Jatuh-Bangun Penerbangan Komersial
Tajamnya persaingan mengakibatkan perusahaan penerbangan berguguran pada periode 2003-2014. Tak kurang dari 11 maskapai gulung tikar karena kalah bersaing. Perlu strategi baru agar industri penerbangan lebih sehat.

Didie SW
Tajamnya persaingan mengakibatkan perusahaan penerbangan berguguran pada periode 2003-2014. Tak kurang dari 11 maskapai gulung tikar karena kalah bersaing.
Kesebelas perusahaan penerbangan itu sebagian besar didirikan setelah deregulasi penerbangan komersial di Indonesia diberlakukan, yaitu sejak dibukanya pintu perizinan pendirian perusahaan penerbangan yang lebih mudah bagi investor pada tahun 2000.
Sebut saja, mulai dari Indonesian Airlines yang pertama tutup tahun 2003, disusul Linus Air tahun 2004, Bouraq, Bali Air, Star Air tahun 2005, kemudian Bayu Air tahun 2006, Jatayu Air tahun 2007, Adam Air tahun 2008, Batavia Air tahun 2013, dan puncaknya adalah meredupnya dua pelopor penerbangan komersial di Tanah Air, yaitu Merpati Nusantara dan Mandala pada 2014.
Pada awal Republik Indonesia berdiri, Garuda Indonesia adalah satu-satunya penerbangan komersial di Indonesia. Kemudian, tahun 1962, pemerintah mendirikan Merpati Nusantara. Tugas awal maskapai ini adalah melakukan penerbangan perintis dengan menggunakan pesawat kecil untuk menghubungkan kawasan terpencil di Nusantara.
Pada awal Republik Indonesia berdiri, Garuda Indonesia adalah satu-satunya penerbangan komersial di Indonesia.
Pada 1969, penerbangan swasta pertama di Indonesia mulai berdiri, yaitu Mandala Airlines. Setahun kemudian menyusul Bouraq (1970). Dua perusahaan penerbangan swasta ini secara langsung bersaing dengan dua perusahaan penerbangan BUMN sejak awal tahun 1970-an sampai akhir 1990-an. Pada periode menjelang akhir 1990-an, tepatnya pada tahun 1996-1998, langit Indonesia pernah disemarakkan oleh kehadiran Sempati Air.
Sempati Air, yang semula bernama Sempati Air Transport, sejatinya didirikan pada tahun 1968 sebagai pesawat angkutan antarpulau bagi karyawan, lalu pada 1996 diubah menjadi penerbangan komersial yang melayani rute padat domestik dan rute internasional ke Singapura, Kuala Lumpur, dan Manila. Maskapai ini menggunakan pesawat andalannya, Fokker F-100 dan Airbus A300B4. Namun, usia Sempati amat singkat.
Diterapkannya deregulasi penerbangan adalah dalam rangka mengantisipasi perkembangan penerbangan di dunia serta sebagai konsekuensi atas disepakatinya berbagai komitmen Indonesia dalam kerja sama bilateral ataupun multilateral, seperti ASEAN, AFTA, dan WTO.
Baca juga : Menjawab Tantangan Bisnis Penerbangan
Butir terpenting deregulasi ini tertuang dalam Bab III Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 11 Tahun 2001, yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara.
Bab III ini memuat aturan Perizinan Angkutan Udara, berisi syarat dan ketentuan bagi badan usaha, apakah BUMN, BUMD, swasta, ataupun koperasi. Salah satu yang paling menarik adalah syarat jumlah pesawat udara yang akan dioperasikan untuk angkutan udara sekurang-kurangnya dua pesawat udara registrasi Indonesia yang dapat saling mendukung dalam pengoperasiannya.
Syarat seperti itu menarik bagi banyak pihak untuk mengajukan diri sebagai operator penerbangan komersial di Indonesia. Di sisi lain, kejadian penyerangan dua gedung World Trade Center di New York, AS, pada 11 September 2001 mengakibatkan banyak pesawat menganggur karena masyarakat AS, khususnya, trauma dan enggan bepergian dengan pesawat. Akibatnya, harga sewa pesawat menjadi murah.

Didie SW
Namun, dari sekian banyak yang mengajukan, akhirnya banyak yang berguguran dan hanya beberapa yang bertahan sampai sekarang, yakni Lion Group, Sriwijaya Group, dan Air Asia. Kini, pada masa pandemi Covid-19, selain tiga grup perusahaan penerbangan di atas, adalah Garuda Indonesia Group yang masih bertahan dan berjalan walau tertatih-tatih.
Pertempuran di langit merah
Yang menarik untuk dianalisis dari sekian perusahaan penerbangan yang tutup adalah penerbangan yang bermain pada trunk route atau rute gemuk. Sementara perusahaan penerbangan yang bermain di rute regional (regional route) hampir tidak pernah kita dengar mereka tutup lalu bangkrut.
Rute gemuk, yang kebanyakan berasal dari origin station Jakarta dan menyinggahi kota-kota besar di Indonesia, pasarnya memang besar. Namun, karena pemainnya banyak dengan frekuensi yang banyak pula, terjadi persaingan samudra merah (red ocean ) atau karena ini di industri penerbangan akan lebih tepat disebut sebagai persaingan di langit merah (red sky). Inilah masalah utama bermain di langit merah, sarat dengan persaingan keras.
Inilah masalah utama bermain di langit merah, sarat dengan persaingan keras.
Persaingan dimulai dari perebutan time slot, siapa yang mendapat jadwal terbang paling pagi atau pada prime time, yaitu waktu yang paling diminati pelanggan. Persaingan time slot ini akan dimenangi oleh perusahaan penerbangan yang memiliki pesawat banyak karena akan dengan mudah menempatkan pesawat di tempat asal penerbangan (origin) dan di tujuan (destination) serta membuat frekuensi penerbangan secara optimal sehingga tidak memberi celah kepada pesaing yang lemah akibat keterbatasn jumlah armada pesawat.
Sejak pagi hari waktu subuh, bahkan sebelumnya, semua bandara besar di dunia sudah mulai sibuk. Banyak penumpang dari kalangan pengusaha mengejar penerbangan pertama agar tiba di kota tujuan juga pada pagi untuk mengejar pertemuan dengan relasi lebih awal dan dapat makan siang bersama.
Oleh karena banyak peminatnya, semua perusahaan penerbangan mengajukan jadwal terbang pagi hari. Karena itu, kita sering menyaksikan antrean pesawat untuk lepas landas berbaris panjang antara pukul 06.00 dan pukul 08.00, setelah itu antrean berkurang dan akan penuh lagi pada siang atau sore hari, tetapi umumnya tidak lebih padat daripada waktu pagi.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F06%2Fdd80420c-5d28-40b1-b571-a476ca4eff13_jpg.jpg)
Pesawat terbang terparkir di depan Gedung GMF AeroAsia di Kompeks Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Senin (7/6/2021). Indonesia National Air Carriers Association (INACA) menyebutkan bahwa kinerja industri penerbangan dalam negeri merosot tajam pada 2020 dibandingkan tahun sebelumnya akibat pandemi Covid-19.
Setelah perebutan time slot, hal yang paling berbahaya dalam persaingan langit merah adalah persaingan harga. Perusahaan penerbangan berlomba-lomba membuat gimik harga murah agar diminati dan ternyata cara ini sangat ampuh dan menaikkan statistik angkutan udara. Namun, sebagian masyarakat mulai khawatir perang tarif ini akan membahayakan keselamatan penerbangan.
Karena itu, pemerintah kemudian turun tangan menertibkan perang harga dengan menerapkan tarif batas atas dan tarif batas bawah. Perusahaan penerbangan dilarang melanggar peraturan itu. Perusahaan yang melanggar dikenai sanksi pembekuan izin rute penerbangan selama satu minggu.
Dapat dikatakan bahwa secara umum perusahaan penerbangan yang mundur dari persaingan pada langit merah adalah karena kehabisan napas. Mereka kalah bersaing dalam supply product (jadwal, frekuensi, konfigurasi, dan jumlah armada pesawat), sementara biaya cenderung naik, sebab semakin tua pesawat akan semakin banyak biaya perawatan yang dibutuhkan. Di sisi lain, perang harga mengakibatkan penurunan pendapatan. Akibatnya rugi!
Baca juga : Mendamba Buku Putih Pemulihan Dunia Penerbangan Nasional
Karakteristik penerbangan itu terbang tinggi, berteknologi tinggi, berbiaya tinggi, berkeahlian tinggi, dipengaruhi situasi keadaan sosial politik dunia, seperti perang dan wabah penyakit. Sementara margin pendapatannya rendah dan karena itu berisiko tinggi.
Strategi langit biru
Sekarang kita bahas para pemain di rute regional, yang tampak ayem tentrem tanpa gejolak dan hampir tak terdengar ada masalah. Eksistensi mereka menandakan bahwa para pemain di rute ini sangat baik, menguntungkan!
Para pemain rute regional memiliki karakteristik, pertama, mereka fokus pada wilayah pemasaran yang terbatas, seperti kluster, misalnya penerbangan intra-Jawa, intra-Sumatera, intra-Kalimantan, intra-Sulawesi, intra-Papua.
Kedua, menggunakan pesawat turbo prop atau propeller (baling-baling) yang terkenal sebagai pesawat yang efisien.
Ketiga, adanya captive market, yaitu penumpang yang sudah terpola perjalanannya, baik penumpang corporate maupun penumpang perseorangan.
Keempat, mereka tidak berkompetisi dengan membanting harga. Mereka tetap menjaga imbal hasil (yield) penerbangannya.
Kelima, organisasi penerbangan regional sangat ramping, dengan birokrasi yang pendek, tidak banyak aturan dalam ticketing dan tidak perlu biaya sistem yang rumit.
Selain sebagai perusahaan penerbangan berjadwal, mereka juga menawarkan jasa penerbangan sewa (carter).
Ada satu hal lagi yang menarik dari penerbangan regional ini. Selain sebagai perusahaan penerbangan berjadwal, mereka juga menawarkan jasa penerbangan sewa (carter). Penerbangan carter sangat dibutuhkan oleh berbagai perusahaan off shore atau yang berada di pedalaman.
Para pemain rute regional ini antara lain adalah Susi Air, Trans Nusa, Xpress Air, Nam Air, dan Wings Air.
Sangat dipahami mengapa Lion Air membuat anak perusahaan Wings Air yang beroperasi pada rute regional. Wings menjadi pengumpan (feeder) bagi Lion dari beberapa kota kecil (spokes) ke kota besar (hub) dan sebaliknya sebagai konsep hub and spokes. Wings Air bermain di rute reguler dengan pesawat kecil bermesin propeller (baling-baling) buatan Avions de Transport Regional, yaitu ATR72 berkapasitas 72 tempat duduk yang efisien dan efektif.
Itulah sebabnya, para pemain di rute regional bisa bertahan karena mereka menempuh strategi langit biru (blue sky strategy). Istilah ini disesuaikan dengan kondisi persaingan udara karena istilah aslinya adalah blue ocean strategy.

Yona Mardiona
Strategi tersebut adalah suatu strategi yang dipopulerkan oleh W Chan Kim dan Renee Mauborgne dengan judul buku yang sama, mengurai persaingan menjadi persahabatan, menciptakan pasar baru, mengendalikan biaya yang rendah, serta tidak berkompetisi secara tajam, apalagi sampai perang harga.
Yona Mardiona, Praktisi dan Pemerhati Manajemen Penerbangan dan Pariwisata