Drama kebijakan larangan ekspor batubara pada awal tahun ini kembali menjadi pertanda bahwa para pengambil kebijakan energi di negeri ini masih terlelap dalam dekapan industri batubara.
Oleh
FIRDAUS CAHYADI
·4 menit baca
Kompas
Didie SW
Tahun 2022 dibuka dengan sebuah drama kebijakan di sektor energi. Pada awal Januari 2022, Pemerintah Indonesia resmi melarang semua perusahaan batubara melakukan ekspor mulai 1 Januari 2022. Alasan formalnya dikaitkan dengan kekhawatiran tentang rendahnya pasokan batubara untuk pembangkit listrik tenaga uap di dalam negeri.
Berdasarkan surat yang ditandatangani Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin, larangan ekspor batubara ini berlaku hingga 31 Januari 2022. Baru berjalan beberapa hari, tiba-tiba pemerintah kembali mengizinkan kegiatan ekspor batubara secara bertahap.
Drama kebijakan batubara ini menimbulkan tanda tanya bagi publik, kepentingan siapa yang sejatinya sedang dilindungi? Kepentingan segelintir elite yang kebetulan memiliki tambang batubara atau justru kepentingan publik? Entahlah.
Ada baiknya kita telisik pergerakan harga batubara pada akhir 2021. Harga batubara anjlok pada akhir 2021. Kementerian ESDM menetapkan harga batubara acuan (HBA) pada Desember 2021 sebesar 159,79 dollar AS per ton. Angka HBA tersebut anjlok sekitar 26 persen atau 55,22 dollar AS per ton dibandingkan dengan HBA November 2021 yang mencapai 215,01 dollar AS per ton.
Kebijakan pelarangan ekspor batubara oleh Pemerintah Indonesia sejak 1 Januari 2022 itu berimbas pada harga batubara yang kembali naik di pasar global, kini berada di level 196,5 dollar AS per metrik ton.
Siapa yang diuntungkan dengan kembali naiknya harga batubara itu, segelintir pemilik modal di sektor batubara atau mayoritas masyarakat? Tidak perlu menjadi seorang sarjana ekonomi atau teknik pertambangan untuk menjawab pertanyaan itu.
Drama kebijakan batubara pada awal tahun ini memberikan sinyal bahwa para pengambil kebijakan energi di negeri ini masih menggunakan paradigma usang, yaitu menjadikan energi fosil sebagai tulang punggung ketahanan energi. Padahal, kebijakan larangan ekspor batubara pada awal 2022 itu sebenarnya bisa menjadi langkah awal untuk transisi energi. Meninggalkan batubara dan beralih ke energi terbarukan.
Kutukan batubara
Daya rusak batubara bagi alam bukan sebuah rahasia lagi. Batubara adalah energi fosil yang berkontribusi besar bagi emisi gas rumah kaca (GRK), penyebab krisis iklim. Pembakaran batubara bertanggung jawab atas 46 persen emisi GRK di seluruh dunia. Batubara juga menyumbang 72 persen dari total emisi GRK dari sektor ketenagalistrikan.
Krisis iklim ini bukan lagi isapan jempol. Krisis iklim ini akan menyebabkan berbagai bencana di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Banjir, tanah longsor, dan kekeringan adalah bencana yang makin sering kita jumpai akhir-akhir ini.
Hari-hari ke depan kita akan lebih sering lagi melihat bencana iklim ini, bukan tidak mungkin kita bagian dari korbannya. Bahkan, kota-kota di dunia, termasuk Jakarta, diperkirakan akan tenggelam akibat krisis iklim ini.
Tidak hanya menyebabkan krisis iklim, batubara juga berdampak buruk bagi kesehatan manusia. Dalam artikel The Harvard College Global Health Review (HCGHR), Dr Michael Hendryx, peneliti dari West Virginia University, mengungkapkan, orang-orang yang berada dekat pertambangan batubara memiliki risiko kematian lebih tinggi akibat penyakit jantung, pernapasan, dan ginjal kronis.
Dari sisi sosial, tambang batubara sering kali juga memicu konflik sosial. Tanah-tanah milik petani dan masyarakat adat tak jarang digusur untuk tambang batubara. Data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menunjukkan, sepanjang 2015 hingga 2020, terjadi 71 konflik pertambangan. Kasus terbanyak berkaitan dengan batubara, 23 konflik.
Berbagai penelitian ilmiah pun telah dipublikasikan terkait dampak buruk batubara, baik dari sisi kesehatan, lingkungan hidup, maupun sosial. Bukan hanya itu, publik pun sudah sering menyerukan agar pemerintah meninggalkan batubara dan beralih ke energi terbarukan. Namun, semua itu seperti angin lalu bagi para pengambil kebijakan di negeri ini.
Kini Indonesia tidak hanya sedang kecanduan akut, tetapi juga sudah terjebak pada kutukan batubara. Bagaimana tidak, sudah sering batubara mendapat perlakuan istimewa di negeri ini.
Pada Februari 2021, misalnya, pemerintah mengeluarkan fly ash dan bottom ash dari kategori limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Padahal, Energy Information Administration AS saja telah melarang fly ash, limbah debu batubara dari pertambangan batubara.
Proyek-proyek energi kotor batubara juga mendapat dukungan pendanaan dari bank-bank BUMN. Bank Mandiri, BNI, dan beberapa bank BUMN lain tercatat masih mendanai proyek energi yang menyebabkan krisis iklim itu. Padahal, bank-bank BUMN, seperti BNI, dalam publikasinya mengaku akan menjadi green banking, yang mendukung pengurangan emisi GRK penyebab krisis iklim. Berbeda antara klaim dan realitas.
Drama kebijakan larangan ekspor batubara pada awal tahun ini kembali menjadi pertanda bahwa para pengambil kebijakan energi di negeri ini masih terlelap dalam dekapan industri batubara. Momentum transisi energi pun terlewat begitu saja.
Pada saat para pengambil kebijakan energi di negeri ini masih terlelap, publik harus siap siaga menghadapi berbagai bencana iklim yang mengancam keselamatan jiwanya. Tidak adil, tapi itulah kenyataannya.
Firdaus Cahyadi,Executive Director OneWorld-Indonesia