Sikap Jaksa Agung RI yang menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM atas dugaan peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di Paniai, Provinsi Papua, pada tahun 2014 patut diapresiasi. Namun perlu catatan kritis.
Oleh
MUNAFRIZAL MANAN
·5 menit baca
Kompas
Didie SW
Sikap resmi Jaksa Agung RI yang menindaklanjuti hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM atas dugaan peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di Paniai, Provinsi Papua, pada tahun 2014 patut diapresiasi.
Pada 3 Desember 2021, Jaksa Agung membentuk tim penyidik berdasarkan Keputusan Jaksa Agung No 267 Tahun 2021 dan mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print-79/A/JA/12/2021. Tampak ada secercah harapan menegakkan keadilan atas kasus ini. Namun, tetap perlu catatan kritis dan proporsional.
Kecukupan alat bukti
Pada tanggal yang sama, Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung merilis siaran pers. Dalam siaran pers ini disampaikan bahwa pertimbangan dikeluarkannya keputusan dan surat perintah Jaksa Agung itu adalah karena ”ternyata belum terpenuhi adanya alat bukti yang cukup” dan ”dalam rangka mencari dan mengumpulkan alat bukti”.
Ada dua makna terkandung dalam konstatir di atas.
Pertama, Jaksa Agung memulai penyidikan (umum) dengan bertitik tolak bahwa hasil penyelidikan Komnas HAM atas kasus Paniai belum memenuhi alat bukti yang cukup. Dengan demikian, kerja intensif penyelidikan Komnas HAM yang telah mencari keterangan dan barang bukti selama ini tidak dikualifikasi sudah memenuhi alat bukti yang cukup.
Tampak ada secercah harapan menegakkan keadilan atas kasus ini.
Artinya, penyidikan (umum) oleh Kejaksaan Agung tanpa didahului pernyataan resmi penyidik bahwa hasil penyelidikan Komnas HAM diterima dan dinyatakan lengkap (vide, Pasal 22 UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Kedua, karena hasil penyelidikan Komnas HAM atas kasus Paniai dinilai belum memenuhi alat bukti yang cukup, maka yang menjadi fokus penyidikan (umum) oleh Tim Penyidik Kejaksaan Agung adalah mencari dan mengumpulkan alat bukti.
Fokus kerja penyidikan (umum) ini dapat dipahami karena memang ruang lingkup penyidikan adalah untuk mencari dan mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan kemudian menemukan tersangkanya (vide, Pasal 1 angka 3 UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Karena itu, Kejaksaan Agung perlu diberi kesempatan bekerja sungguh-sungguh untuk menyelesaikan penyidikan (umum).
Hasil penyelidikan Komnas HAM, baik berbasis UU No 39 Tahun 1999 maupun UU No 26 Tahun 2000, telah cukup membuka jalan bagi kerja penyidikan (umum) Kejaksaan Agung saat ini. Hasil penyelidikan telah mengidentifikasi jelas waktu peristiwa (tempus delicti), tempat peristiwa (locus delicti), para korban, saksi, terduga pelaku.
Konstruksi peristiwa dalam hasil penyelidikan pun disertai bukti-bukti yang telah bisa diperoleh. Dengan lingkup kewenangan lebih kuat daripada penyelidikan dan peristiwa terjadi ”baru” tujuh tahun lalu, penyidikan (umum) oleh Kejaksaan Agung diyakini mampu membuat terang dugaan pelanggaran HAM berat kasus Paniai.
Menurut ketentuan Pasal 22 UU No 26 Tahun 2000, penyidikan wajib diselesaikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap. Jangka waktu ini dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai daerah hukumnya. Ini masih dapat diberikan perpanjangan waktu paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM. Total jangka waktu penyidikan (umum) dengan perpanjangan waktu 240 hari.
DIDIE SW
Didie SW
Masalahnya, jangka waktu penyidikan (umum) dihitung sejak kapan? Penyidikan (umum) oleh tim Kejaksaan Agung tak didahului pernyataan resmi bahwa hasil penyelidikan Komnas HAM diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Oleh karena itu, dasar dimulainya penghitungan jangka waktu penyidikan (umum) tidak mengacu kondisi tersebut.
Dengan demikian, secara logis jangka waktu penyidikan (umum) dimulai dari keluarnya surat perintah penyidikan dari Jaksa Agung tanggal 3 Desember 2021. Inilah pengacuan waktu yang tersedia.
Tiga kemungkinan
Pertanyaan krusial kemudian adalah apa hasil akhir dari penyidikan (umum) Kejaksaan Agung nanti? Ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi.
Pertama, Tim Penyidik Kejaksaan Agung berhasil memperoleh bukti yang cukup seperti yang dimaksudkannya dan kemudian meningkatkan ke tahap penuntutan serta melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan HAM agar memeriksa, mengadili, dan memutus. Ini diharapkan dapat memfasilitasi pengungkapan kebenaran serta upaya penegakan keadilan.
Kedua, Tim Penyidik Kejaksaan Agung tidak berhasil memperoleh bukti yang cukup dan karena itu Jaksa Agung kemudian mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Ini tentu akan mengecewakan rasa keadilan para korban dan keluarganya meski Jaksa Agung menurut hukum sebetulnya berwenang melakukan itu (vide, Pasal 22 Ayat 4 UU No 26 Tahun 2000).
Pertanyaan krusial kemudian adalah apa hasil akhir dari penyidikan (umum) Kejaksaan Agung nanti?
Ketiga, Tim Penyidik Kejaksaan Agung tak berhasil memperoleh bukti yang cukup dan karena itu tidak meningkatkannya ke tahap penuntutan dan juga tak mengeluarkan SP3. Ini dapat menimbulkan kembali ketidakpastian hukum penyelesaian kasus dugaan peristiwa pelanggaran HAM yang berat.
Keempat, Jaksa Agung mengembalikan lagi kasus ini ke Komnas HAM agar melengkapi petunjuk yang sudah pernah disampaikan Jaksa Agung. Ini bisa menimbulkan kompleksitas hukum lain dalam hubungan antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Di samping itu, tak lazim suatu kasus yang sudah dinaikkan ke tahap penyidikan kemudian diturunkan kembali ke tahap penyelidikan.
Proses dan hasil penyidikan (umum) oleh Tim Penyidik Kejaksaan Agung akan beririsan dengan kewenangan Pengadilan HAM. Dalam hal penyidikan (umum) memerlukan perpanjangan waktu, itu hanya dapat dilakukan oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya (vide, Pasal 22 UU No 26 Tahun 2000).
Sekiranya kasus Paniai ditingkatkan ke tahapan penuntutan dan pelimpahan berkas perkara ke pengadilan, proses litigasinya akan dilakukan di Pengadilan HAM. Apabila Jaksa Agung mengeluarkan SP3 atas kasus ini, tetapi korban atau keluarganya tidak dapat menerima SP3 itu, mereka berhak mengajukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM (vide, Pasal 22 UU No 26 Tahun 2000).
Oleh karena itu, perlu dipastikan kesiapan penuh Pengadilan HAM. Pengadilan HAM ”menganggur” (idle) sejak 2004 setelah selesai memutus perkara dugaan pelanggaran HAM berat kasus Abepura, Papua.
KANWIL KUMHAM JAWA BARAT
Munafrizal Manan
Kita tidak tahu pasti kondisi riil Pengadilan HAM saat ini. Untuk itu, Jaksa Agung sebaiknya segera berkomunikasi dan berkoordinasi dengan Mahkamah Agung RI guna memastikan kesiapan Pengadilan HAM. Kesungguhan melakukan penyidikan (umum) sebagai rute menegakkan keadilan untuk Paniai harus pula memperhatikan secara saksama aspek proses dan hasilnya.
Munafrizal Manan,Wakil Ketua Komnas HAM RI; Alumnus International Human Rights Law and Criminal Justice Universiteit Utrecht