebelumnya mengangkat guru sebagai PNS dari jalur lamanya pengabdian. Karena itu, bukan rahasia lagi, banyak orang rela menyogok untuk diterima sebagai honorer karena tahu akan ada pengangkatan. Di sisi lain, banyak juga pejabat sekolah yang memasukkan keluarganya sebagai honorer tanpa melihat kebutuhan.
Pada posisi seperti inilah saya kurang bersetuju bahwa honorer diangkat dan disejahterakan begitu saja. Sudah saatnya kita bijaksana membuat keputusan. Maksudnya, kita harus menghargai keunggulan. Jangan lagi ada celetukan guru seperti ini: PBGS alias “pintar bodoh, gaji sama”.
Negara seharusnya menghargai jerih payah dari mereka yang berusaha mengembangkan diri dan kompetensinya. Faktanya, negara selama ini bersikap tak mau tahu. Baik guru yang selalu belajar maupun guru yang tak pernah belajar dihargai dengan ganjaran yang sama. Akhirnya, banyak guru kita yang kapok untuk belajar.
Demikian juga kiranya dengan PPPK. Pemerintah harus menghargai keunggulan. Soal menyejahterakan guru, kita bersetuju dan tak perlu perdebatan lagi. Namun, guru seperti apa yang harus disejahterakan harus jelas ukurannya. Dalam hal ini, nilai hasil seleksi PPPK bisa menjadi pijakan.
Karena itulah saya pikir, kita perlu mengevaluasi seleksi guru PPPK agar lebih baik. Evaluasi pertama, apakah seleksi PPPK memang dibuat untuk menyejahterakan guru? Jawaban yang hadir bisa mengambang. Bagi guru berkualitas yang sudah mengabdi puluhan tahun dan tak digaji dengan layak, skema PPPK ini adalah bentuk penyejahteraan.
Karena itulah saya pikir, kita perlu mengevaluasi seleksi guru PPPK agar lebih baik. Evaluasi pertama, apakah seleksi PPPK memang dibuat untuk menyejahterakan guru?
Namun, bagi guru muda yang masih fresh-graduate, skema PPPK justru bentuk antitesis dari penyejahteraan guru. Sebab, pada kemungkinan paling buruk, guru PPPK potensial menjadi sapi perah kebijakan. Atas nama perpanjangan kontrak, misalnya, guru PPPK sangat terbuka untuk dipungli. Belum lagi melihat pada dampak buruk dari politik lokal yang membuat guru justru membeo pada politik. Pada posisi seperti ini, kemerdekaan guru untuk mengajar dan mendidik bisa tergerus. Evaluasi kedua adalah terkait pemerataan distribusi guru. Sebagaimana diharapkan, skema PPPK memang untuk pemerataan.
Memanajemen guru
Namun, setelah pengumuman PPPK, kini mulai muncul riak-riak kekurangan guru sebagai dampak PPPK (Kompas, 7 Januari 2022). Sekolah yang dahulu disokong honorer kini beberapa malah kekurangan, bahkan kekosongan guru. Mencari guru pengganti tentu bukan perkara mudah.
Artinya, jika tujuan kita adalah untuk memeratakan guru, pada berbagai tempat, kita justru membuat luka yang baru, bahkan lebih kejam. Sebab, faktanya, ada banyak honorer swasta yang lolos seleksi sehingga sekolah swasta tersebut kehilangan dan kekurangan guru (Kompas, 7 Januari 2022). Sayangnya, kelulusan guru swasta ini semakin memperjelas persoalan baru.
Faktanya, ada banyak honorer swasta yang lolos seleksi sehingga sekolah swasta tersebut kehilangan dan kekurangan guru.
Persoalan baru itu adalah lemahnya perhatian pemerintah pada honorer sekolah negeri. Sebagaimana diketahui, banyaknya honorer swasta yang lolos seleksi adalah akibat mereka sudah mendapatkan sertifikat pendidik sebagai nilai afirmasi. Sebab, sekolah swasta cenderung lebih ramah pada gurunya untuk mendapatkan sertifikat pendidik dengan kemudahan untuk mendapat surat keputusan (SK).
Nah, karena tak mempunyai sertifikat pendidik, alih-alih tersejahterakan, guru honorer negeri malah tersingkir dari sekolahnya oleh honorer swasta. Mereka menjadi pengangguran baru. Pada posisi demikian kita meragukan misi PPPK utnuk menyejahterakan honorer.
Dari kenyataan inilah kiranya kita perlu berefleksi tentang bagaimana sebenarnya menyejahterakan, merekrut, dan memeratakan guru. Soal kesejahteraan, agar tak kapok belajar mengembangkan diri, guru berprestasi harus dihargai. Jangan lagi ada kisah klasik “pintar bodoh, gaji sama”.
Soal perekrutan, perlu dibuat satu jalur. Artinya, setiap honorer harus melewati kontrol kualitas melalui skema seleksi, baik terpusat maupun regional.
Soal pemerataan, perlu janji tertulis minimal mengabdi 10 tahun di unit organisasi masing-masing dan memperkecil kemungkinan untuk berpindah lokasi.
Begitulah harusnya kita memanajemen guru.
Riduan Situmorang, Guru SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan