Sejalan perkembangan ilmu dan teknologi, pembentukan hukum seharusnya mengikutinya sehingga pembentukan hukum mampu melindungi kepentingan masyarakat dari dampak teknologi di bidang sosial budaya dan ekonomi.
Oleh
ROMLI ATMASASMITA
·5 menit baca
Kompas
Heryunanto
Jika berbicara masalah hukum maka harus diperhatikan bagaimana pembentuk UU mempersiapkan pembentukannya. Hal itu karena perkembangan hukum selalu dipengaruhi (bukan memengaruhi) perkembangan pemikiran masyarakat dari masa ke masa. Begitu pula perkembangan hukum 2022; dipengaruhi selain pengalaman yang baik di 2021, juga pengalaman buruk yang telah terjadi.
Pergulatan secara teoretik mengenai moral dan norma UU yang telah terjadi dan berkembang sejak Aquinas dan kerajaan monarki sampai saat ini masih tetap terjadi meski tak terlalu tajam seperti dahulu.
Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, pembentukan hukum seharusnya mengikutinya sehingga pembentukan hukum yang bertujuan melindungi kepentingan masyarakat dari dampak teknologi di bidang sosial budaya dan ekonomi harus mulai dikaji lima tahun yang lampau.
Contoh, dampak teknologi di bidang sosial khususnya moral masyarakat yang telah mengubah perilaku individu seperti hoaks dan pornografi dan bahkan efek samping negatif pada keamanan dan pertahanan negara. Di sisi lain pembentukan hukum (baca: UU), khususnya terkait efek samping negatif baru dikeluarkan pada 2008 (UU No 11/2008). Contoh nyata lain adalah kebocoran data perbankan di beberapa bank akibat pengamanan dari serangan siber masih sangat sangat lemah.
Jika berbicara masalah hukum maka harus diperhatikan bagaimana pembentuk UU mempersiapkan pembentukannya.
Proporsionalistas dan subsidiaritas
Selain antisipasi perkembangan teknologi yang lemah, para pemikir hukum juga tak lepas dari kelemahan analisis hukum yang hanya melihat peristiwa yang telah terjadi di masa lalu (ex-ante) dan tak pernah mempertimbangkan lagi dampak penerapan hukum di masa yang akan datang (post-factum).
Pendekatan baru analisis hukum yang dikembangkan sejak 1970-an di AS dan beberapa negara Uni Eropa telah meninggalkan pendekatan analisis hukum yang bersumber pada ajaran mechanistic jurisprudence. Bahkan telah digunakan pendekatan analisis ekonomi (economic analysis of law) sebagai pengganti yang layak dan relevan dengan perkembangan globalisasi ekonomi dunia.
Pendekatan relatif baru ini telah mempertimbangkan bukan hanya output tetapi juga outcome yang efisien, maksimal, dan dapat memelihara keseimbangan antara tujuan kepastian, keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Ramifikasi dan kompleksitas yang timbul dari dampak perkembangan globalisasi ekonomi dunia sejak Revolusi Industri 4.00 dan berdampak luas ke perkembangan ekonomi dunia, khususnya terkait kesejahteraan masyarakat, terbukti cocok dengan menggunakan pendekatan ini.
Dalam bahasa sederhana, pola pendekatan hukum dengan analisis ekonomi tersebut telah berhasil melaksanakan tugasnya, menegakkan hukum tanpa harus menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Pola pendekatan ini sejalan dengan pendapat ahli hukum masa lampau yang dikemukakan kembali oleh J Remmelink (2003) bahwa norma hukum dasar dalam negara hukum dan pedoman bagi hakim, adalah prinsip proporsionalitas dan subsidiaritas.
Prinsip pertama menuntut agar hakim dalam memeriksa perkara, termasuk penuntut umum/jaksa, mengutamakan keseimbangan antara tujuan dan cara mencapai tujuan. Dalam bahasa sederhana, tidak perlu menghancurkan lumbung padi untuk membunuh seekor tikus. Sedangkan prinsip kedua, menuntut agar dalam penerapan hukum untuk kasus yang rumit, dan memilih solusi yang tepat, harus dipilih solusi yang paling kecil risikonya dari risiko alternatif yang tersedia.
Fundamental normen des Reschtstaat itu sampai saat ini masih diterapkan, termasuk di negara penganut sistem Common Law, namun langka terjadi di dalam sistem hukum Civil Law, khususnya di Indonesia.
DIDIE SW
Didie SW
Beberapa peristiwa hukum yang terjadi selama 76 tahun Indonesia merdeka, masih menggunakan pendekatan positivisme hukum atau ex ante yang terobsesi pada penjeraan, tak pernah memperbaiki keadaan sebagaimana sebelumnya (terjadi), seperti pada kasus BLBI, Bank Century, Hambalang, korupsi pelayanan jasa pasar modal, dan lain-lain.
Obsesi pemenjaraan yang didukung masyarakat saat itu adalah memenjarakan pelaku kejahatan; tak lagi dipertimbangkan, terutama oleh hakim; bagaimana keseimbangan antara kepastian, keadilan dan kemanfaatan bisa terjaga dan tujuan pemenjaraan tetap tercapai.
Merujuk data pemasyarakatan di lapas selama 2021 dan sebelumnya, per 23 Desember 2021 terdapat 273.992 narapidana dan 226.093 tahanan (sumber: Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan). Negara telah dibebani anggaran yang sangat signifikan setiap tahun karena beban biaya makan napi/tahanan, belum termasuk biaya pemeliharaan kesehatan dan lain-lainnya.
Perubahan cara pandang
Penegakan hukum era sebelum 2022 bagikan “ban berjalan” dari hulu ke hilir tanpa henti dan senyatanya tak akan berhenti jika selama perjalanan itu tak ada upaya pencegahan (preventif) dan kuratif atau rehabilitatif atau restoratif untuk menangkal agar “air yang kotor” di hulu tak berlanjut ke hilir (penegakan hukum).
Sejalan dengan kebijakan pemerintah Jokowi yakni agar pencegahan lebih diperhatikan ketimbang penindakan represif, pemerintah dan DPR seyogianya menyiapkan suatu produk per-UU-an yang dapat mengatasi masalah hukum dan penegakan hukum sejak awal proses pembentukan peraturan per-UU-an, yaitu melakukan revisi atas UU No 12 /2011 yang diubah dengan UU No 15 /2019.
Perubahan dimaksud bukan perubahan normatif semata melainkan termasuk perubahan cara pandang, bahwa pola pembentukan peraturan per-UU-an yang bersifat linear atau monoliti, diubah menjadi siap menghadapi masalah nasional yang multi-dimensional dan kompleks menyangkut multiaspek hukum yang terhubung satu sama lain.
Pola perubahan pembentukan peraturan per-UU-an yang diharapkan bisa menghilangkan obesitas regulasi dan menguatkan tercapainya harmonisasi dan sinkronisasi pembentukan peraturan per-UU-an, jauh sebelum diimplementasikan dalam praktik.Perubahan regulasi ini juga mempertimbangkan setiap faktor non-hukum yang memengaruhi efektivitas dan efisiensi penerapan peraturan itu.
Faktor non-hukum yang berhubungan dengan hukum adalah, regulasi mengenai anti monopoli dan persaingan usaha sehat, kepailitan, korporasi, dan tindak pidana khusus tertentu seperti tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara. Dalam praktik belum terdapat suatu solusi tepat untuk menyelesaikan persengketaan atau tindak pidana itu dengan tepat tanpa dampak meluas dan merugikan banyak kepentingan masyarakat luas.
Romli AtmasasmitaGuru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran