Pelajaran dari Kasus GS Gilchalan
Indonesia belum mampu mengawasi kegiatan orang asing yang datang ke Indonesia secara keseluruhan, mengingat tenaga terbatas dan wilayah yang diawasi luas. Kebijakan yang diambil harus memperhatikan keamanan negara.
Investigasi Kompas mengenai operasi intelijen asing yang dituliskan mulai tanggal 9 sampai dengan 14 Desember 2021, kemudian ditulis dalam Tajuk Rencana tanggal 16 Desember 2021, sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut dan dikembangkan. Intinya, seorang warga negara Iran, Ghassem Saberi Gilchalan, sesuai data imigrasi telah masuk-keluar Indonesia sebanyak 30 kali selama tahun 2012-2021. Selain memakai paspor Iran, yang bersangkutan juga memakai paspor Bulgaria yang dipastikan palsu.
Dalam pengakuannya, termasuk dalam wawancara Kompas, Gilchalan mengaku bekerja untuk Pemerintah Iran. Misi utamanya, membebaskan tanker Iran, MT Horse, yang disita saat memindahkan muatan minyak ke tanker berbendera Panama.
Untuk masuk ke satu negara, seseorang di negara asal diharuskan minta izin dulu dari negara yang akan dituju melalui kedutaan besar atau konsulat jenderal negara tersebut di negara asal negara yang akan bepergian tinggal, yang disebut minta visa. Kecuali kalau ada perjanjian resiprokal atau timbal balik antarnegara, misalnya antara sesama negara ASEAN, mereka dibebaskan dari keharusan minta visa terlebih dahulu sebelum bepergian atau mengunjungi sesama negara ASEAN lainnya.
Baca juga : ”Seribu Jam” Berujung Surat Pengakuan Intelijen Asing
Sementara Indonesia, pemerintah mempunyai kebijakan memberikan bebas visa kunjungan kepada warga negara dari 169 negara secara sepihak dari 193 negara anggota PBB. Motivasinya untuk menggaet turis mancanegara datang ke Indonesia demi mendapatkan devisa tanpa memperhatikan harga diri sebagai bangsa ataupun keamanan negara.
Jadi, alasannya adalah faktor ekonomi tanpa memperhatikan dimensi kepentingan lain dalam hubungan antar negara. Ini menunjukkan pemangku kepentingan berjalan sendiri-sendiri, tidak ada koordinasi, walaupun ada menteri koordinator.
Secara normal, seseorang apabila akan berkunjung ke suatu negara harus minta visa terlebih dahulu kepada perwakilan negara dari negara yang akan dikunjungi. Berarti permohonan visa di sini merupakan permohonan izin untuk masuk ke suatu negara.
Bagi perwakilan asing yang dimintai visa, ini merupakan fase pertama untuk mendeteksi atau mengetahui siapa orang yang mau masuk ke negaranya sebagai tamu yang harus mematuhi peraturan yang ditetapkan, tidak boleh semaunya sendiri. Kalau visanya untuk mengunjungi Indonesia sebagai turis, ya tidak bisa untuk bekerja atau izin tinggal menetap.
Berarti ini merupakan tembok pengaman terdepan dari negara, walaupun tidak dapat menjamin siapa sebenarnya orang yang akan datang, terlebih kalau yang datang seorang intel karena dia tidak akan terbuka siapa sebenarnya dia. Tetapi, paling tidak kita telah mengetahui data awal mengenai seseorang yang akan datang di Indonesia.
Kalau kita teliti peraturan bebas visa kunjungan ke Indonesia, hal itu menunjukkan ketidakpekaan atau ketidakmengertian penyusun konsep peraturan tersebut atas prinsip kebijakan politik luar negeri.
Kalau kita teliti peraturan bebas visa kunjungan ke Indonesia, hal itu menunjukkan ketidakpekaan atau ketidakmengertian penyusun konsep peraturan tersebut atas prinsip kebijakan politik luar negeri, di mana terhadap suatu negara kita hanya mengenal satu pemerintahnya yang berdaulat atas seluruh wilayahnya dan tidak mencampuri urusan dalam negerinya.
Dalam rangka menarik kunjungan wisatawan asal Taiwan ke Indonesia, Taiwan diberikan fasilitas bebas visa kunjungan ke Indonesia. Demikian juga dengan China (Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 tanggal 18 Maret 2015 tentang Bebas Visa Kunjungan). Hong Kong (SAR) juga diberikan fasilitas kunjungan bebas visa (Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2016 tentang Bebas Visa Kunjungan pada tanggal 2 Maret 2016).
Jadi, satu negara diberikan tiga fasilitas bebas visa kunjungan untuk datang ke Indonesia. Dan itu merupakan pelanggaran terhadap prinsip kebijakan politik hanya mengakui kedaulatan satu China yang dianut Indonesia ataupun China sendiri. Masalahnya, apakah informasi tersebut sampai kepada presiden?
Sangat ketat
Bagaimana sikap negara lain terhadap Indonesia? Setelah beberapa negara diberikan fasilitas kunjungan bebas visa, Indonesia baru minta negara lain juga memberikan fasilitas yang sama terhadap WNI yang akan berkunjung ke negara tersebut, tetapi sejauh ini belum ada tanggapan alias tidak diberikan.
Bahkan, AS sangat ketat dalam memberikan visa kepada WNI yang akan berkunjung ke AS. Pengalaman penulis waktu bertugas di Belanda dalam liburan musim panas bermaksud berkunjung ke AS sebagai turis dan memberitahukan kepada Konsulat Jenderal AS di Amsterdam untuk minta visa.
Oleh pihak Konsulat Jenderal AS, penulis diminta datang untuk diwawancarai, tetapi penulis tolak. Walaupun waktu itu AS telah diberikan fasilitas visa on arrival (sekarang malah bebas visa), ternyata terhadap WNI—walaupun pemegang paspor diplomatik—tidak ada fasilitas sedikit pun, misalnya cukup dengan nota diplomatik dari kedutaan besar sebagaimana lazimnya.
Baca juga : Kebijakan Bebas Visa Kunjungan Wisman Akan Ditinjau Ulang
Di mana harga diri sebagai bangsa Indonesia? Misalnya sampai Presiden Joko Widodo pun minta Inggris memberikan bebas visa kunjungan ke Inggris bagi WNI dalam pertemuan dengan PM Inggris David Cameron di Jakarta pada 27 Juli 2015, yang tidak ada tanggapan sampai sekarang (Liputan6.com, 27/7/2015).
Banyaknya kasus penyalahgunaan penggunaan bebas visa kunjungan yang telah diberikan sebagai pekerja ilegal merupakan indikasi adanya bahaya yang mengancam Indonesia. Belum lagi mereka yang menggunakan bebas visa kunjungan dengan melakukan kegiatan jurnalistik, bisnis, mata-mata, dan sebagainya.
Banyaknya kasus penyalahgunaan penggunaan bebas visa kunjungan yang telah diberikan sebagai pekerja ilegal merupakan indikasi adanya bahaya yang mengancam Indonesia.
Pada waktu ada pilot Garuda yang ditangkap polisi Belanda karena akan menyelundupkan narkoba ke Indonesia tahun 1990-an dan tertangkap di Bandara Schiphol, Amsterdam, seorang wartawan Belanda datang ke Indonesia untuk mengetahui peredaran narkoba di Jakarta dan menulis laporan investigasinya di surat kabar dengan menggunakan fasilitas visa on arrival. Dalam catatan KBRI Den Haag tidak terdapat yang bersangkutan minta visa jurnalistik berkunjung ke Indonesia.
Indonesia tidak atau belum mampu mengawasi kegiatan orang asing yang datang ke Indonesia secara keseluruhan, mengingat tenaganya masih terbatas dan wilayah yang diawasi cukup luas. Di lain pihak, Indonesia mempunyai KBRI, KJRI, dan KRI di seluruh dunia yang mempunyai fungsi konsuler atau imigrasi untuk memberikan visa bagi orang asing yang akan berkunjung ke Indonesia dengan berbagai keperluan. Bahkan di sejumlah KBRI ada atase imigrasi yang siap memberikan visa yang diperlukan.
Jadi, alasan pemberian fasilitas visa kunjungan untuk menarik wisatawan asing berkunjung ke Indonesia kurang tepat. Diperlukan perubahan atau revolusi mental dalam rangka menarik wisatawan asing berkunjung ke Indonesia.
Ternyata operasi intel tidak hanya terbatas berkunjung ke satu negara, tetapi juga melalui beasiswa. Pernah ada dosen fakultas hukum universitas negeri yang mendapat beasiswa untuk mencapai gelar doktor di Universitas Leiden, tetapi yang bersangkutan menolak disertasi yang harus disusunnya sesuai arahan promotornya. Alasannya, menurut yang bersangkutan, dia juga harus mencari dokumen rahasia.
Demikian juga dengan Australia. Setelah bubarnya Uni Soviet tanggal 25 Desember 1991, yang dianggap berakhirnya perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur, dan terjadi kerusuhan di Timor Timur karena ingin merdeka dari Indonesia, Australia yang semula mendukung Timor Timur bergabung dengan Indonesia berubah mendukung Timor Timur merdeka, lepas dari Indonesia. Bagi Australia, lebih baik Timor Timur merdeka sehingga apabila ada perundingan mengenai kekayaan alamnya akan lebih mudah dibandingkan kalau berunding dengan Indonesia.
Baca juga : Pelajaran dari Timor Timur
Ternyata dalam memberikan beasiswa kepada mahasiswa Indonesia dalam program doktor untuk kuliah di Australian National University, tesis mereka selalu mengenai topik-topik yang rawan di Indonesia pada waktu itu, seperti Aceh dan Timor Timur. Bagi mahasiswa Indonesia, akan lebih mudah mendapatkan bahan-bahan penelitian karena dilakukan di Indonesia. Tetapi, dari segi kerahasiaan negara, Pemerintah Australia akan mendapatkan bahan-bahan mutakhir yang kadang kala sangat rahasia untuk disampaikan kepada Pemerintah Australia. Untuk itulah diperlukan kepekaan para mahasiswa yang mendapat beasiswa untuk program doktor dan adanya arahan dari Mendikbudristek agar jangan mau diperalat oleh pemberi beasiswa yang membahayakan Indonesia.
Mustakim, Mantan Diplomat