Kekerasan, Media, dan Literasi Agama
Partisipasi rakyat dan segenap elemen masyarakat sangat dibutuhkan untuk meredam ”bara api” yang bisa menyulut kekerasan atas nama agama. Media berperan menguatkan literasi agama di masyarakat.
Fakta kasus kekerasan atas nama agama yang terjadi beruntun selama September 2021 mesti menjadi atensi urgen seluruh rakyat. Detail kasus yang diberitakan sejumlah media nasional menarasikan kegelisahan publik berhadapan dengan teror kekerasan berbasis agama.
Kegelisahan tersebut terepresentasi dalam tiga kasus kekerasan, yaitu penyerangan terhadap Ustaz Armand atau Alex di Tangerang hingga meninggal, penyerangan terhadap Ustaz Abu Syahid Chaniago yang sedang berceramah di Masjid Baitusyukur, Batam, Kepulauan Riau, dan pembakaran mimbar Masjid Raya Makassar.
Motif kekerasan menjadi ranah aparat penegak hukum. Namun, publik berhak mengingatkan pihak kepolisian agar tidak sekadar berhenti pada sejarah ”kelam” masa lalu yang bisa saja memutus mata rantai dan spiral kekerasan dalam diri pelaku yang mestinya diurai.
Proses hukum harus berakhir di pengadilan demi tegaknya keadilan. Kenekatan para pelaku yang menyerang ulama di ruang publik mesti menjadi fokus kajian. ”Keberanian” pelaku ini sekurang-kurangnya menegaskan bahwa ada kesadaran dan niat dari dalam diri untuk melakukan kekerasan walau cuma secuil. Proses hukum yang benar dan adil itulah yang menjadi jalan rasional untuk meminimalisasi dan apabila perlu menghentikan alur teror kekerasan berbasis agama.
Baca Juga: Jebakan ”Treadmill” dalam Penanganan Kekerasan
Kasus-kasus kekerasan berbasis agama, entah yang diberitakan media ataupun yang luput dari pantauan media, mesti meningkatkan kewaspadaan segenap komponen bangsa, khususnya aparat keamanan. Ancaman kekerasan menjelang akhir tahun telah menjadi sebuah keniscayaan.
Kasus-kasus kekerasan berbasis agama biasanya mengalami eskalasi menjelang akhir tahun. Maka, kasus penyerangan terhadap pemuka agama di Tangerang dan Batam serta pembakaran mimbar masjid di Makassar mesti dibaca sebagai sebuah pesan dan peringatan dini menjelang akhir tahun 2021.
Kekerasan atas nama agama merupakan isu yang sangat sensitif. Isu ini memiliki potensi penghancur bangsa yang dahsyat.
Pesan dini tersebut mesti menyadarkan segenap komponen bangsa agar lebih waspada, peka, dan tanggap membaca realitas sebagai antisipasi menjelang akhir tahun. Kekerasan atas nama agama merupakan isu yang sangat sensitif. Isu ini memiliki potensi penghancur bangsa yang dahsyat.
Maka, partisipasi rakyat dan segenap elemen publik sangat dibutuhkan untuk meredam ”bara api” yang bisa menyulut kekerasan berdaya merusak keutuhan bangsa. Partisipasi tersebut merupakan ikhtiar tulus merawat hidup bersama. Warga segera melaporkan kepada pihak keamanan terkait perundungan, ancaman, provokasi intoleran melalui media sosial, dan kehadiran kelompok-kelompok yang mengganggu kenyamanan hidup warga.
Cerdaskan publik
Menurut Agus Sudibyo dkk (2001), media memiliki peran signifikan dalam mengonstruksi realitas terkait kekerasan atas nama agama. Berdasarkan pemberitaan Media Dakwah, Republika, Kompas, dan Suara Pembaruan dalam kasus pemboman Masjid Istiqlal, kerusuhan Ketapang, kerusuhan Kupang, dan kerusuhan Maluku, realitas hasil konstruksi media berdasarkan ”politik pemberitaan” di ruang redaksi bisa menghadirkan prasangka yang dapat memengaruhi emosi irasionalitas warga (kurang cerdas) yang dapat berujung pada kekerasan atas nama agama.
Konstruksi realitas yang berujung prasangka kekerasan atas nama agama itu bisa kita runut dari evaluasi-evaluasi yang diberikan media terhadap pihak yang terlibat dalam kekerasan itu. Fakta itu tampak dari penggunaan istilah-istilah kunci yang bersifat konotatif, metafor dan hiperbolik serta simbol-simbol visual (foto) yang dipakai merekonstruksi fakta. Prasangka itu terpancar juga dari prioritas yang diberikan media kepada sumber berita tertentu dan bagaimana pernyataan sumber berita ditonjolkan atau sebaliknya ditenggelamkan (proses framing) (2001: 173).
Publik mengharapkan agar media mainstream tampil sebagai hati nurani bangsa yang tidak pernah lelah menyuarakan kebenaran dan kebaikan bersama. Media arus utama harus tampil melawan bandang hoaks yang disebar kelompok perusuh melalui media sosial ke sudut-sudut kesadaran warga melalui informasi-informasi berkualitas dengan medium bahasa yang sederhana agar lebih mudah dipahami warga. Pemahaman yang utuh atas realitas bangsa akan menjadi semacam zat perekat yang mengutuhkan segenap komponen agar lebih setia merawat tubuh bangsa ini.
Baca Juga: Jurnalisme Damai Redam Konflik dan Tawarkan Solusi
Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2006), kunci pencerdasan publik adalah rasa etika dan tanggung jawab personal yang menjadi sebuah panduan moral. Media memiliki tanggung jawab ”lebih” untuk menyuarakan nurani demi menjaga keutuhan bangsa. Media mesti memproduksi informasi yang akurat, adil, imbang, berfokus pada warga, berpikiran independen dan berani. Panduan etika dan moral ini akan menentang asumsi, persepsi dan prasangka yang bertebaran di media sosial yang mudah memicu sentimen primordial, mengaduk-aduk emosi sentimentil dan tidak jarang memproduksi kekerasan berbasis agama.
Akhirnya, media (mainstream) memiliki tanggung jawab sosial yang signifikan karena daya penetrasi ke ruang publik sangat kuat. Kekuatan penetrasi melalui informasi inilah yang diharapkan membawa pencerahan sehingga meminimalisasi sentimen primordial dan prasangka lalu menutup celah hadirnya kekerasan berbasis agama.
Literasi agama
Banyak penelitian membuktikan bahwa Indonesia adalah negara sangat religius. Religiositas adalah salah satu modal sosial yang bisa menggerakkan kemajuan peradaban kemanusiaan. Religiositas mesti membuat warga hidup dalam suasana penuh rasa empati kemanusiaan, dermawan, baik hati dan penuh kedamaian sehingga terdorong untuk kreatif dan inovatif dalam berbagai dimensi hidup.
Faktanya, kehidupan rakyat ditilik dari aspek keberagamaan menghadirkan sebuah paradoks yang luar biasa: antara kehebohan beragama dan kebangkrutan moralitas. Fakta ini terjadi mungkin saja karena agama hanya dijalankan sebagai ritual tanpa makna. Bisa saja orang yang mengaku beragama lebih sibuk menumpuk kesalehan privat ketimbang menebarkan kesalehan sosial di ruang publik.
Salah satu hal yang mungkin bisa dilakukan adalah penguatan literasi agama di ruang-ruang publik khususnya melalui institusi pendidikan. Pegiat literasi agama mengajak segenap penganut menjadikan agama sebagai penggerak perubahan untuk melakukan kebaikan dan kemajuan dalam hidup. Hidup keagamaan tidak hanya heboh di rumha ibadah tetapi menyebarkan aroma kebaikan dan kasih di ruang-ruang sosial tanpa sekat-sekat primodial.
Baca Juga: Menumbuhkan Literasi Agama
Menurut Musdah Mulia (2021), kemampuan literasi agama setidaknya membuat penganut agama menghayati konsep agama dan martabat kemanusiaan, relasi agama dan negara, agama dan ekologi, serta agama dan mayantara untuk selanjutnya mengimplementasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan nyata demi mewujudkan Indonesia maju.
Minimal agama dapat melakukan tiga hal. Pertama, upaya humanisasi yaitu memanusiakan manusia dan mengangkat harkat martabat manusia sehingga berkuranglah praktik diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan ketidakadilan. Kedua, upaya liberasi, yaitu membebaskan manusia dari kemiskinan, kelaparan dan penindasan. Ketiga, upaya transendensi, menguatkan spiritualitas manusia agar hidup lebih bermakna bagi semua makhluk di alam semesta.
Penguatan literasi agama mencapai kulminasi ketika agama (religiositas) harus berfungsi menjadi pengetahuan untuk mewujudkan hidup yang berkualitas di tengah kehidupan berbangsa. Penguatan literasi agama yang mumpuni akan menghasilkan energi sosial yang menggerakkan segenap warga agar bersinergi merawat Indonesia menjadi ”rumah bersama” yang damai, aman, toleran, demokratis dan sejahtera.
Steph Tupeng Witin, Penulis, Rohaniwan Katolik