Pandemi dan pembatasan mobilitas mendorong perkembangan ekonomi digital, membuat konsumen maupun produsen ratusan langkah lebih maju dalam mengarungi era digital.
Oleh
MUHAMMAD SYARIF HIDAYATULLAH
·6 menit baca
Kompas
Heryunanto
Adaptasi menjadi kata kunci dalam perkembangan ekonomi digital pada tahun 2020-2021. Pandemi dan pembatasan mobilitas mendorong proses ini, membuat konsumen maupun produsen ratusan langkah lebih maju dalam mengarungi era digital. Selama periode tersebut diperkirakan terjadi pertambahan 21 juta konsumen digital baru di Indonesia, membuat ekonomi internet di Indonesia diperkirakan membengkak menjadi senilai 70 miliar dollar AS (Google, Temasek, Bain&Company, 2021).
Tak hanya konsumen, produsen (pedagang), terus melakukan transformasi mengikuti tren digitalisasi yang ada. Diperkirakan 32 persen pelaku usaha Indonesia menggunakan platform digital untuk mendorong penjualan selama pandemi. Pelaku usaha yang melakukan digitalisasi mendapatkan penghasilan 8 persen lebih tinggi dibandingkan yang tidak (Prospera, 2021). Pendapatan usaha skala menengah yang menggunakan platform digital lebih besar 18 persen dibandingkan yang tidak menggunakan.
Adaptasi adalah langkah awal. Setelah ini Indonesia akan memasuki fase ekspansi. Efisiensi biaya transaksi yang ditimbulkan oleh inovasi digital, runtuhnya sekat pasar, kemudahan sistem pembayaran hingga digitalisasi jasa membuat pasar digital kian semarak, dan pada akhirnya mendorong masuknya berbagai pemain baru ke pasar ini.
Pertanyaan berikutnya adalah, seperti apa arah ekonomi digital ke depan, dan kebijakan ekonomi apa yang diperlukan guna mendorong pengembangan ekosistem ini?
Tak hanya konsumen, produsen (pedagang), terus melakukan transformasi mengikuti tren digitalisasi yang ada.
Dari 5G hingga O2O
UNCTAD (2019) membagi ekonomi digital ke dalam tiga lapisan utama. Pertama, lapisan inti, yaitu teknologi (komputer dan peralatan telekomunikasi) dan infrastruktur (internet dan jaringan telekomunikasi). Kedua, lapisan digital dan teknologi informasi yang memunculkan berbagai aplikasi teknologi maupun platform digital. Ketiga, lapisan digitalisasi sektor ekonomi, di mana berbagai barang dan layanan berbentuk fisik bertransformasi ke bentuk digital.
Ketiga lapisan tersebut membentuk satu ekosistem besar yang bernama ekonomi digital. Mari bahas arah ekonomi digital berdasarkan setiap lapisannya.
Pertama, akan ada perkembangan pesat pada lapisan inti, yaitu munculnya teknologi 5G. Kajian WEF dan PWC (2020) menunjukkan secara global teknologi 5G berpotensi menciptakan nilai sebesar 13,2 triliun dollar AS hingga 2035 dan 22,3 juta lapangan pekerjaan.
Dengan meningkatnya kecepatan koneksi (hingga 10 Gbps) dan turunnya waktu dari peralatan untuk mengunggah data (hingga 1 ms), 5G membuka berbagai peluang yang dapat membangkitkan perekonomian. Bagi sektor manufaktur, kehadiran 5G bisa mendorong efisiensi melalui inspeksi produksi yang cepat dan menyeluruh dengan adanya predictive intelligence. Selain itu, keamanan dari tempat kerja akan jauh meningkat dengan bantuan teknologi drones (untuk melakukan pemetaan wilayah) ataupun internet of things.
Kedua, lapisan aplikasi di mana inovasi akan semakin pesat seiring perkembangan jaringan 5G. Perkembangan teknologi finansial akan menjadi mesin pendorong perkembangan pesat ini. Berdasarkan riset Bain & Company dan Facebook (2020), nilai transaksi digital payment di Asia Tenggara pada 2020 mencapai 620 miliar dollar AS, dan diperkirakan meningkat hingga 1.200 miliar dollar AS pada 2025.
Adaptasi pembayaran digital, seperti penggunaan e-wallet mengalami akselerasi tajam di era pandemi, di mana terjadi pergeseran dari pembayaran secara tunai menjadi digital. Riset oleh Kantar Research, menunjukkan di negara-negara di Asia Tenggara terjadi penurunan 37 persen transaksi tunai selama pandemi, sementara transaksi digital meningkat hingga 25 persen.
Integrasi layanan teknologi keuangan akan memegang peran penting. Integrasi layanan mulai marak dilakukan oleh berbagai perusahaan tekfin, di mana satu perusahaan memiliki layanan end to end. Contohnya GoTo Financial, yang telah mengintegrasikan multi layanan yaitu sistem pembayaran (Gopay), merchant (Moka), payment gateway (Midtrans), sehingga tak lagi dapat dianggap sebagai e-wallet saja. Bagi perusahaan, integrasi layanan ini diperlukan untuk mendorong efisiensi dan memperluas ekosistem keuangan, yang akhirnya memunculkan peluang monetasi pasar yang baru.
Kompas
Didie SW
Selain itu, semakin banyaknya inovasi tekfin, seperti PayLater yang dikeluarkan Traveloka, diharapkan dapat membuka akses masyarakat terhadap layanan keuangan yang selama ini tak terjangkau masyarakat. Batas ruang antara daring (online) dan luring (offline) akan semakin kabur, terutama dengan kian maraknya layanan online to offline (O2O). Kehadiran layanan O2O bisa mendorong UMKM bisa menikmati keunggulan ekonomi digital, di mana walau -pun tokonya tetap fisik (offline) berbagai transaksi maupun pembukuan perusahaan bisa dilakukan secara online.
Kehadiran layanan O2O bisa menurunkan biaya transaksi yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku UMKM. UMKM yang mengadopsi layanan digital (melalui GoTo Financial) mengalami kenaikan omzet 37 persen atau setara Rp 53 triliun (LD-UI, 2021).
Ketiga, lapisan digitalisasi barang dan jasa. Kemajuan lapisan inti melalui teknologi 5G membuat kian banyak barang dan jasa yang dapat didigitalisasi. Contohnya, PWC (2020) memperkirakan adanya teknologi 5G dapat menambah nilai sektor jasa kesehatan hingga 2030 hingga 530 miliar dollar AS.
Teknologi 5G membuka gerbang tidak hanya untuk terciptanya berbagai layanan baru untuk bidang kesehatan, tetapi juga mengoptimalkan berbagai proses layanan yang telah ada. Komunikasi real time antara pasien-dokter, semakin efektifnya telemedicine, operasi jarak jauh, hingga transportasi obat adalah salah bentuk implementasi dari teknologi 5G untuk layanan kesehatan. Semakin baiknya komunikasi dokter-pasien mendorong efisiensi pelayanan, menghasilkan outcome kesehatan lebih tinggi, hingga akhirnya bisa menurunkan waktu rawat yang dibutuhkan.
Masa di mana digitalisasi dipandang sebagai sekadar disrupsi telah lewat.
Lebih lanjut, kehadiran teknologi 5G juga meningkatkan kesejahteraan (well-being) konsumen. Seperti untuk sektor transportasi, yang dapat menghadirkan mobil otonom, hingga teknologi yang dapat memantau perawatan kendaraan secara real-time.
Lebih lanjut, teknologi ini dapat menghadirkan pengalaman belanja ritel yang lebih personal, mempermudah konsumen menemukan barang sesuai kebutuhan (menurunkan biaya pencarian), hingga meningkatkan kemudahan belanja jarak jauh. Teknologi augmented reality ke depannya berpotensi membuat konsumen bisa mencoba pakaian secara virtual.
Digitalisasi menjadi solusi
Masa di mana digitalisasi dipandang sebagai sekadar disrupsi telah lewat. Saat ini, digitalisasi menjadi solusi, tak hanya bagi perusahaan untuk melakukan efisiensi, tetapi juga masyarakat secara umum. Pada 2022, ekosistem ekonomi digital akan terus melahirkan inovasi yang diharapkan dapat menjadi solusi bagi berbagai problematika publik. Salah satunya adalah inklusi keuangan.
Selama delapan tahun terakhir, Indonesia memang mengalami perkembangan pesat dalam hal inklusi keuangan, dari 20 persen (2011) menjadi 49 persen (2017), tetapi sektor keuangan masih bergantung pada perbankan. Sebanyak 79 persen jasa keuangan Indonesia didominasi perbankan, di mana bentuk lembaga finansial lain masih sangat jarang. Berdasarkan Survei Inklusi Keuangan 2020, baru 61,7 persen orang dewasa memiliki akun bank.
Munculnya berbagai bank digital, seperti bank Jago, Jenius, Blu dan lainnya dapat menjadi tonggak baru dalam penciptaan inklusi keuangan di Indonesia.
Kehadiran bank digital ini, terutama dengan kian maraknya integrasi teknologi finansial, bisa membuka akses masyarakat terhadap layanan keuangan.
Contohnya yang dilakukan Bank Jago dan Go Pay, di mana masyarakat dapat membuka rekening melalui aplikasi GoPay. Ini menyebabkan penetrasi internet semakin tinggi, diikuti adaptasi masyarakat terhadap teknologi, dan tingginya kepemilikan ponsel pintar, membuat akses layanan keuangan secara digital dapat menjadi solusi ke depannya.
Tentu, ini agar ekonomi digital dapat terus menjadi solusi kebijakan yang tepat. Ketika kebijakan tidak tepat, maka berpotensi terjadi mismatch, kebijakan akan sulit dijalankan oleh pelaku usaha atau meningkatkan compliance cost, yang pada akhirnya dapat mengurangi potensi dari ekonomi digital. Untuk merancang kebijakan yang tepat, ada dua hal yang harus menjadi perhatian.
Pertama, perlunya menghindari pola kebijakan “one size fits all”. Pada dasarnya ekonomi digital terdiri dari berbagai model bisnis, yang menjalankan fungsi ekonomi yang berbeda, sehingga kebijakan yang dibuat perlu memerhatikan keragaman model bisnis ini.
Terdapat ribuan perusahaan bergerak di ekonomi digital di Indonesia, sebagian besar masih berskala relatif kecil.
Kedua, kebijakan perlu memerhatikan kapasitas dari pelaku ekonomi digital. Terdapat ribuan perusahaan bergerak di ekonomi digital di Indonesia, sebagian besar masih berskala relatif kecil. Berdasarkan analisis Bekraf (2018), sebagian besar perusahaan rintisan digital Indonesia (85 persen) memiliki modal awal di bawah Rp 100 juta. Artinya, mereka masih sangat sensitif dengan perubahan struktur biaya.
HTTP://ISD-INDONESIA.ORG
Muhammad Syarif Hidayatullah (Sumber foto: http://isd-indonesia.org)
Kebijakan yang terlalu kaku (rigid), berpotensi meningkatkan biaya kepatuhan yang akan memberatkan struktur keuangan perusahaan baru tersebut.
Muhammad Syarif HidayatullahPeneliti Wiratama Institute, Analis Kebiakan Indonesia Services Dialogue