Meneguhkan Identitas Nasional
Sumpah Pemuda 1928 menjadi momentum yang esensial dalam pembentukan identitas nasional yang semangatnya harus dijaga dan diwariskan. Tidak sebatas diwariskan antargenerasi, tetapi diisi hal-hal baru dan sesuai zaman.
Francis Fukuyama dalam buku Identitas: Tuntutan Martabat dan Politik Kebencian (2020) menegaskan pentingnya identitas nasional bagi suatu bangsa. Fukuyama berpendapat bahwa kekacauan di Timur Tengah yang belum selesai hingga kini salah satunya disebabkan oleh kegagalan bangsa-bangsa tersebut dalam merumuskan dan membentuk identitas nasional.
Pentingnya identitas nasional, Fukuyama merinci setidaknya ada enam fungsi identitas nasional. Pertama, berfungsi sebagai kemananan fisik. Menurut dia, identitas nasional yang lemah justru mengganggu stabilitas negara bahkan berpotensi perang saudara.
Kedua, identitas nasional juga berfungsi untuk kualitas pemerintahan. Tesisnya, kualitas pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang tidak koruptif, yang efektif, sehingga menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan kelompok, etnis, wilayah, dan suku serta keluarga.
Baca juga: Memperkuat Identitas Nasional
Ketiga, identitas nasional juga berfungsi fasilitator pembangunan ekonomi. Hal ini sejalan dengan fungsi kedua. Identitas nasional yang membanggakan akan membuat elite atau masyarakat akan bangga bekerja untuk negaranya. Demikian juga sebaliknya.
Fungsi keempat adalah identitas nasional mempromosikan tingkat kepercayaan (trust). Kepercayaan yang tinggi akan mendorong pertukaran ekonomi dan partisipasi politik, demikian juga sebaliknya.
Urgensi identitas nasional selanjutnya adalah memperkuat dan mempertahankan jejaring sosial dalam pembangunan ekonomi sehingga mengurangi kesenjangan ekonomi. Intinya, perasaan keterikatan dalam suatu identitas yang sama akan menumbuhkan kepercayaan sehingga menimbulkan kepercayaan lalu kerja sama untuk tolong menolong satu sama lain. Fungsi terakhir adalah identitas nasional diperlukan agar demokrasi aktif dan berjalan secara efektif.
Perasaan keterikatan dalam suatu identitas yang sama akan menumbuhkan kepercayaan.
Kita bersyukur para pendahulu kita, pendiri bangsa kita menyadari betul apa yang Fukuyama tekankan. Rumusan identitas nasional menjadi kesadaran penting sejak awal dalam pembangunan negara Indonesia. Jika melihat perjalanan perjuangan bangsa, para pendiri bangsa Indonesia menginsafi bahwa identitas benar-benar membutuhkan kode-kode (identitas) yang bersifat nasional bukan secara lokal atau kultural tertentu.
Hal ini bisa dilihat pergeseran penggunaan kode bahasa dalam pergerakan perjuangan bangsa. Misal, perubahan nama-nama organisasi pergerakan yang awalnya berbahasa Belanda diubah menjadi bahasa Indonesia, Indische Vereniiging berubah menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Begitu juga penggunaan bahasa-bahasa koran di masa-masa penjajahan perlahan-lahan menggunakan Melayu-Indonesia. Setali uang sifat-sifat organisasi yang awalnya bersifat lokal atau regional diubah menjadi skala nasional dan terbuka.
Dinamis
Momentum pentingnya adalah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Di saat itu, kode nasional benar-benar dinyatakan secara tegas yakni bersumpah untuk mengaku bertumpah darah satu, Tanah Indonesia; mengaku berbangsa satu bangsa Indonesia, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan Bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda 1928 menjadi momentum yang esensial dalam pembentukan identitas nasional Indonesia hingga kini yang semangatnya harus dijaga dan diwariskan.
Semangat menjunjung identitas nasional berlanjut ketika perumusan dasar negara sejak masa sidang BPUPKI hingga PPKI. Penempatan kebangsaan sebagai sila pertama oleh Soekarno ketika mengenalkan Pancasila, saya pikir berhubungan kuat dengan kesadaran dan semangat Sumpah Pemuda. Momentum epiknya ketika sila pertama Pancasila diubah dari hasil rumusan Panitia Sembilan adalah upaya-upaya agar semangat dan identitas nasional yang netral dan diterima semua kalangan.
Baca juga: Sumpah Pemuda dan Kebersamaan sebagai Bangsa
Bisa dikatakan para pendiri negara progresif dan berhasil dalam memikirkan dan merumuskan identitas nasional. Namun, identitas nasional tidak sebatas identitas sebagai simbol yang stagnan. Identitas nasional berbeda dengan identitas lain, seperti simbol/lambang pada yang statis.
Identitas nasional sangat dinamis, berinteraksi dengan zaman sehingga sangat berhubungan dengan kondisi psikologis individu atau kelompok tertentu. Identitas nasional seperti identitas pada umumnya terbangun atas konstruksi yang kompleks, yaitu konstruksi atau hasil dari sejarah, geografi, biologi, produktif dan lembaga reproduksi, ingatan kolektif dan fantasi pribadi,
perangkat kekuasaan, dan wahyu agama (Castells, 2010).
Identitas nasional bersifat abstrak, imaginatif atau dibayangkan sehingga sangat mungkin untuk berubah, menguat, melemah bahkan hilang. Tergantung kondisi lingkungan yang mengelilingi.
Konservasi identitas nasional tidak mudah. Tidak sebatas diwariskan begitu saja antar generasi. Justru harus senantiasa diisi dengan hal-hal baru dan sesuai dengan zaman.
Dengan demikian, konservasi identitas nasional tidak mudah. Tidak sebatas diwariskan begitu saja antargenerasi. Justru harus senantiasa diisi dengan hal-hal baru dan sesuai dengan zaman. Pengelolaan identitas nasional yang salah justru menimbulkan kegaduhan atau konflik yang sulit direkonsiliasi.
Negara atau pemerintah harus berada posisi netral dan tidak terjebak dalam pengeksklusifan golongan tertentu. Hal ini akan menimbulkan kecemburuan di pihak lain yang seharusnya diperlakukan dan dianggap setara khususnya kalangan yang menganggap dirinya minoritas. Pemerintah yang dianggap tidak adil justru akan menimbulkan ketidaknyamanan sehingga sangat memungkinkan penguatan identitas-identitas lain, seperti etnisitas yang melampaui identitas nasional (Cohen, 2011).
Selain peran negara atau pemerintah dalam mengelola identitas nasional, tantangan dunia global/kontemporer harus diperhitungkan. Arus globalisasi jika tidak diantisipasi bisa menjadi awal runtuhnya identitas nasional.
Identitas nasional seperti ditegaskan sebelumnya juga berinteraksi dengan zaman sehingga bersifat dinamis seperti nasionalisme sebagai salah satu bagian identitas nasional. Hal ini sudah diingatkan oleh Gellner pada (1997) ”Culture and Social Organisation are Universal and Perennial. States and Nationalism are Not”. Afirmasinya, nasionalisme sebagai salah satu kunci identitas nasional bisa ditinggalkan bahkan negara itu sendiri.
Baca juga: Nasionalisme Kebangsaan
Pendapat Kinvall (2004) tentang pengaruh globalisasi terhadap perkembangan identitas menarik dicermati. Menurut dia, globalisasi menempatkan individu dan kelompok berada dalam keadaan ketidakpastian dan kurang nyaman sehingga mencari penegasan kembali identitas diri seseorang dengan mendekatkan diri kepada siapa pun kelompok yang dianggap mampu mengurangi rasa tidak aman dan kecemasan eksistensial. Pencarian kenyamanan dan keamanan ini akan sangat mungkin digantikan oleh kelompok atau identitas lain ideologi radikal dan golongan yang justru berseberangan dengan identitas nasional jika tidak diantisipasi atau negara tidak responsif.
Hal ini menjadi catatan bersama bagi bangsa Indonesia ke depan bagaimana meneguhkan semangat identitas nasional, semangat Sumpah Pemuda di tengah-tengah arus globalisasi, masuknya ideologi-ideologi luar yang terfasilitasi oleh globalisasi termasuk di era dimana kinerja negara semakin dikritisi atau dipertanyakan. Pandangan pribadi penulis, peran dan fungsi negara sangat diperlukan dalam hal keadaan saat ini. Tabik.
Toba Sastrawan Manik, Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta