Banyak kalangan menilai, dalam menyikapi gejolak harga pangan beberapa waktu terakhir pemerintah tak konsisten menjalankan amanat peraturan yang ada, terutama Pasal 3 Ayat (1) dan (2) Permendag No 7/2020.
Oleh
TOTO SUBANDRIYO
·4 menit baca
Kompas
Didie SW
Beberapa pekan terakhir para ibu rumah tangga dan pedagang makanan, terutama pedagang makanan gorengan, merasa gusar. Harga minyak goreng melonjak tajam. Minyak goreng kemasan sederhana, yang sebelumnya Rp 10.000-Rp 11.500 per liter, kini Rp 16.000 per liter. Bahkan minyak goreng dengan kemasan premium mencapai Rp 17.500 per liter.
Harga itu jauh di atas harga acuan yang ditetapkan pemerintah. Permendag No 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen telah menetapkan harga acuan delapan komoditas pangan: jagung, kedelai, gula, minyak goreng, bawang merah, daging sapi, daging ayam, dan telur.
Harga acuan minyak goreng kemasan sederhana di tingkat konsumen ditetapkan Rp 11.000 per liter.
Kegusaran para ibu rumah tangga dan para pedagang makanan akibat lonjakan harga minyak goreng ini merupakan episode baru dari gejolak pangan yang telah berlangsung lebih dari setahun. Kondisi lebih memprihatinkan menimpa para peternak ayam petelur akibat tingginya harga jagung sebagai bahan baku utama pakan ayam, sementara pada waktu yang sama harga jual telur justru terpuruk.
Gejolak harga pangan di Indonesia ini imbas dari turbulensi harga pangan di pasar dunia sejak 2020 hingga saat ini.
Gejolak harga pangan di Indonesia ini imbas dari turbulensi harga pangan di pasar dunia sejak 2020 hingga saat ini. Bahkan belum lama ini Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Dana Moneter Internasional (IMF) telah mengingatkan dunia internasional karena terjadi lagi lonjakan Indeks Harga Pangan Dunia (WFPI) pada September 2021 rata-rata 130 poin (tertinggi selama sepuluh tahun terakhir). Naik 1,5 poin (1,2 persen) dibanding Agustus 2021 dan 32,1 poin (32,8 persen) dibanding Agustus 2020.
Lonjakan WFPI ini terutama dipicu oleh kenaikan harga biji-bijian (sereal), minyak nabati, susu, dan gula. Indeks Harga Sereal rata-rata 132,5 poin pada September 2021, naik 2,6 poin (2,0 persen) dari Agustus 2021 dan 28,5 poin (27,3 persen) di atas level September 2020.
Lonjakan harga minyak goreng yang sangat dirasakan para ibu rumah tangga dan penjual makanan di Indonesia saat ini disebabkan oleh naiknya Indeks Harga Minyak Nabati Dunia pada September 2021 rata-rata 168,6 poin, naik 2,9 poin (1,7 persen) dari Agustus 2021 dan sekitar 60 persen dari September 2020.
Kenaikan ini terutama didorong oleh kenaikan harga minyak sawit dan minyak lobak. Harga minyak sawit internasional naik tiga bulan berturut-turut mencapai level tertinggi selama sepuluh tahun terakhir. Kenaikan ini dipicu oleh permintaan impor global yang kuat karena kekhawatiran terjadi penurunan produksi akibat kurangnya tenaga kerja migran di Malaysia yang terus berlanjut.
Turbulensi harga pangan terjadi bersamaan dengan berkecamuknya pandemi Covid-19. Pandemi telah membuat hilangnya pendapatan banyak keluarga yang akan berdampak pada kerentanan dan kerawanan pangan. Oleh karena itu, pemerintah di semua tingkatan perlu mengkaji ulang instrumen yang selama ini digunakan untuk mengukur tingkat ketahanan dan kerentanan pangan.
Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota harus memperbarui Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vurnerability Atlas/FSVA) disesuaikan kondisi pandemi. Instrumen FSVA merupakan peta tematik dengan visualisasi geografis yang menggambarkan situasi ketahanan dan kerentanan pangan hingga wilayah desa. Indikator yang dipakai tingkat ketersediaan pangan, keterjangkauan, dan pemanfaatan pangan.
Pemerintah dituntut untuk menjaga stabilitas produksi pangan serta menjaga rantai pasok pangan domestik tetap lancar. BPS mencatat sekitar 29,12 juta orang atau 14,28 persen penduduk usia kerja terdampak pandemi. Terjadi penurunan upah buruh rata-rata 5,18 persen dari Rp 2,91 juta per bulan pada Agustus 2019 menjadi Rp 2,76 juta pada Agustus 2020.
Survei Bank Dunia bertajuk ”Indonesia High-frequency Monitoring of Covid-19 Impacts” mendapati 13 persen rumah tangga melaporkan kekurangan makanan yang lebih buruk akibat pendapatan pada kurun Mei-Agustus 2020 menurun. Pengurangan pendapatan itu berkisar 35-50 persen di seluruh sektor.
Menjaga daya beli
Berbagai upaya perlu dilakukan untuk mengatasi dampak turbulensi harga pangan serta pandemi pada daya beli dan akses pangan rumah tangga. Termasuk dengan memperbanyak bantuan pangan dan suntikan dana tunai berupa bantuan langsung tunai ataupun kegiatan padat karya (cash for work).
Agar produksi dan pasokan pangan tetap terjaga, pemerintah perlu menjaga animo para petani dalam melakukan usaha tani.
Agar produksi dan pasokan pangan tetap terjaga, pemerintah perlu menjaga animo para petani dalam melakukan usaha tani. Selain memberikan bantuan berupa benih, peralatan, pakan ternak, dukungan kesehatan hewan, dan input pertanian lainnya, pemerintah juga perlu memberikan jaminan pemasaran.
Untuk mengantisipasi terjadinya kekurangan gizi dan meningkatnya kemiskinan, perlu diinovasi program cadangan pangan keluarga. Antara lain dalam bentuk pembagian benih dan peralatan berkebun di rumah, sistem penyimpanan makanan, dan unggas serta ternak kecil lain untuk meningkatkan gizi rumah tangga dan mendiversifikasi pendapatan.
ARSIP PRIBADI
Toto Subandriyo
Banyak kalangan menilai, dalam menyikapi gejolak harga pangan beberapa waktu terakhir pemerintah tak konsisten menjalankan amanat peraturan yang ada, terutama Pasal 3 Ayat (1) dan (2) Permendag No 7/2020. Jika pemerintah sejak awal konsisten melaksanakan permendag ini, gonjang-ganjing harga telur dan jagung tak akan berlarut-larut menguras energi bangsa, karena pemerintah bisa menugasi BUMN membeli telur yang harganya terpuruk serta menjual jagung kepada para peternak.
Untuk melindungi pasar domestik dari gejolak harga di pasar global, sebaiknya pemerintah juga menciptakan instrumen yang mampu berperan sebagai isolator.
Toto SubandriyoPemerhati Masalah Sosial Ekonomi Pertanian Lulusan IPB dan Universitas Jenderal Soedirman