Rencana Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur menguasai tanah ulayat untuk bisnis peternakan sapi merupakan perwujudan ketidakadilan agraria. Ketidakadilan agraria atas nama pembangunan ini disebut firaunisme ekonomi.
Oleh
BENNY DENAR
·4 menit baca
Beberapa waktu terakhir publik dihebohkan oleh video berisi adu argumentasi antara Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat dan perwakilan masyarakat adat di Pulau Sumba, NTT. Substansi perdebatan, kurang lebih, warga adat ingin mempertahankan tanah ulayat mereka yang hendak dijadikan sebagai lokasi proyek penggemukan sapi superpremium. Menurut mereka, tanah tersebut belum diserahkan kepada pemerintah dan kalaupun telah diserahkan, mesti ada kompensasi.
Mereka mengatakan, banyak tanah ulayat mereka telah diserahkan secara cuma-cuma kepada pemerintah. Namun kali ini, tanah yang hendak dijadikan lahan proyek penggemukkan sapi tersebut tidak ingin diserahkan begitu saja tanpa ”terima kasih” dari pemerintah.
Video tersebut menjadi viral karena di dalamnya terdapat ujaran bernada kasar dari sang Gubernur terhadap warga yang membatahnya. Dalam nada marah, Gubernur mengancam akan memenjarakan semua warga yang menolak atau mengganggu proyek penggemukan sapi tersebut, sikap yang lumrah dalam gaya kepemimpinan feodalistik kuno, di mana semua titah pemimpin harus diterima sebagai kebenaran dan tidak boleh dibantah.
Video berisi ujaran bernada kasar dan ancaman Gubernur tersebut tentu tidak bisa dianggap sepele, lebih-lebih dari sisi ketidakadilan agraria. Schoenberger dan kawan-kawan menjelaskan studi seputar ketidakadilan agraria dalam fase ketiga, yaitu sejak tahun 2000, lebih berfokus pada persoalan petani, juga perihal munculnya arus besar neoliberalisme dalam tata kelola lingkungan dan pemerintahan (Schoenberger et al, 2017).
Di sini studi agraria dihubungkan dengan tata kelola politik dan ekonomi yang berimbas pada persoalan ekologis dan ketidakadilan agraria. Dalam konteks itulah, persoalan ketidakadilan agraria tidak lepas dari persoalan ekonomi politik.
Dalam bingkai ekonomi politik, ketidakadilan agraria sering melibatkan dua aktor kunci, yakni aktor bisnis dan pemerintah. Aktor bisnis memiliki kepentingan atas lahan untuk akumulasi kapital. Sementara di sisi lain, atas nama pembangunan, aktor negara memberikan jalan bagi penguasaan agraria melalui mekanisme hukum (peraturan), termasuk melalui mekanisme dan tekanan internasional (White et al, 2012).
Apa yang terjadi di NTT, juga di banyak daerah lain, adalah terdapat geliat kemajuan, pertumbuhan ekonomi, investasi dan penciptaan lapangan kerja, namun semua itu disertai oleh pengambialihan kepemilikan tanah (land grabbing). Hal ini menyebabkan warga lokal kehilangan kuasa dan kontrol atas tanahnya.
Bagi kebanyakan masyarakat lokal, tanah bukan sekadar menjadi sumber daya ekonomi semata, melainkan merupakan ungkapan jati diri dan identitas mereka.
Intensifikasi pembangunan justru mereproduksi ketidakadilan dan ketimpangan yang tajam, di mana terdapat semakin banyak warga miskin kehilangan sumber-sumber ekonomi, termasuk tanah. Sementara sisi lain, ada segolongan kecil orang kaya yang mengakumulasi kekayaan karena berhasil menguasai sumber daya ekonomi secara masif. Padahal bagi kebanyakan masyarakat lokal, tanah bukan sekadar menjadi sumber daya ekonomi semata, melainkan merupakan ungkapan jati diri dan identitas mereka dalam segala aspeknya, termasuk aspek kultural dan religius.
Bagi kebanyakan masyarakat lokal, tanah bukan sekadar menjadi sumber daya ekonomi semata, melainkan merupakan ungkapan jati diri dan identitas mereka.
Ekonomi politik predatoris
Walter Brueggemann, teolog Amerika, menyebut ketidakadilan agraria atas nama pembangunan sebagai Firaunisme ekonomi (Brueggemann, 2018). Brueggemann menarasikan ekonomi firaun sebagai metafora untuk semua pemangsa dan praktik ekonomi politik mengisap.
Pemilihan istilah firaun sebagai metafora untuk ekonomi politik predatoris didasarkan pada pola kebijakan ekonomi Raja Firaun seperti dilaporkan secara naratif dalam Kitab Kejadian. Dalam narasi tersebut, tampak jelas Firaun adalah akumulator tanah dan makanan untuk kepentingan monopoli.
Kitab Kejadian 47:20 menulis: ”… Setiap orang terpaksa menjual tanahnya, karena masa kelaparan itu sangat dahsyat; lalu semua tanah di Mesir menjadi milik raja”. Perampasan tanah oleh Firaun dilakukan sebagai strategi berkelanjutan untuk menghantar para petani ke jurang perbudakan.
Firaun adalah akumulator tanah dan makanan untuk kepentingan monopoli.
Dengan demikian, Firaun mendapatkan kepastian bahwa dia akan mendapatkan pasokan tenaga kerja murah dari antara mereka yang secara ekonomi telah kehilangan pengaruh untuk melawan dan memproteksi dirinya sendiri. Strategi Firaun adalah membuat orang berada dalam kerentanan dan ketergantungan tanpa akhir.
Di sini manusia dikomoditifikasi secara koersif dan mereka tidak lagi dapat berperan sebagai agen yang menentukan sejarahnya sendiri. Dalam rezim Firaun, semua hubungan sosial dalam masyarakat direduksi menjadi sangat transaksional, disertai oleh pemberian rasa takut, ancaman kekerasan, dan apabila perlu dengan kekerasan nyata.