Problematika Pilkada pada November 2024
Pilkada serentak 2024 pada November 2024, menyimpan sejumlah masalah yuridis dan administrasi yang sangat serius, terutama karena akan menimbulkan kekosongan jabatan kepala daerah pada saat yang sama.

Supriyanto
Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak pada 2024 adalah amanah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pasal 201 Ayat (8) UU tersebut menegaskan, ”Pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024”.
Dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi II DPR, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyampaikan desain pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024. KPU mengusulkan hari pemungutan suara Pilkada 2024 pada 27 November 2024. Beberapa waktu setelah itu, pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri menyampaikan usulan hari pemungutan suara yang sama dengan KPU di Komisi II DPR.

Baca Berita Seputar Pilkada 2024
Terkait hal ini, tak ada perbedaan usulan antara KPU dan pemerintah. Berbeda dengan soal hari pemungutan suara Pemilu 2024 yang belum ada titik temu di antara keduanya (Kompas, 6/12/2021).
Baca juga: Problematika Pemilu Serentak 2024
Sejumlah masalah
Secara historis, terbitnya UU Nomor 10 Tahun 2016 perihal pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 adalah kehendak pembentuk UU untuk menyederhanakan sistem kepemiluan kita, terutama pilkada. Kehendak itu lahir ketika diterbitkan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Dalam ketentuan itu, dibuat beberapa gelombang pelaksanaan pilkada untuk mengonsolidasikan beberapa pilkada yang sebelumnya kita laksanakan secara tercerai berai mengikuti habisnya periodesasi kepala daerah di masing-masing tempat. Kala itu, kita menggelar pilkada seolah hanya berjangka hari antara satu provinsi dan kabupaten/kota. Gelombang pelaksanaan pilkada itu dimulai sejak tahun 2015, 2017, 2018, 2020, hingga mencapai keserentakannya secara nasional pada 2024 sebagaimana ketentuan dalam UU Nomor 10 Tahun 2016.
Walaupun demikian, ketentuan Pasal 201 Ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016 yang menegaskan pemungutan suara pilkada serentak 2024 pada November 2024 menyimpan sejumlah masalah yuridis dan administrasi yang sangat serius. Pertama, hari pemungutan suara pada 27 November 2024 sebagaimana usulan KPU dan pemerintah mengandung konsekuensi penetapan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih oleh KPU di masing-masing wilayah baru terlaksana secepat-cepatnya pada Desember 2024.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2FF35C1174-30D1-40AB-8883-F35CBE444AEB_1630909446.jpeg)
Staf Ahli Bidang Pemerintahan Kementerian Dalam negeri Suhajar Diantoro (kedua dari kanan) memberikan salam kepada anggota Komisi II DPR saat rapat kerja membahas persiapan Pemilu dan Pilkada 2024 di Kompleks Senayan, Jakarta, Senin (6/9/2021).
Dengan siklus seperti ini, pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih baru bisa digelar secepat-cepatnya pada Januari 2025. Ini belum lagi, jika terjadi sengketa, baik administrasi, pidana, maupun perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK), maka jeda waktu yang dibutuhkan akan tambah panjang, sekaligus penuh ketidakpastian.
Di pihak yang lain, nomenklatur surat keputusan pengangkatan kepala daerah dan wakil kepala Daerah hasil Pilkada 2020 menegaskan masa jabatannya dalam periode 2021-2024. Secara normatif, jabatan itu selambat-lambatnya berakhir 31 Desember 2024. Kemungkinan pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah pilkada serentak 2024 pada 2025 akan menimbulkan kekosongan jabatan di seluruh provinsi dan kabupaten/kota.
Kemungkinan pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah pilkada serentak 2024 pada 2025 akan menimbulkan kekosongan jabatan di seluruh provinsi dan kabupaten/kota.
Kedua, jika pemerintah berinisiatif mengisi kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada 31 Desember 2024 dengan sejumlah penjabat kepala daerah hingga masa pelantikan, maka pemerintah harus menyiapkan 270 penjabat kepala daerah yang masa jabatannya habis pada 2024 itu.
Pada pihak lain, seluruh provinsi dan kabupaten/kota akan diisi penjabat kepala daerah pada masa itu. Sebab, daerah yang masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerahnya berakhir pada 2022 dan 2023 telah diisi oleh penjabat kepala daerah terlebih dahulu hingga memiliki kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif hasil pilkada serentak 2024.
Baca juga: Transparansi Penunjukan Penjabat Kepala Daerah
Pengisian penjabat kepala daerah di 542 daerah otonom itu bukan pekerjaan mudah bagi pemerintah. Ini akan menyedot energi sejumlah pejabat eselon I dan II di pemerintahan untuk melaksanakan tugas ganda, sebagai pejabat definitif di kementerian/lembaga tempat mereka bernaung, sekaligus sebagai penjabat kepala daerah.
Hal ini juga akan mengganggu siklus periodesasi lima tahunan kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pilkada serentak 2024. Jika pelantikan mereka baru digelar 2025 sementara mereka seharusnya memerintah untuk periode 2024-2029, ini akan menghadirkan kekacauan hukum dan administrasi pemerintahan, serta ketidakpastian periodesasi masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Lebih jauh, ini akan mengganggu niat awal pilkada serentak 2024 yang akan secara periodik dilaksanakan kembali pada 2029, 2034, 2039, dan seterusnya.
Ketiga, pilkada serentak pada November 2024 adalah pekerjaan rumah presiden dan wakil presiden baru hasil Pilpres 2024. Pelantikan presiden dan wapres akan digelar pada 20 Oktober 2024 disusul pembentukan kabinet. Hajatan pilkada serentak 2024 membuat pemerintahan presiden dan kabinet yang baru terbentuk pada tahun itu langsung menghadapi tugas berat pelaksanaan tahapan paling kritis dalam Pilkada 2024, yaitu pemungutan dan penghitungan suara, termasuk potensi sengketa hasil pilkada dan berbagai konflik pascatahapan itu.
Pilkada serentak pada November 2024 adalah pekerjaan rumah presiden dan wakil presiden baru hasil Pilpres 2024.
Pemungutan suara Pilkada 2024 di masa transisi pemerintahan sebaiknya dihindari agar ada kesinambungan kinerja antara era pemerintahan Presiden Jokowi yang merencanakan dan mengawal berbagai tahapan Pilkada 2024 dengan pelaksanaan pemungutan dan perhitungan suara, termasuk dinamika penanganan sengketa dan berbagai potensi konfliknya tersebut. Walaupun, waktu pelantikan para kepala daerah tersebut dilaksanakan oleh pemerintahan yang baru, tetapi tetap pada tahun 2024. Ini juga sekaligus dapat menjadi legacy Presiden Jokowi dan pemerintahannya.
Perppu dan kodifikasi hukum acara pemilu
Atas sejumlah masalah itu, presiden perlu mempertimbangkan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) perihal jadwal pemungutan suara pilkada serentak 2024 itu. Perppu menjadi solusi yuridis ketatanegaraan di tengah telah disepakatinya ketiadaan perubahan atas UU Pemilu, baik UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan maupun UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu sendiri oleh pemerintah dan DPR.
Tentu saja, isi dari Perppu tentang Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 itu tak sekadar soal jadwal pemungutan suara Pilkada 2024 yang mengandung sejumlah masalah di atas. Perppu itu tetapi juga harus mengisi berbagai kekosongan hukum, pertentangan norma di dalam UU Pemilu itu sendiri dan berbagai ketentuan lain untuk menghadirkan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 yang lebih ideal.
Baca juga: TNI-Polri dan Rencana Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah
Pemungutan suara Pilkada 2024 idealnya dilaksanakan sebelum November 2024 dengan mempertimbangan sejumlah masalah di atas dan jeda waktu yang cukup antara pelaksanaan Pileg 2024 yang diusulkan KPU pada 21 Pebruari 2024. Hasil pileg harus memiliki kepastian hukum agar dapat dijadikan syarat pendaftaran calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dari jalur partai politik.
Selain itu, waktu yang ideal harus mempertimbangkan waktu penghitungan suara hingga penetapan calon terpilih, serta penanganan sengketa pilkada yang cepat dan berkepastian agar pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih dapat dilaksanakan pada 31 Desember 2024 sebagaimana akhir masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil Pilkada 2020, sekaligus memastikan periodesasi 2024-2029 dapat dipenuhi.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2022%2F01%2Fe0c7134a-ddfb-4732-8002-e3a9e44f7faf_jpg.jpg)
Materi yang dipresentasikan Komisioner KPU saat Sosialisasi Pemanfaatan Teknologi Informasi pada Pemilu Tahun 2024 di Gedung KPU, Jakarta, Kamis (13/1/2022). Kegiatan ini dihadiri perwakilan partai politik, Bawaslu, dan DKPP yang hadir secara daring dan luring.
Di pihak lain, diperlukan kodifikasi hukum acara pemilu yang menghadirkan ketentuan formil terkait berbagai sengketa kepemiluan (baca: pemilu dan pemilihan), baik administrasi, pidana, PHPU di MK, bahkan penegakan kode etik di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Selama ini, prosedur dan waktu penyelesaian sengketa kepemiluan kerap menyandera kepastian hukum hasil pemilu itu sendiri karena dilakukan dalam tempo yang cukup lama.
Dalam Pilkada 2020, misalnya, MK berulang kali memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di beberapa daerah. Putusan MK atas nama keadilan ini wajib diikuti sebagaimana amanah konstitusi, tetapi pada pihak lain kepastian hukum hasil pemilu juga harus dipertimbangkan. Semakin berlarut-larutnya penanganan sengketa pemilu, termasuk pilkada di dalamnya, mengakibatnya semakin terus berkurangnya hak konstitusional warga negara untuk menduduki jabatan politik tertentu yang sifatnya periodik selama lima tahun.
Baca juga: Kewenangan Cukup Kuat, Pekerjaan Rumah Bawaslu Tinggal Komisioner Berintegritas dan Kompeten
Alasan lain perlunya kodifikasi hukum acara pemilu itu untuk menghindari tumpang tindih penanganan sengketa antarinstitusi. Misalnya pada obyek yang sama, pelanggaran pemilu dapat dilaporkan ke Bawaslu, tetapi pada pihak lain, ia juga menjadi sengketa PHPU di MK.

Rifqinizamy Karsayuda
Dalam kasus Pilkada Kota Bandar Lampung 2020, Bawaslu sempat mendiskualifikasi calon wali kota dan wakil wali kota yang unggul pada rekapitulasi suara, walau belakangan di anulir oleh Mahkamah Agung. Pada pihak lain, perkara yang sama bergulir di MK. Bisa dibayangkan, jika obyek sengketa yang sama menghasilkan dua putusan hukum yang berbeda antara Bawaslu dan MK misalnya, maka pasti akan menghadirkan kekacauan, sekaligus ketidakpastian hukum.
Rifqinizamy Karsayuda, Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PDI-P, Dewan Pakar DPN Peradi