Dalam konsep viktimologi bertingkat, negara harus menyelesaikan lebih dahulu kondisi korban dalam tahap satu. Artinya, negara harus menyelesaikan dugaan kekerasan seksual yang dialami korban meski ada pelaporan terlapor.
Oleh
PETRUS RICHARD SIANTURI
·4 menit baca
Kasus mahasiswi yang diduga dilecehkan dosennya terjadi lagi. Seperti disampaikan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim pada acara Mata Najwa, kasus ini mungkin satu dari jutaan kasus yang terjadi di beberapa kampus di Indonesia.
Kasus kekerasan seksual, termasuk yang terjadi di kampus-kampus, sudah mengerikan. Kita dalam keadaan darurat. Tindakan nyata harus diambil negara. Karena itu, penolakan terhadap Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi patut dipertanyakan.
Jika dilihat baik-baik, peraturan ini memberikan optimisme baru, baik dalam konteks pencegahan maupun penanganan kasus kekerasan seksual di kampus. Selain itu, peraturan ini patut didukung karena orientasi perlindungan korban ditekankan secara eksplisit, di saat hukum (pidana) di Indonesia belum sama sekali ramah pada korban kejahatan, termasuk korban kekerasan seksual.
Saya sangat mendukung Permendikbudristek tersebut.
Upaya implementatif
Saya sangat mendukung Permendikbudristek tersebut. Namun, peraturan ini perlu dibahas karena ada pihak-pihak yang masih menolak sehingga ada potensi Permendikbudristek ini tidak dapat diimplementasikan.
Pertama, peraturan ini ”sebatas” peraturan menteri. Dalam hierarki peraturan perundang-undangan, hanya dua jenis peraturan yang boleh memuat sanksi pidana, yaitu undang-undang dan peraturan daerah. Artinya, peraturan menteri tidak bisa memuat sanksi pidana, padahal kekerasan seksual adalah tindak pidana. Meski demikian, sebagaimana diatur Permendikbudristek ini, rekomendasi satgas bisa menjadi dasar pembuatan laporan pidana oleh pemangku kepentingan terkait untuk membongkar kasus dan menghukum pelaku.
Dalam konteks itu, tugas Kemendikbudristek tidak bisa berhenti pada rekomendasi satgas atau penjatuhan sanksi administratif, tetapi mendampingi korban dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual sampai tahap proses penanganan pidananya.
Jadi, meskipun Permendikbudristek ini tidak memuat sanksi pidana, kehadirannya tetap efektif-implementatif jika Kemendikbudristek sendiri berkomitmen menyelesaikan setiap kasus kekerasan seksual sampai ke proses pidana.
Kedua, Permendikbudristek ini, bagaimanapun bagusnya, akan hilang makna jika negara masih membiarkan celah pelaporan balik korban oleh terduga pelaku. Kondisi ini selalu terjadi paling tidak karena dua hal: terduga pelaku pongah melaporkan balik karena dia sadar bahwa korban tidak memiliki bukti kuat. Hal ini didukung UU ITE yang memberikan dasar hukum bagi terduga pelaku dengan alasan pencemaran nama baik.
Untuk mengatasi hal itu, surat keputusan bersama terkait pedoman implementasi UU ITE menjadi sangat relevan. Kepolisian harus tegas, bahwa pelaporan balik terduga pelaku harus dipertimbangkan betul sebelum memproses ke tahap lebih lanjut. Laporan pencemaran nama baik oleh terduga pelaku kekerasan seksual perlu diperhatikan agar substansi masalah yang perlu diselesaikan, yaitu kekerasan seksual, tidak bergeser.
Viktimisasi bertingkat
Kondisi itu saya sebut sebagai viktimisasi bertingkat bagi para korban kekerasan seksual. Konsep ini saya sebut untuk menantang konsep reviktimisasi dalam ilmu tentang korban (viktimologi).
Kondisi itu saya sebut sebagai viktimisasi bertingkat bagi para korban kekerasan seksual.
Saat ini, reviktimisasi menjadi terma untuk menyebut seseorang yang sudah menjadi korban kembali ditempatkan sebagai korban. Logika ini salah kaprah. Sebab, penciptaan korban menjadi tidak jelas tahapan terjadi dan tentu tahap penyelesaiannya.
Sebagai contoh, ini pola yang sangat sering terjadi, seorang korban kekerasan seksual merasa tertekan karena kejahatan yang dialami, lalu menyampaikan melalui media sosial, lalu dilaporkan berdasarkan pasal pencemaran nama baik oleh terduga pelaku.
Lalu, kasus diproses. Tahap pertama penciptaan korban adalah korban dilecehkan. Tahap kedua penciptaan korban dari contoh di atas adalah saat dia justru dilaporkan dan diproses. Tahap dua penciptaan korban tidak akan terjadi tanpa tahap satu lebih dulu.
Untuk itu, konsep reviktimisasi menjadi tidak masuk akal. Sebaliknya, terma alternatif yang perlu digunakan adalah viktimisasi bertingkat karena semua tahap penciptaan korban diakui dan diselesaikan satu per satu.
Selesaikan kasus korban
Dalam konsep viktimologi bertingkat, negara harus menyelesaikan terlebih dahulu kondisi korban dalam tahap satu. Artinya, negara harus menyelesaikan dulu dugaan kekerasan seksual yang dialami korban meskipun ada pelaporan oleh terduga.
Jika tahap satu sudah diselesaikan, katakanlah telah dapat dibuktikan terjadi kekerasan seksual, otomatis tahap dua, yaitu pelaporan balik harus digugurkan. Sebaliknya, jika dengan betul-betul tidak dapat dinyatakan tuduhan kepada terduga pelaku, kepolisian bisa melanjutkan kasus pelaporan sampai tahap pembuktian. Hal ini tidak untuk menyimplifikasi kondisi korban, justru memastikan agar korban mendapatkan penanganan yang adil.
Jika sekarang mahasiswi salah satu kampus di Riau yang menjadi korban dan telah menyampaikan kronologi pelecehan seksual justru dilaporkan balik oleh terduga pelaku, maka berdasarkan konsep viktimisasi bertingkat, negara (dalam hal ini melalui Kemendikbudristek dan kepolisian) perlu menyelesaikan dulu kasus dugaan pelecahan itu tanpa diganggu oleh pelaporan terduga pelaku.
Dengan demikian, semangat melindungi dan memulihkan kondisi korban dapat dicapai. Begitu juga, secara khusus, kita dapat memastikan Permendibudristek ini dapat diimplementasikan secara tepat. Sebagai bangsa beradab, kita harus memberantas kejahatan seksual dalam bentuk apa pun, apalagi di kampus.