Rusia menentang upaya Ukraina bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), aliansi militer Barat pimpinan AS. Rusia merasa terancam jika kekuatan NATO hadir di Ukraina, tetangga yang berbatasan langsung.
Oleh
Redaksi
Β·2 menit baca
JONATHAN NACKSTRAND/POOL/AFP
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken (kiri) bertemu dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov (kanan) di Stockholm, Swedia, 2 Desember 2021. Kedua menlu menggelar pembicaraan di sela-sela pertemuan Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE).
Era Perang Dingin semakin jauh ditinggalkan, tetapi pertarungan Amerika Serikat dengan Rusia, sebagai ahli waris utama Uni Soviet, tampaknya belum surut.
Ketegangan hubungan AS-Rusia kembali memuncak pekan ini sebagai komplikasi atas krisis hubungan Rusia dengan Ukraina yang pro-Barat. Muncul spekulasi tentang kemungkinan Rusia menginvasi Ukraina, negara tetangga yang berbatasan langsung. Rusia sudah mengerahkan sekitar 90.000 personel tentara ke garis perbatasan.
Kekhawatiran terhadap perang terbuka langsung bereskalasi karena Ukraina juga menggerakkan sekitar 125.000 personel tentaranya, mengambil posisi berhadapan dengan pasukan Rusia. AS dan negara Barat lain mengingatkan Rusia tentang harga sangat mahal jika Ukraina sampai diinvasi. Sejak awal terlihat AS dan sekutunya mendukung Ukraina.
Tampak jelas pula, sumber utama krisis hubungan Rusia dengan Ukraina terletak pada soal relasi dengan dunia Barat. Rusia menentang upaya Ukraina bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), aliansi militer Barat pimpinan AS. Presiden Rusia Vladimir Putin berkali-kali mengingatkan Barat agar menghentikan ekspansi keanggotaan NATO ke negara-negara bekas pecahan Uni Soviet.
ANATOLII STEPANOV/AFP
Prajurit Ukraina berjaga-jaga di garis depan, tidak jauh dari Gorlivka, wilayah Donetsk, Ukraina timur, 25 November 2021. Negara itu menghadapi ancaman pemberontak yang dilaporkan mendapat dukungan dari Rusia.
Sudah terbayang, Rusia merasa terancam jika kekuatan NATO hadir di Ukraina, tetangga yang berbatasan langsung. Sementara Pakta Warsawa, sebagai penantang NATO, bubar.
Pada sisi lain, Rusia juga tetap berambisi mendominasi negara-negara pecahan Uni Soviet. Sebagai ahli waris utama Uni Soviet, Rusia misalnya tak rela Ukraina bergabung dengan Barat. Namun, mayoritas warga Ukraina, yang mungkin masih menyimpan trauma atas kekejaman era Uni Soviet, ingin berpaling dari Rusia dan berkiblat ke Barat.
Keinginan masyarakat bergabung dengan Barat memuncak menjadi Revolusi Ukraina 2014. Revolusi itu terasa sebagai pukulan keras bagi Rusia karena menjatuhkan Presiden Viktor Fedorovych Yanukovych, sahabat kental Rusia. Yanukovych dipuji Rusia karena menjadi sahabat Kremlin, tetapi dibenci oleh rakyatnya sebab menentang keras upaya bergabung dengan Barat.
Keinginan masyarakat bergabung dengan Barat memuncak menjadi Revolusi Ukraina 2014.
Reaksi Rusia atas Revolusi Ukraina 2014 membuat berbagai kalangan terperangah. Terlebih, karena Rusia melampiaskan kemarahannya dengan mencaplok Semenanjung Krimea, milik Ukraina.
Ukraina juga terus digoyang gerakan separatis di wilayah timur, yang menewaskan belasan ribu orang. Rusia membantah memberi dukungan kepada kaum separatis. Namun, kecurigaan terhadap intervensi Kremlin telanjur tinggi.
Perasaan curiga semakin menjadi-jadi ketika Rusia menggerakkan pasukan ke dekat garis perbatasan wilayah Ukraina. Manuver pasukan Rusia dinilai sebagai bagian dari intimidasi terhadap Ukraina.
Peta pertarungan menjadi rumit karena AS dan negara Barat lainnya ada di balik Ukraina. Berbagai kalangan mengharapkan upaya diplomasi yang sedang berlangsung antara AS dan Rusia bisa menghentikan konflik dan mencegah perang.