Teknologi Internet dan Pergeseran Orientasi Dominasi Sosial
Ketika negara-negara kawasan Timur Tengah membuka ruang berprosesnya pergeseran orientasi dominasi sosial lewat fokus peningkatan teknologi digital, bangsa Indonesia justru menenggelamkan diri pada persoalan teologis.
Oleh
ADJIE SURADJI
·5 menit baca
Jaringan peneliti Arab Barometer baru-baru ini memberikan wawasan tentang sikap nilai sosial, politik. dan ekonomi masyarakat Timur Tengah dalam konteks derajat kereligiusitasannya.
Survei opini publik di Timur Tengah dan Afrika Utara sejak 2006 ini memberikan catatan sangat mengejutkan bahwa terjadi pergeseran cara berpikir dan perubahan sikap tentang hubungan antara agama dan modernitas. Terjadi penurunan tingkat kesalehan masyarakat terhadap agama institusional yang disebabkan oleh kekecewaan ketika agama tak lagi bisa dijadikan penyejuk spiritual.
Beberapa survei komprehensif yang dilakukan di beberapa negara kawasan Timur Tengah, termasuk di Iran, menghasilkan kesimpulan sama: gelombang tuntutan sekularisasi dan seruan melakukan reformasi terhadap lembaga keagamaan semakin besar. Bahkan, Sudan yang mayoritas (97 persen) penduduknya beragama Islam, sudah memilih sekuler (2020), meninggalkan hukum Islam (syariat Islam), memisahkan agama dari negara dan beralih kiblat pada demokrasi.
Perubahan sikap masyarakat di negara-negara kawasan Timur Tengah menjadi ancaman tersendiri. Lembaga peneliti GAMAAN (Group for Analyzing and Measuring Attitudes in Iran) berkolaborasi dengan Ladan Boroumand (Pusat Hak Asasi Manusia Abdorrahman Boroumand di Iran) mencatat bahwa kehadiran internet dan perkembangan media sosial (medsos) telah meningkatkan gelombang sekularisasi.
Selain penetrasi internet dan medsos, tingkat melek huruf di negara-negara kawasan Timur Tengah juga tumbuh secara substansial. Kondisi ini membawa perasaan ketakutan masyarakat terhadap hal sensitif secara politik, seperti membicarakan isu-isu agama, semakin memudar sehingga menjadikan lebih terbuka.
Dari anonimitas survei digital, diketahui pula bahwa pada umumnya masyarakat Timur Tengah sangat kecewa dan sudah bosan (muak) terhadap agama institusional yang realitasnya hanya menciptakan sikap intoleran, persekusi, diskriminasi, radikalisme (terorisme), hingga konflik bersenjata baik internasional maupun non-internasional.
Peningkatan penetrasi internet di beberapa negara kawasan Timur Tengah ditengarai oleh jumlah pengguna medsos yang terus bertambah secara signifikan. Seperti di Iran, tingkat penetrasi internet telah sebanding dengan Italia, di mana orang dewasa setidaknya memiliki satu platform media sosial.
Namun, terlepas dari persoalan yang melatari perubahan sikap masyarakat, apakah ekonomi, sosial politik, dan ideologi, realitasnya sekarang bahwa proxy-war dan konflik bersenjata/komunal masih, tengah, dan sedang melanda negara-negara kawasan Timur Tengah.
Penetrasi internet dan medsos telah menjadi pandemi. Ibarat virus mengerikan yang berjangkit serempak menerjang negara-negara teokrasi kawasan Timur Tengah.
Dalam proses umum sekularisasi, masyarakat Timur Tengah terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, masyarakat yang secara tegas mengubah orientasi keimanannya, pindah ke agama lain, agnostik atau ateis. Kedua, masyarakat yang berpandangan kritis menginginkan pemisahan agama dari negara (sekuler). Ketiga, munculnya opini (sekuler), yaitu tuntutan kebebasan beragama dan kesetaraan jender, termasuk menentang regulasi yang mewajibkan perempuan mengenakan jilbab (hijab).
Merespons perkembangan teknologi internet dan pergeseran orientasi dominasi sosial (ODS), Kerajaan Arab Saudi juga telah melakukan modernisasi dan reformasi lewat gagasan yang dirumuskan dalam visi Arab Saudi 2030. Tiga pilar penting visi Arab 2030, yaitu: masyarakat yang dinamis (a vibrant society), pengembangan ekonomi (a thriving economy), dan ambisi nasional negara (an ambition nation).
Merespons perkembangan teknologi internet dan pergeseran orientasi dominasi sosial, Kerajaan Arab Saudi juga telah melakukan modernisasi dan reformasi.
Adapun latar belakang perubahan sikap Arab Saudi dari konservatif menjadi modern adalah untuk menghilangkan ketergantungannya terhadap minyak bumi sebagai sumber energi yang semakin menipis dan makin banyaknya negara yang mencari energi alternatif pengganti minyak bumi.
Salah satu realisasi program Arab Saudi dalam memodernisasi negaranya adalah mengeluarkan kebijakan baru berupa pembentukan lembaga baru yang bertugas memastikan bahwa Al Quran dan Hadis tak dipakai untuk menjustifikasi tindakan kelompok radikal atau teroris.
Bahkan, agar tak tertinggal dalam percepatan teknologi digital dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) Kerajaan Arab Saudi berambisi menjadi terbesar kelima dunia dalam bidang teknologi digital internet of things (IoT) hingga komputasi awan dengan melakukan peningkatan pembangunan sektor teknologi.
Persoalannya kemudian adalah ketika negara-negara kawasan Timur Tengah, terutama Arab Saudi, membuka ruang berprosesnya pergeseran orientasi dominasi sosial lewat fokus peningkatan teknologi digital dan AI, kenapa bangsa Indonesia justru semakin menenggelamkan diri pada persoalan teologis? Memberikan label-label agama pada seluruh aspek kehidupan dan malah memanfaatkan (identitas) agama sebagai branding bisnis yang bersifat profan dan duniawi. Apakah karena bernilai ekonomi?
Pemberian label (agama) identik dengan mengampanyekan eksklusivisme yang justru berpotensi memecah belah kesatuan dan persatuan karena bersifat politis. Dan itu bertentangan dengan moto atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika bangsa Indonesia.
Sebagai religious nation state, Indonesia telah mendasarkan diri pada Pancasila dan menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa di sila pertamanya, yang semestinya sudah final. Artinya, seluruh warga negara Indonesia adalah manusia yang meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa.
Dampak lain pemberian label agama membuat masyarakat (Indonesia) menjadi over sensitive dalam merespons setiap kritik teologis meski itu hanya untuk meluruskan nalar politik atau fakta historis.
Politik itu penting, dalam konteks kekuasaan karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Politik juga efektif untuk mewujudkan visi dan misi yang mulia dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Namun, realitas politik tak selalu seperti yang diharap. Politik lebih sering dijadikan panggung tontonan kompetisi menghalalkan segala cara dan senjata libido kekuasaan serta dominasi sosial, yang justru menyengsarakan rakyat, memberangus nilai-nilai kebaikan serta kebenaran.
Dominasi sosial adalah hierarki sosial masyarakat dalam bentuk pembagian kelompok dominan atau mayoritas dan subordinat atau minoritas (Social Dominance Theory, Jim Sidanius & Felicia Pratto, 1999). Ketika politik digunakan untuk membangun dominasi sosial dengan memanfaatkan agama sebagai identitasnya, maka pasti akan merusak nilai teologis (nilai rohani) dalam ajaran agama tersebut.
Adjie Suradji, Alumnus Fakultas Sains, Universitas Karachi, Pakistan