Fasisme dalam Riset
Kelindan antara sains, politik, dan ideologi yang pernah terjadi agaknya dapat memunculkan sebuah pertanyaan susulan. Apakah riset memang benar-benar harus menjadikan ideologi sebagai sebuah landasan?
Tahun 1931, seratus ilmuwan menyerang Einstein. Teori relativitasnya menjadi bahan sasaran mereka. Kala itu gerakan fasisme di Jerman mengalami eskalasi yang cukup tinggi. Para ilmuwan tersebut menuding teori relativitas sebagai ”fisika Yahudi” yang perlu diperangi. Mereka bahkan membakar buku-buku dan mensponsori konferensi untuk mencela Einstein dan teorinya.
Gerakan fasisme merupakan gerakan politik yang mengombinasikan ultranasionalisme (nasionalisme ekstrem) dan permusuhan terhadap paham kiri (konservatisme) (Kevin Passmore, 2002).
Paham fasisme mulai muncul pada abad ke-20. Dua tokoh penting dari paham fasisme ialah Benito Mussolini (Italia) dan Adolf Hitler (Jerman). Salah satu bentuk fasisme adalah Nazi, yang percaya atas superioritas ras. Saat itu, Hitler membangun utopia rasial untuk melawan dan mengusir etnis Yahudi dari Jerman. Hal ini juga yang membuat Einstein melepas kewarganegaraannya. Dia akhirnya beremigrasi ke Amerika Serikat untuk mengajar dan menjadi profesor fisika teoretis di Princeton.
Umumnya ketika kita membahas tentang fasisme, terdapat relasi kuat dengan politik, ekonomi, sosial, dan lainnya.
Umumnya ketika kita membahas tentang fasisme, terdapat relasi kuat dengan politik, ekonomi, sosial, dan lainnya. Namun, bagaimanakah relasi fasisme terhadap ilmu pengetahuan dan riset? Kenapa ideologi nasionalis-ekstrem ini bisa sangat merusak ekosistem ilmu pengetahuan?
Dampak fasisme
Ciri fasisme yang paling kentara adalah memiliki pola kepemimpinan yang bersifat otoriter dan anti-intelektualitas. Otoritarianisme memiliki kecenderungan susah percaya pada capaian-capaian para intelektual, kecuali hal-hal yang sesuai dengan ideologi yang diusung.
Pada 8 April 1933, buku-buku yang dianggap subversif dan mewakili ideologi yang menentang nazisme menjadi target untuk dibakar dalam gerakan ”Action against the Un-German Spirit”. Buku-buku yang disasar banyak dari tokoh dan penulis prominen, seperti Albert Einstein, Sigmund Freud, Karl Marx, dan Franz Kafka. Secara keseluruhan, ada sekitar 100 penulis Jerman dan lebih dari 40 penulis asing yang buku-bukunya tak luput dari pembakaran gerakan propaganda nasional tersebut.
Baca juga : Lupa Bahasa Sains
Selain pembakaran buku, dalam ideologi fasisme, para pengajar diwajibkan untuk patuh terhadap aturan-aturan ideologi yang diusung. Semua pendidik wajib tunduk pada ideologi yang ada.
Pendidikan digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan generasi fasis masa depan. Pemerintahan Mussolini di Italia banyak berinvestasi dalam pendidikan. Penetrasi ideologis sangat terlihat di sekolah dasar. Para instruktur bertugas memastikan bahwa anak-anak dididik dengan nilai-nilai fasis, termasuk kepatuhan terhadap otoritas, semangat pengorbanan dan kepahlawanan semu, serta perlindungan dan peningkatan kepada ras tertentu.
Dampak lain apabila terdapat anti-intelektualitas berarti ideologi fasisme yang diusung tersebut juga anti terhadap berbagai macam pemikiran. Bahkan, gerakan ini berusaha mengganti nilai-nilai intelektualitas yang ada dengan ideologi fasisme. Hal ini mengakibatkan matinya pasar ide. Tidak ada kebebasan untuk berpikir, tidak ada kapasitas untuk mempertanyakan, dan tidak ada juga formula untuk berpikir rasional.
Alhasil, dari semua itu dampak fasisme dapat membentuk suatu masyarakat yang berpikir secara kompromistis. Ekosistem ilmu pengetahuan akan mati secara perlahan-lahan. Ilmuwan-ilmuwan menghasilkan pengetahuan hanya berdasarkan pesanan. Celakanya, komitmen terhadap kebenaran akan menjadi sangat rendah. Kebenaran sains hanya didasarkan pada ideologi fasisme dan imajinasi atas ras arya, bukan pada bukti empiris-rasional. Selain itu, hal ini juga yang akan menguatkan ide dan konsep pseudosains.
Pseudosains
Beberapa pemimpin Nazi, termasuk Hitler dan Himmler, percaya pada pseudosains. Mereka mendukung teori ”es kosmik” yang menegaskan bahwa es adalah bahan dasar alam semesta. Selain itu, pseudosains yang paling populer pada masa itu ialah eugenika.
Eugenika adalah pemilihan karakteristik hereditas atau gen tertentu untuk meningkatkan kemampuan spesies pada generasi berikutnya, biasanya mengacu pada manusia. Pada konteks Nazi, dengan alasan kebersihan ras (Rassenhygiene), terjadi kastrasi, sterilisasi paksa, dan pembunuhan orang yang dianggap cacat serta orang-orang Yahudi. Puncaknya terjadi pada holokaus.
Tahun 1933, teori kebersihan ras disebarkan menjadi pandangan publik. Hitler dan banyak pengikutnya menganut ideologi yang memadukan antisemitisme dengan teori eugenika. Oleh sebab itu, rezim Hitler memberikan kebijakan untuk implementasi langkah-langkah eugenika dalam bentuk yang paling konkret dan radikal.
Beberapa universitas di Jerman saat itu percaya bahwa tak ada jarak antara penurunan sifat genetik (hereditas) dan ras. Bahkan, rezim pun memberikan pendanaan untuk menjembataninya (Michael Mann, 2004). Meminjam kalimat Siddhartha Mukherjee dalam bukunya, The Gene: An Intimate History, hal yang paling luar biasa dan berbahaya dalam sejarah sains adalah gen. Gen merupakan unit fundamental dari hereditas dan unit dasar dari semua informasi biologis.
Komitmen yang dipegang pada dasarnya adalah ideologi dengan rasa profesional, yaitu kepercayaan atas sains yang rasial.
Ilmuwan-ilmuwan di bidang biologi, genetika, ilmu medis, dan antropologi saat itu berkiblat kepada darwinisme sosial. Komitmen yang dipegang pada dasarnya adalah ideologi dengan rasa profesional, yaitu kepercayaan atas sains yang rasial. Akibatnya, banyak tokoh terkemuka yang akhirnya pergi meninggalkan negaranya.
Pada tahun 1944, lebih dari 133.000 imigran Jerman telah pindah ke Amerika. Beberapa bahkan pemenang Hadiah Nobel dan intelektual terkenal, seperti Albert Einstein dalam fisika, Otto Loewi serta Max Bergmann dalam kimia, dan John von Neumann dalam ilmu komputer. Banyak ilmuwan yang kabur dan tak kembali ke negara asalnya. Bahkan, pernah juga terjadi pertarungan sengit antarpemenang Nobel.
Perang antar-Nobelis terjadi karena adanya interaksi yang berkelindan antara sains dan politik di zaman Nazi Jerman saat itu. Adalah Philipp Lenard dan Johannes Stark, pemenang Nobel bidang fisika bersama dengan ilmuwan-ilmuwan lain, menyerang teori relativitas Einstein. Teori relativitas dianggap sebagai ”fisika Yahudi” yang perlu diperangi. Buku Seratus Penulis Melawan Einstein (Hundert Autoren Gegen Einstein) dipublikasikan pada 1931.
Perlu diketahui bahwa Einstein meraih Hadiah Nobel bukan pada teori relativitasnya, melainkan pada penemuan hukum efek fotolistrik. Padahal, Einstein kondang karena teori relativitas. Melalui teori inilah lahirnya fisika modern yang menampik asumsi teori-teori mapan pada saat itu.
Kalimat menarik dari Einstein, ketika diminta untuk mengomentari kecaman atas teori relativitasnya oleh begitu banyak ilmuwan. Einstein menjawab, ”To defeat relativity one did not need the word of 100 scientists, just one fact.” ”If I were wrong, one professor would have been enough.”
Kepingan sejarah kelam di masa silam. Apabila kita bersedia mengambil pelajaran, ada banyak hal yang dapat direnungkan. Kelindan antara sains, politik, dan ideologi yang pernah terjadi agaknya dapat memunculkan sebuah pertanyaan susulan. Apakah riset memang benar-benar harus menjadikan ideologi sebagai sebuah landasan?
Ahmad Mustafid, Mahasiswa Magister Technische Universität Kaiserslautern, Jerman