Paradoks, Simulakra, dan Alienasi
Puisi-puisi M Aan Mansyur didominasi kecenderungan solilokui penyair akan situasi paradoksal, simulakra, dan alienasi manusia ketika berhadapan dengan pergeseran zaman. Kekuatannya terletak pada konstruksi pilihan kata.

Didie SW
Dua penghargaan sekaligus diraih kumpulan puisi M Aan Mansyur, Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau (Gramedia Pustaka Utama, 2020). Pertama, penghargaan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada 28 Oktober 2021. Kedua, penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2021.
Saya menandai buku kumpulan puisi ini didominasi kecenderungan solilokui penyair akan situasi paradoksal, simulakra, dan alienasi manusia ketika berhadapan dengan pergeseran zaman. Penyair sadar benar akan posisinya sebagai manusia paradoks: seolah-olah bertentangan dengan kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran.
Puisi-puisinya berobsesi pada dunia simulakra, representasi yang bersumber hal yang secara ontologis palsu atau tidak tulen sehingga keberadaannya hanya absah berdasar pada status realitasnya sendiri. Selain itu, saya merasakan suasana alienasi yang sangat kental dalam puisi-puisinya, kondisi tidak memiliki kekuasaan, tidak mempunyai makna hidup, dan kehilangan norma bagi diri sendiri.
Eksplorasi penyair dilakukan dengan kekuatan diksi. Ia memiliki kelincahan untuk mengemas ide-ide cemerlang mengenai paradoks, simulakra, dan alienasi itu dalam puisi-puisinya. Ia bermain-main dengan bahasa untuk mengekspresikan solilokui dalam dirinya.
Baca juga : ”Kekhilafan” Mengambil Puisi
Percakapan batin penyair itu dengan mudah dapat dimaknai pembaca, meski dengan lapis-lapis makna mengenai dunia yang berkedok, realitas yang penuh kepalsuan. Ia mengemas keterasingan dirinya terhadap realitas yang penuh kepalsuan itu dengan paradoks. Ia mengemas luka peradaban, luka zaman, luka hati nurani, dan kemanusiaan.
Semua puisi M Aan Mansyur berobsesi pada luka, dan ia tak ingin mempertaruhkan kata-kata sarkasme. Ia memilih mengemas luka peradaban itu dengan paradoks.

Pilihan kata
Kekuatan puisi-puisi M Aan Mansyur terletak pada konstruksi pilihan kata untuk mencapai estetika. Saya merasakan benar bahwa ia bermain-main dengan pilihan kata yang bernas untuk mencapai ungkapan-ungkapan paradoks, simulakra, dan alienasi terhadap kebudayaan mutakhir bangsa ini. Ia memasuki kehidupan milenial dengan segala problematika yang dihadapi, dan menuangkannya dalam ungkapan-ungkapan yang saling berbenturan, dikemas melalui satire.
Dalam puisi ”Cara Lain Membaca Sajak Cinta”, M Aan Mansyur bermain-main dengan paradoks, simulakra, dan alienasi itu: di belakang bising kata-kata/ ada ruang lapang yang lengang/ kekosongan yang tidak mampu dikatakan kata// ke sana//. Kata-kata yang dimanfaatkan dalam kehidupan yang bising, tak lagi mampu menjelaskan komunikasi.
Kekuatan puisi-puisi M Aan Mansyur terletak pada konstruksi pilihan kata untuk mencapai estetika.
Inilah dunia simulakra, kepalsuan yang tak dapat dikomunikasikan dan dijelaskan. Meski dalam puisi cinta sekalipun, tak mampu dijelaskan dengan kata-kata. Telah tercipta alienasi penyair dengan dirinya sendiri dan kehidupan yang melingkupinya. Karena itu, diperlukan cara lain memahami kehidupan untuk menemukan hakikat kebenaran.
Membaca puisi-puisi M Aan Mansyur, saya teringat akan ungkapan Derrida bahwa perbedaan tidak hanya ada dalam bahasa, tetapi juga pada semua realitas, dari proses pemikiran kita kepada dunia. Dalam puisi-puisinya, ketika saya baca, sampai pada suatu renungan bahwa kebenaran mensyaratkan sesuatu yang memiliki struktur dan konteks, karena peristiwa yang muncul di depan mata kita pada kenyataannya berasal dari jaring-jaring hubungan yang rumit dan beragam penentu yang tidak tampak.
Baca juga: Kematian Pengarang dan Implikasinya pada Teks
Dalam puisi ”Kata Membutuhkan Rahasia”, ia menyingkap paradoks kebenaran: semakin sedikit kebenaran dalam kata-kata/ kata pada mulanya pintu terbuka/ tetapi mereka mengubahnya jadi jendela/ tetapi mereka mengubahnya jadi jendela tertutup/ tetapi mereka mengubahnya menjadi dinding/ tetapi mereka mengubahnya jadi tangga/ kau tak bisa mengatakan sesuatu tanpa mendengar tubuh terjatuh//. Dalam kelanjutan puisi ini, penyair menulis bahwa semakin banyak bahaya dalam kata-kata, dan manusia dipandang sebagai rahasia yang tidak sanggup dikatakan kata.
Penyair mulai melakukan konfrontasi dengan kekuasaan ketika menulis puisi ”Makan Malam di Restoran Baru Tidak Jauh dari Pantai Losari”. Ia menyingkap karakter kekuasaan yang melakukan diskriminasi terhadap perempuan dan anak-anak; kekuasaan yang mengasingkan rakyatnya; kekuasaan yang menebar dominasi dengan ideologi maupun militer.
Ia menciptakan bahasa simbol untuk menyingkap paradoks, simulakra, dan alienasi masyarakat yang dibangkitkan kekuasaan. Dalam puisi itu, ia menulis: jika aku bisa jadi kota, aku kota yang tidak menyingkirkan perempuan & anak-anak/ dari jalan raya atau menyangkarkan mereka di rumah/ kota yang tulang-tulangnya bukan perampasan & kepatuhan/ kota yang diterangi cinta & kecemasan sehari-hari//.

Penyair Wayan Jengki Sunarta, murid dekat Umbu, membaca puisi Umbu saat mengantarkan gurunya beristirahat, Senin (12/4/2021), di Taman Makam Kristiani Mumbul, Nusa Dua, Bali.
Peran ibu kota negara yang menciptakan pengaruh ideologi kekuasaan dan gaya hidup tak luput dari olok-olok satire penyair yang bermain-main dengan bahasa, dengan pilihan kata. Ia menyingkap kepalsuan-kepalsuan ideologi dan gaya hidup yang membawa alienasi itu dalam puisi ”Makassar adalah Jawaban, tetapi Apa Pertanyaannya?”: makassar tidak suka pergi ke konser musik/ makassar tidak suka mendengar seorang penyanyi dari Jakarta/ dengan pengeras suara, bertanya aga kareba makassar?/ & penonton bahagia/ meneriakkan kebohongan menggunakan bahasa ibu/ makassar tahu makassar tidak baik-baik saja//.
Ia memandang tak ada lagi oposisi biner ideologi kekuasaan dan gaya hidup. Ia bermain-main dengan bahasa untuk mengeskpresikan dunia yang berkedok, realitas yang penuh kepalsuan. Ia mengemas keterasingan dirinya terhadap realitas yang penuh kepalsuan itu dengan paradoks. Ia mengemas luka peradaban, luka zaman, luka hati nurani dan kemanusiaan.
Menciptakan simbol
Ketika berhadapan dengan kekuasaan, M Aan Mansyur tak lagi bermain-main dengan bahasa untuk mengekspresikan dunia yang berkedok, realitas yang penuh kepalsuan dan mencipta alienasi. Dalam puisi ”Kami Masuk Kantor DPR & Kami Hilang & Kami Belum Ditemukan”, ia membiarkan empat halaman kosong dalam lembaran hitam, tanpa kalimat, tanpa kata-kata. Ia mencipta simbol bahwa kekuasaan adalah ruang kosong hitam yang tak terpahami, dan tak bisa diungkapkan dalam bahasa komunikasi.
Inilah paradoks, simulakra, dan alienasi penyair yang paling kelam. Ia tak lagi mengekspresikan kelincahannya untuk bermain-main dengan bahasa. Ia telah terenggut dari ekspresi hati nurani, jati diri, dan eksistensi kemanusiaannya, ketika berhadapan dengan institusi kekuasaan.
Ketika berhadapan dengan kekuasaan, M Aan Mansyur tak lagi bermain-main dengan bahasa untuk mengekspresikan dunia yang berkedok, realitas yang penuh kepalsuan dan mencipta alienasi.
Seluruh puisi dalam buku ini mempertanyakan ketercabikan identitas manusia dari nilai-nilai, identitas, dan kebenaran. Penyair tidak takluk pada kenyataan kehidupan yang dibentuk menjadi apa pun yang diinginkan kekuatan ekonomi, politik, dan budaya. Ia mengolok-olok kita. Ia membangkitkan solilokui dalam setiap relung jiwa pembaca puisi-puisinya. Karena itu, saya menilai bahwa sudah semestinya ia menjadi sosok penyair mutakhir yang memperoleh dua penghargaan sastra sekaligus.
Sungguh asyik membaca buku kumpulan puisi ini. Kesan saya, penyair telah berproses dengan pencarian estetika dan pembebasan konvensi penciptaan puisi. Ia juga membebaskan diri dari logosentrisme kekuasaan dan hierarki yang melingkupinya.
Baca juga : Niwatakwaca dan Kejahatan Wacana

S Prasetyo Utomo
Sastrawan, Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes