Menyongsong Abad Kedua NU
NU bisa berperan melakukan ”globalisasi Pancasila”, sebagaimana dilakukan Bung Karno tahun 1960-an, saat berpidato di PBB dan Universitas Al Azhar perihal pentingnya Pancasila untuk mewujudkan perdamaian dunia.
Wahai Nahdlatul Ulama, Engkau adalah perantara,
Yang akan mengantarkan pada ridha Allah, Tuhan Maha Pengasih,
Didirikan oleh para ulama, ahli fikih, dan bijak lestari
Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari adalah guru kami,
Beliau mendirikan NU atas pertolongan Allah SWT
Semoga Allah SWT merahmati pengabdiannya yang tulus
Para ulama dan pemimpinnya akan berkumpul dalam muktamar mereka akan melakukan pembahasan
Semoga Allah dapat mempersatukan kita atas pertolongan Allah SWT di bawah pemimpin yang jujur
Petikan lagu resmi Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama, yang ditulis kiai karismatik KH Afifuddin Muhajir, ini berhasil menyadarkan kembali perihal historisitas dan bagaimana perjalanan NU menyongsong abad kedua. Tantangan pada tataran nasional dan internasional semakin kompleks. Karena itu, NU harus mampu memosisikan dan merespons perubahan-perubahan besar itu untuk berkhidmat bagi negeri dan dunia.
Alhamdulillah, Muktamar Ke-34 NU yang telah digelar di Lampung pada 22-24 Desember 2021 berakhir dengan indah. KH Miftahul Akhyar terpilih sebagai rais aam dan KH Yahya Cholil Staquf sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2021-2026. Dua sosok ini mempunyai chemistry yang sangat baik karena keduanya pernah menjabat sebagai pelaksana tugas (plt) rais aam dan katib aam PBNU periode sebelumnya. Saya optimistis, kedua sosok ini akan membawa NU lebih solid, maju, dan mendunia.
Capaian abad pertama
Muktamar Ke-34 NU merupakan momentum yang paling menentukan, karena akan menggambarkan potret NU sebelum memasuki abad kedua. Sebab itu, muktamar sejatinya mampu melakukan refleksi atas pengabdian NU seabad yang lalu sekaligus menyusun visi jauh ke depan agar NU mampu melipatgandakan perannya untuk memajukan negeri dan mewujudkan peradaban dunia yang damai dan berkeadilan.
Harus diakui, selama satu abad perjalanan NU sudah banyak hal dilakukan, terutama kemampuan NU dalam mengukuhkan diri sebagai gerakan keagamaan yang mengusung gagasan moderasi beragama. Sebagai organisasi yang berpijak pada doktrin Ahlussunnah wal Jamaah, NU mampu memformulasikan pemikiran yang mampu membentengi dirinya dari gempuran ideologi transnasional yang mengatasnamakan Islam.
Moderasi beragama ala NU mempunyai basis kultural yang kuat.
Dalam konteks global, kelompok-kelompok ekstremis pada umumnya berlatar belakang atau setidak-tidaknya mengaku sebagai bagian dari Ahlussunnah wal Jamaah. NU juga berpijak pada Ahlussunnah wal Jamaah, tetapi tidak tergoda dan terjerembap dalam gerakan-gerakan ekstremis.
Hal ini yang menyebabkan NU mempunyai kekhasan dan kekhususan tersendiri, yaitu organisasi dan gerakan keagamaan yang lahir, tumbuh, dan berkembang dalam konteks kebudayaan Nusantara. Moderasi beragama ala NU mempunyai basis kultural yang kuat.
Maka dari itu, NU punya pengalaman dan pergulatan yang sudah kokoh dalam mengusung moderasi Islam. Sejak Muktamar NU 1984 di Situbondo, NU sudah berhasil merumuskan sebuah visi yang kokoh, yaitu persaudaraan keislaman (ukhuwwah islamiyyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah wathaniyyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah insaniyyah). Gagasan ini mampu menjaga NU sekaligus menjaga Indonesia dari gempuran ideologi transnasional.
Di berbagai belahan dunia lain, termasuk di kawasan Timur Tengah, bahkan Eropa dan AS sekalipun, terlihat kedodoran dalam menghadapi gerakan-gerakan transnasional yang mengatasnamakan Islam.
Tetapi, kita patut bersyukur mampu membendung ideologi gerakan-gerakan transnasional karena NU menjalankan fungsinya untuk meletakkan Islam pada porosnya sebagai agama yang membangun peradaban (al-hadlarah) dan keadaban publik (al-akhlak).
Baca juga : Menjaga Relevansi NU
Sejak Munas Alim Ulama NU 2006 di Surabaya, para ulama sudah menegaskan Pancasila sebagai ideologi yang final dalam berbangsa dan bernegera, sehingga tugas kita semua sebagai warga negara adalah membumikan Pancasila, sehingga negeri ini berkeadilan dan berkemajuan.
Sebelumnya, dalam Muktamar NU 1984 di Situbondo, para ulama sudah mengukuhkan Pancasila sebagai asas tunggal yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Tugas kita semua adalah mengamalkannya untuk solidaritas dan soliditas kebangsaan kita.
Capaian NU selama satu abad dalam menjaga dan membangun Indonesia tak terbantahkan. Puluhan ribu pesantren, rumah sakit, koperasi, UMKM, dan tempat ibadah menjadikan NU sebagai ormas yang konsisten memberdayakan umat. Sebab itu, khitah NU sebagai gerakan masyarakat sipil harus terus dipertahankan. NU harus memainkan politik kemaslahatan, bukan politik kekuasaan.
Tantangan abad kedua
Menyongsong abad kedua, NU harus melipatgandakan amal-amalnya untuk mewarnai dunia. Saat ini kita hidup dalam ruang globalisasi, di mana setiap ideologi, gagasan, dan gerakan saling memengaruhi, take and give. Kita akan memengaruhi atau dipengaruhi pihak-pihak lain dengan derasnya informasi melalui laman digital.
Maka dari itu, mau tidak mau, NU harus merumuskan kembali gagasan dan gerakannya, serta menyebarluaskannya melalui laman digital. Diperlukan gerakan bersama untuk menyebarluaskan kebaikan melalui media sosial, sehingga publik tidak hanya menerima banjirnya informasi melalui pihak-pihak yang ingin memecah belah bangsa. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari mengutip ungkapan Imam Ali bin Abi Thalib, ”kebenaran yang tidak terorganisasi dengan baik akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi dengan baik”.
Hemat saya, ungkapan tersebut masih sangat relevan hingga saat ini, karena kelompok-kelompok ekstremis sangat proaktif melakukan promosi gagasan melalui laman digital untuk memengaruhi ruang publik. Mereka tidak menghendaki kebenaran, melainkan hanya ingin mengaduk-aduk emosi dan persepsi publik, sehingga yang ditangkap publik hanya pseudo kebenaran, post-truth.
Logikanya, jika warga NU maju secara ekonomi, maka negeri ini juga akan maju.
Peran beberapa media NU, seperti NU Online dan TVNU, sudah sangat baik. Media-media ini harus berperan lebih masif dan terstruktur lagi untuk menjaga negeri ini dari badai hoaks dan ideologi transnasional. Di samping itu, laman digital dapat digunakan untuk akselerasi pemberdayaan ekonomi warga NU. Logikanya, jika warga NU maju secara ekonomi, maka negeri ini juga akan maju. Sebab, warga NU berada pada lapis paling bawah. Mereka yang selama ini terpinggirkan dan belum mendapatkan perhatian khusus pemerintah.
Presiden Jokowi dalam sambutan pembukaan Muktamar NU menegaskan, pemerintah akan bekerja sama dan mendukung program-program NU, khususnya di bidang ekonomi, karena NU telah terbukti menjadi mitra strategis pemerintah dari dulu hingga sekarang ini.
Maka dari itu, gagasan untuk membangun NU dari cabang-cabang pada tingkatan kabupaten dan kota merupakan gagasan yang otentik. Pada hakikatnya, membangun NU adalah membangun ekonomi warganya. Dan membangun ekonomi warga NU harus dimulai dengan membangun sentra-sentra ekonomi dari kabupaten dan kota, melalui pengurus cabang NU.
Pada abad kedua nanti, NU harus lebih berperan dalam konteks global. NU harus menginspirasi dunia dengan gagasan persaudaraan (ukhuwwah), kemaslahatan (al-mashlahah), dan kemanusiaan (insaniyyah). Peta geopolitik yang karut-marut ini harus diakhiri dan dicarikan solusi agar dunia dibangun di atas prinsip persaudaraan, kemaslahatan, dan kemanusiaan. Perang dan konflik harus diakhiri dengan komitmen kuat membangun peradaban yang menjunjung tinggi keadilan dan perdamaian.
Baca juga : Mekarnya Tunas Aswaja di Bhumi Ruwa Jurai
Saya sendiri sudah membuat website NU berbahasa Arab pertama, www.khittah.id, yang dikelola oleh PCINU Tunisia dalam rangka mengenalkan NU dan Indonesia, khususnya perihal dakwah Wali Sanga, Islam Nusantara, moderasi Islam, dan sebagainya. Saya ingin membuktikan NU punya kader-kader muda brilian yang mapan secara intelektual. Saatnya PBNU menjadikan PCINU di 31 negara sebagai juru bicara NU dan Indonesia.
Dalam konteks ini, NU bisa berperan untuk melakukan ”globalisasi Pancasila”, sebagaimana dilakukan Bung Karno tahun 1960-an, saat berpidato di PBB dan Universitas Al Azhar perihal pentingnya Pancasila sebagai ideologi alternatif untuk mewujudkan perdamaian dunia. NU bisa membumikan cita-cita para pendiri bangsa agar Indonesia berperan di dalam taman sarinya dunia.
Zuhairi Misrawi, Mustasyar Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Tunisia; Duta Besar RI untuk Tunisia