Pemuda dan Pemimpin
Para pemuda Indonesia bertanggung jawab berperan di berbagai lini, puncaknya pada 2045, agar kita benar-benar mencapai Indonesia Emas. Untuk itu pemuda mesti mampu merangkul seluruh generasi untuk saling mendukung.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F10%2F367775ea-10c0-442a-8811-acbfb8a4ed34_jpg.jpg)
Foto sejumlah tokoh yang berperan dalam Sumpah Pemuda ditampilkan dalam layar saat Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo menyampaikan pidato pada Kongres Kebangsaan di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/10/2021). Kegiatan untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda tersebut mengambil tema ”Ikhtiar Memperadabkan Bangsa”.
Terlampaui sudah perjalanan historis nan inspiratif, 93 tahun ikrar Sumpah Pemuda. Menjadi sesanti setiap pemuda Indonesia.
Sumpah untuk bertumpah darah, berbangsa, dan berbahasa yang satu merepresentasikan realitas saat itu. Suatu upaya yang penuh perjuangan mengingat para pemuda masih dalam tekanan penjajah. Mereka harus menanggalkan egosentrisme dan etnosentrisme untuk mewujudkan cita-cita luhur Indonesia merdeka.
Setiap pemuda dilahirkan untuk memperjuangkan hal-hal besar. Kini, para pemuda Indonesia bertanggung jawab untuk berperan di berbagai lini, puncaknya pada 2045, agar kita benar-benar mencapai Indonesia Emas.
Mari kita berjuang menghadapi disrupsi teknologi digital dan dinamika zaman yang makin kompleks. Untuk itu, dibutuhkan perubahan yang bersifat inovatif, adaptif, dan transformatif. Oleh karena itu, para pemuda harus menjadi pejuang sekaligus pemimpin agar perubahan terwujud dan membawa manfaat bagi sesama.
Pemimpin bukan hanya orang yang mampu menduduki jabatan strategis, menguasai kompetensi level tertinggi, atau sekadar memiliki kekayaan berlimpah, tetapi seorang pemimpin pertama-tama adalah seseorang yang mampu merangkul banyak orang untuk maju bersama.
Dalam konteks zaman ini, pemuda mesti mampu merangkul seluruh generasi untuk saling belajar, saling mendewasakan pola berpikir, dan saling mendukung agar bersama-sama berkontribusi bagi kemajuan bangsa.
Setiap pemuda juga diharapkan mampu memberi pemahaman dan dorongan lebih terhadap sesama pemuda atau siapa pun yang belum termotivasi agar kita sebagai bangsa bersatu, bangkit, dan tumbuh bersama membangun dan menggapai cita-cita Indonesia Maju.
Ignasius Lintang Nusantara
Presidium SMA Kolese De Britto Yogyakarta 2020/2021
Peran Pemuda
Untuk tulisan ini, sumber bacaan antara lain tulisan di Kompas, ”Rejuvenasi Kemerdekaan” (Kamis, 19/8/2021) dan ”Berseminya Sektor Pertanian” (Selasa, 7/9/2021).
Pada 1942-1945 yang berkuasa di Indonesia ialah pemerintah militer Jepang. Dilarang keras mendengarkan siaran luar negeri. Banyak pemuda yang sembunyi-sembunyi menyetel radio luar negeri dan mendengar bahwa Jepang telah menyerah kepada sekutu.
Berarti Indonesia dalam keadaan kosong kekuasaan. Para pemuda pun segera menghubungi para pemimpin. Pada 16 Agustus 1945 dini hari, dicapai kesepakatan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Maka, pada 17 Agustus 1945 pukul 10.00, proklamasi dikumandangkan oleh Ir Soekarno didampingi Drs Moh Hatta.
Di Semarang, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, sekelompok pemuda menemui para pemimpin setempat dan menawarkan diri untuk membantu pemindahan kekuasaan dari Jepang ke Indonesia. Mereka terharu dan menerima kesediaan para pemuda itu. Siapa lagi yang dapat menjaga nusa dan bangsa kalau bukan para pemuda.
Di Semarang juga dibentuk Angkatan Muda Kereta Api yang gigih menjaga perkeretaapian agar tidak diganggu siapa pun. Kisah ini menunjukkan jasa para pemuda terhadap bangsa dan negara.
Kisah selanjutnya mengenai pertanian. Tuhan memberi modal sangat berharga, yaitu tanah yang subur. Hasil pertaniannya baik sekali, membuat penjajah kita kaya raya.
Dulu di Semarang ada raja gula dengan kekayaan melimpah. Berkarung-karung gula dikapalkan lewat pelabuhan Semarang dan menghasilkan laba berlipat ganda. Apakah para pemuda kita tidak ingin mengikuti jejaknya?
Dulu alat-alat pertanian masih sangat sederhana. Sekarang alat-alat pertanian sudah modern dan lebih praktis. Mengapa para pemuda tidak membentuk Angkatan Muda Pertanian? Para pejabat publik harap mendukung usaha para pemuda ini. Kuncinya harus jujur dan disiplin.
Titi Supratignyo
Bendan Ngisor, Gajah Mungkur, Kota Semarang
Spirit Sumpah Pemuda
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F10%2F0f88e46d-2fc4-4634-a2f9-d933ffa29a80_jpg.jpg)
Siluet diorama berlatar Pasukan Pengibar Bendera seusai upacara di halaman Museum Sumpah Pemuda di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Kamis (28/10/2021). Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-93 secara sederhana mengambil tema ”Bersatu, Bangkit dan Tumbuh” digelar di tempat tersebut.
Ketika membaca edisi khusus Sumpah Pemuda di harian Kompas (Kamis, 28/10/2021), saya tergugah dan mengapresiasi harian ini. Berarti Kompas menggaungkan kembali spirit sumpah pemuda yang kini saya rasa meredup. Sungguh sangat relevan.
Hari-hari ini kita disuguhi hiruk-pikuk semangat memecah belah, bukan persatuan, dan ini dilakukan oleh sebagian komponen bangsa, politisi, intelektual, tokoh bangsa, mahasiswa, bahkan tokoh agama, berdalih kritik dan kebebasan pendapat.
Tahun 1928 silam, pemuda-pemuda kita melalui perenungan, kontemplasi, konstalisasi, bahkan debat, telah membuahkan semangat persatuan dan kesatuan dalam keindonesiaan. Suatu semangat yang melampaui masa. Inilah salah satu tonggak sejarah dalam perjalanan bangsa kita.
Karena itu, marilah kita gugah kembali spirit sumpah pemuda, spirit bersatu dalam keragaman, dalam kehidupan berbangsa kita yang sangat majemuk, seperti dikatakan Sukidi (rubrik Analisis Politik, Kamis, 28/10/2021).
Kemajemukan, jika tidak diikat dengan ikatan persatuan, bisa berakhir ke arah kutukan keberagaman. Semoga Indonesia tetap jaya.
Bharoto
Jl Kelud Timur, Semarang
Sumpah Pemuda
Semakin dekat tahun penentuan, 2024, dan membaca tulisan ”Sumpah Pemuda” Mas Hadisudjono Sastrosatomo (Kompas, 26/10/2021), saya tergerak mengungkapkan isi hati melalui media ini.
Belakangan ini terasa bahwa apa pun yang kita utarakan di negeri kita ini seakan tak bermakna. Yang ada hanya rasa lelah karena tak berhasil mengajak sesama warga bangsa untuk melihat ke dalam diri dan menilai keindonesiaan kita masing-masing.
Bangsa kita pernah bersumpah satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Indonesia. Ada Bhinneka Tunggal Ika, dalam wadah NKRI. Untuk melengkapi pewujudan dalam berperilaku, kita sepakat berpedoman pada Pancasila. Akankah semua itu bertahan sesudah tahun 2024?
Pancasila bukan agama, tetapi ia memberi kita arah dan tujuan yang sama untuk bersatu padu dalam bekerja sama membangun Indonesia, menjadikannya negara-bangsa yang bermartabat, maju, dan kuat. Sayangnya kesatuan gerak ini belum dapat direalisasikan karena kehadiran Pancasila masih dipersoalkan.

Warga mengikuti upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda di Kampung Sejahtera, Medan Petisah, Kota Medan, Sumatera Utara, Kamis (28/10/2021). Upacara peringatan 93 tahun Sumpah Pemuda tersebut diikuti warga dengan menggunakan pakaian adat.
Banyak orang, yang mengaku sebagai bagian dari bangsa ini, hidup di negeri ini, tetapi meragukan esensi kemanfaatan dan nilai penting Pancasila sebagai panduan kultural kita bersama. Mengamati gejala sosial yang tengah berkembang, terutama melalui media publik dan media sosial, saya khawatir nilai-nilai Pancasila—sebagai perekat bangsa—meluntur kekuatannya.
Saya bukan agamawan, bukan juga politisi, saya hanya rakyat biasa yang mencintai negeri ini. Ke mana pun saya melanglang buana, saya akan kembali ke negeri tercinta ini.
Akan tetapi, kini, untuk bisa hidup dengan nyaman, tenteram, dan damai, saya merasa saya harus bisa menegaskan pandangan hidup saya sebagai pribadi. Apakah saya akan memilih ber-Pancasila atau menanggalkannya?
Belakangan banyak orang menyebut dirinya kritikus, merasa dirinya pandai, serba tahu, senang berpolitik, berupaya memengaruhi pikiran orang banyak (atau sebenarnya mengacaukan pikiran orang?), menyempitkan konstelasi nilai-nilai Pancasila menjadi apa yang mereka nyatakan sebagai demokrasi.
Segala sesuatu harus dilihat dengan kacamata demokrasi, atas nama demokrasi. Entah apa maksudnya.
Saya tidak anti-demokrasi. Namun, apabila kita analisis, kita akan menemukan bahwa yang dimaksud dengan demokrasi itu dipersempit artinya menjadi kebebasan berpendapat dan kebebasan mengekspresikannya. Tak ada nilai-nilai lain yang kita hargai sebagai nilai-nilai Pancasila.
Atas dasar itu, orang boleh mencela siapa saja, melontarkan kritik tanpa harus mempertanggungjawabkannya, mencaci maki sesuka hati, merundung sesama, dan merendah-rendahkan nilai pemikiran orang tanpa alternatif yang lebih baik.
Mereka menunjukkan kuasa diri dan memaksakan kehendak, merendah-rendahkan derajat orang lain, menggunakan kata-kata yang tak santun, dan sebagainya.
Penyelesaian masalah tak lagi didasari konsensus, tetapi dengan suara terbanyak. Bukankah ini artinya melanggar hak asasi manusia?
Mengajak orang menjaga kesantunan, mengingatkan laku diri, disetarakan dengan ”membungkam” hak bersuara, menindas kemanusiaan, tindak otoriter dan anti-demokrasi, bahkan ”kriminalisasi”.
Dari sisi Pancasila, nilai kebebasan hanyalah sebagian dari nilai-nilai Pancasila. Bagian dari sila ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” (TAP MPR No 1/MPR/2003). Tetapi, dalam menerapkannya, misalnya dalam melontarkan kritik, kita tidak boleh mengabaikan nilai-nilai lain yang terikat sebagai satu kesatuan solid.
Sebagai manusia yang adil, beradab, dan beragama, kita wajib mengakui dan memperlakukan orang lain sesuai harkat dan martabatnya sebagai sesama makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Banyak hal harus kita perhatikan dan pertimbangkan apabila hendak menjadi manusia Indonesia Pancasilais. Jauh lebih rumit dari sekadar menjadi manusia demokratis.
Kita harus kembali pada kesantunan dan pekerti yang pernah diajarkan orangtua kita dan para pendiri negeri ini. Mewujudkan apa yang kini kita kenal sebagai kecerdasan emosi, kecerdasan sosial, dan kecerdasan moral, bukan semata kecerdasan intelektual. Butuh tekad dan usaha.
Bagaimanapun, ini adalah pilihan yang mesti kita buat apabila berkehendak meningkatkan keluhuran kita sebagai bangsa yang bermartabat. Mari kita tetapkan diri kita setelah memperingati Sumpah Pemuda.
Zainoel B Biran
Pengamat Sosial, Ciputat Timur, Tangerang Selatan
Edisi Khusus
Sejak pandemi, halaman Kompas turun drastis. Sebagai awam, saya tidak tahu apakah makin banyak halaman makin mahal ongkos cetaknya. Padahal, kalau saya simak, tiap hari banyak iklan berkualitas.
Kalaupun tidak terbit tebal, kenapa pada edisi khusus tetap terbit ”tipis’? Misalnya saat edisi ulang tahun Kompas, edisi kemerdekaan, dan terbaru edisi Sumpah Pemuda.
Yes Sugimo
Jl Melati Raya, Melatiwangi, Bandung 40616
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas perhatian yang disampaikan. Banyak faktor penentu tebal tipisnya halaman koran. Namun, kami selalu mengupayakan konten terbaik untuk pembaca.