Setiap orang bisa menjadi pahlawan. Bukan karena ikut bertempur melawan penjajah, melainkan juga dengan bertempur melawan diri sendiri untuk berbuat kebaikan dan melawan pengaruh buruk.
Oleh
Zainoel B Biran
·3 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Sejumlah seniman Surabaya dan pelajar menggelar performance art 120 patung manusia ”Mana yang Asli dan Palsu” dalam rangkaian Surabaya Juang di depan Gedung Negara Grahadi Surabaya, Jawa Timur, Senin (2/11/2009). Kegiatan ini memaknai perjuangan para pahlawan merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Dua hal selalu muncul dalam ingatan setiap Hari Pahlawan, 10 November. Pertama, paman, adik ibu saya. Ia saat masih usia 15 tahun meminta izin kakek ikut berperang melawan Belanda. Kedua, ibu saya, yang berani ke lereng Gunung Kawi, mengantar bahan pangan dan sandang untuk gerilyawan kita.
Paman saya masuk tentara pelajar, bergerilya di hutan-hutan. Sesekali, diam-diam datang bersama beberapa teman yang kemudian menjadi sahabat kentalnya.
Kami saat itu mengungsi di kota Malang. Ibu hanya diantar oleh seorang pengemudi bendi, sementara ayah sibuk di rumah sakit di Malang sebagai dokter. Pada akhir Minggu ayah saya juga ke perdesaan di kaki Gunung Kawi, memeriksa dan mengobati penduduk. Gratis.
Mereka adalah pahlawan dengan caranya sendiri-sendiri. Paman dan ibu saya melakukan semua itu secara spontan, penuh keikhlasan demi negara dan bangsa. Saya, waktu itu masih bersekolah di taman kanak-kanak, bangga menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Setelah menjadi lebih dewasa, saya mencoba menafsir ulang makna kata pahlawan. Setiap orang bisa menjadi pahlawan. Bukan karena ikut bertempur melawan penjajah, melainkan juga dengan bertempur melawan diri sendiri untuk berbuat kebaikan. Juga bertempur melawan pengaruh buruk. Bukankah kita semua pernah belajar agama yang menyatakan bahwa ”musuh” terbesar kita adalah diri sendiri? Sombong, mau menang sendiri, dengki, culas, serakah, tidak tulus, dan seterusnya.
Tak usah melihat orang lain atau asyik mempersoalkan orang lain. Lihatlah diri sendiri. Tanyakan, sudahkah aku berhasil menjadi pahlawan bagi diri sendiri? Pahlawan bagi keluargaku? Mudah-mudahan sudah.
Menjadi pahlawan butuh keberanian, ketulusan, dan pengorbanan. Keempat kata ini, dalam kamus bahasa Indonesia, tercakup dalam makna kepahlawanan.
Kita tidak usah menjadi pahlawan yang disanjung-sanjung. Jadilah pahlawan untuk diri sendiri, keluarga, dan orang-orang di sekitar kita. Merdeka!
Zainoel B Biran
Pengamat Sosial, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten
Resapan Digusur?
Hampir setiap tahun, kami di perumahan Taman Alfa Indah, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat, selalu khawatir. Hujan deras sebentar, jalanan pasti tergenang tinggi. Terutama di blok I dan J.
Tahun 2020 banjir masuk rumah setumit. Rumah kami bahkan banjir selutut. Meski di sekitar lapangan tenis perumahan kami ada lokasi resapan air seluas lebih dari 4.500 meter persegi, kami terus kebanjiran.
Oleh karena itu, kami gelisah sekali ketika di lokasi resapan air itu akan dibangun dua gedung bertingkat sekolah terpadu. Padahal, sekitar 500 meter dari lokasi tersebut sudah ada sekolah terpadu yang lebih besar lahannya.
Rencana pembangunan sekolah baru itu pun tanpa sosialisasi dari pihak pemilik lahan, yakni Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota kepada warga Taman Alfa Indah. Menurut calon pembangun sekolah terpadu itu, mereka sudah memiliki pergub dan tinggal menunggu izin bangunan.
Mengapa keluhan banjir kami justru ”dijawab” dengan pembangunan gedung bertingkat di tempat resapan air?
Banjir setiap tahun mengancam Taman Alfa Indah meski sungai buangan sudah diturap. Kenapa tidak dibangun sumur resapan, agar ”air genangan tidak tumpah ke tempat lain” seperti janji kampanye Pak Gubernur Anies Baswedan yang terhormat?
Mohon Pemprov DKI Jakarta meninjau kembali rencana pembangunan ini.