Pengelolaan ”food estate” secara terintegrasi memerlukan kemampuan manajerial dan analisis usaha yang andal. Diperlukan anak-anak muda yang memiliki jiwa wirausaha pertanian. Petani milenial menjadi kunci untuk ini.
Oleh
CATUR SUGIYANTO
·4 menit baca
Presiden Joko Widodo baru saja meresmikan food estate (lumbung pangan) bawang putih di Temanggung, Jawa Tengah, pada 14 Desember 2021. Pembangunan food estate merupakan pembangunan pertanian strategi baru yang dilakukan di era Presiden Jokowi. Tujuan utamanya untuk menjamin ketahanan pangan di dalam negeri.
Selain itu, Kementerian Pertanian menggarisbawahi bahwa pembangunan food estate meningkatkan nilai tambah produksi sektor pertanian lokal; petani dapat mengembangkan usaha tani skala luas; membuka kesempatan/potensi ekspor pangan ke luar negeri; meningkatkan penyerapan tenaga kerja pertanian; mengelola secara terintegrasi sistem produksi, pengolahan, dan pemasaran produk pertanian; serta harga pangan semakin murah karena produk melimpah. Pembangunan food estate yang lain, misalnya, dilakukan di Kalimantan Barat (120.000 hektar), Kalimantan Tengah (180.000 ha), Kalimantan Timur (10.000 ha), dan Maluku (190.000 ha).
Pembangunan food estate dinilai tepat untuk menyelesaikan permasalahan umum di sektor pertanian pangan di Indonesia. Secara umum, sektor pertanian pangan di Indonesia ditandai ukuran lahan per kapita yang sangat sempit; jumlah petani usia muda yang sedikit, petani merupakan penjual produk hasil panen langsung (bukan hasil olahan), serta daya tawar petani yang rendah.
Dengan food estate, luas lahan yang dikelola menjadi semakin luas karena lahan pertanian dikonsolidasi. Selain itu, pengelolaan proses bisnis pertanian pada rantai pasok (supply chain) dilakukan terintegrasi. Pengolahan hasil panen dilakukan di kawasan produksi menjadi ekonomis mengingat jumlah produksi yang dikelola menjadi semakin besar. Pada akhirnya, daya tawar petani menjadi semakin meningkat sehingga harga yang diterima juga semakin tinggi.
Namun, pembangunan food estate memiliki tantangan tersendiri. Hal ini mengingat bahwa food estate memerlukan lahan yang luas. Konsolidasi lahan yang sempit menjadi satu kesatuan hamparan food estate secara teknis mudah dilakukan. Namun, luas lahan ratusan ribu hektar hanya tersedia di luar Pulau Jawa.
Pembangunan food estate memiliki tantangan tersendiri. Hal ini mengingat bahwa food estate memerlukan lahan yang luas.
Mengonsolidasikan lahan 100 ha di Pulau Jawa sama artinya dengan mengoordinasikan 300 petani dengan lahan masing-masing 0,3 ha. Suatu pekerjaan yang tidak mudah. Mampukah badan usaha milik desa (BUMDes), koperasi, atau kelompok tani (gabungan kelompok tani) mengoordinasi petani sebanyak itu.
Peran petani milenial
Pengelolaan food estate secara terintegrasi (produksi, pengolahan, sampai pemasaran) memerlukan kemampuan manajerial dan analisis usaha yang andal. Hal ini mengingat bahwa skala usaha yang besar memerlukan investasi lebih besar pula. Diperlukan keberanian dalam pengambilan risiko yang lebih besar di sektor pertanian berskala food estate ini.
Dengan tingkat pendidikan rata-rata petani hanya sampai sekolah dasar (SD) sulit ditemukan petani dengan kemampuan manajerial (wirausaha) dan pengambil risiko yang andal. Sebagai alternatif memang diperlukan anak-anak muda yang memiliki jiwa wirausaha pertanian.
Banyak contoh petani-petani muda yang sukses, yang biasa disebut sebagai petani milenial. Hanya saja, jumlah petani milenial ini masih sedikit. Dari sekitar 33 juta petani, hanya sekitar 25 persen yang berusia kurang dari 40 tahun (tahun 2020).
Kiranya, para penyuluh pertanian lapangan (PPL) atau kampus bisa dipacu untuk meningkatkan kapasitas para petani muda ini. Era Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) kiranya bisa menjadi media yang semakin luas bagi kampus untuk terjun di sektor pertanian. MBKM ini memperkuat program kuliah kerja nyata (KKN) yang selama ini berlangsung 2-3 bulan bisa diperpanjang menjadi enam bulan.
Era Teknologi 4.0 berpengaruh terhadap semua kegiatan ekonomi dunia, tidak terkecuali sektor pertanian. Digitalisasi aktivitas ekonomi, terutama pemasaran produk dan penjualan, menjadi tren sekarang ini. Proses bisnis di sektor pertanian juga perlu menyesuaikan diri.
Tidak dimungkiri bahwa jumlah tenaga kerja di sektor pertanian semakin sedikit. Oleh karena itu, lambat atau cepat, penggunaan mesin untuk melakukan proses produksi pertanian akan terjadi. Jika konsolidasi lahan berlangsung terus, dan luas lahan menjadi semakin besar, pengerjaan secara manual menjadi tidak ekonomis lagi (tidak feasible).
Petani milenial adalah kunci alih teknologi ini. Oleh karena itu, peran petani milenial setidaknya mengisi dua titik dalam rantai pasok produk pertanian, yaitu penggunaan teknologi dalam proses produksi pertanian (on farm) serta pengolahan dan pemasaran produk pertanian (off farm). Dengan peran tersebut, food estate akan menjadi solusi bagi inefisiensi produksi sektor pertanian.
Catur Sugiyanto, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada